Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Kotau: Antara Puisi dan Tradisi

Membaca Kotau buku kumpulan puisi penyair perempuan Kunni Masrohanti seperti membaca simbol-simbol yang dekat dengan sebuah tradisi masyarakat. Dari kumpulan puisi ini publik disadarkan bahwa di tengah leguh legah perubahan zaman saat ini, adat, resam, dan tradisi masih terjaga dengan baik di sebuah wilayah masyarakat adat. Adalah Kabupaten Kampar sebagai tempat proses kreatif penulis dalam menghasilkan puisi yang terangkumdalam buku ini.

Puisi-puisi pendek yang diolah dari budaya dan tradisi. Ini bukan pekerjaan mudahuntuk tetap mempertahankan agar roh ritual budaya tersebut tetap terasa. Bukan hanya sekadar menggubahnya dalam bentuk puisi, namun tetap berusaha agar resa yang ada dalam ritual tersebut tidak hilang.

Kita mulai dengan melihat puisi yang berjudul “Semah Antau” di bawah ini:

bismillah
niat ditambat
kecil menjadi hajat
selamat, rantau nan tuah
kanan, kiri, darat, sungai
basemah
semah basemah

Dari kutipan puisi di atas bisa dirasakan ritual sebuah tradisi. Diksi atau pilihan kata yang dipilih tetap dengan bunyi-bunyi seperti mantera, yang dalam hal ini adalah semah antau. Semah antau dalam bahasa Kampar jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah semah rantau. Keunggulan masyarakat lokal di sini adalah wajib menjaga rantau.

Rantau yang dalam kamus besar Bahasa Indonesia bermakna pantai sepanjang teluk atau sungai (sumber :kbbi.web.id), yang konteksnya dalam puisi ini adalah sungai Subayang. Masyarakat masih setia dengan kearifan lokal menjaga sungai sebagai salah satu sumber perekonomian masyarakat setempat untuk bisa survive menjalani kehidupan. Masyarakat masih tergantung dengan ikan-ikan yang ada dalam sungai tersebut. Karena itulah masyarakat masih menjalankan tradisi Semah Rantau.

Semah Rantau masih rutin dilakukan masyarakat desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar. Kegiatan ini adalah ritual membersihkan diri atau mengobati dari segala dosa yang dilakukan warga desa yang disengaja ataupun tidak disengaja (sumber: kemdikbud.go.id).

Ritual Semah Rantau identik dengan kegiatan memotong kepala kerbau, lalu hati dan jantungnya diantar ke makam Datuok Page yang bergelar Datuok Harimau. Kepala kerbau tersebut dibuang ke dasar sungai. Sedangkan dagingnya dibagi-bagikan ke warga setempat.

Dalam puisi semah antau ini terlihat penyair seperti menerjemahkan ritual tersebut ke dalam bait puisi, lengkap dengan menyebutkan nama datuok-datouk yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Seperti Datuok Pucuk yang berziarah bersama warga ke makam Datuok Page dan Datuok Darah Putih sebelum Semah Rantau dimulai. Bagaimana posisi para datuok itu juga terekspresikan dalam puisi. Lihat bait kedua dari puisi bertajuk “Semah Antau” di bawah ini;

seekor kerbau adalah diri orang-orang serantau
datuk nan duo, datuk pucuk,
datuk segala datuk nan tujuh
gindo semajo, gindo said, pinaro kuniang
gindo tanome, palindi
datuk sinaro di sungai paling bakuaso

Hati, jantung, tanduk dan kepala kerbau juga sudah jelas peruntukkannya sesuai dengan tradisi Semah Rantau, kepala kerbau akan dilemparkan ke dalam sungai yang diawali dengan doa dari tokoh adat. Prosesi ini tergambar dalam bait ketiga puisi yang masih bertajuk “Semah Antau” berikut ini;

Baca Juga:  Pimpinan Ponpes At-Taqwa Cianjur Ditangkap Polisi

adalah segala datuk
serahkan pada penguasa rimba dan sungai
agar tok belang tak pernah datang
supaya yang di sungai tak pernah sampai
semah disemah
hati dan jantungnya
ke datuk pagar bukit paling tinggi
kepala dan tanduk larungkan ke sungai di dasar paling lubuk
kepada yang kekal serantau pulang ke asal
ko,
ambioklah hati jo jantung
kapalo nan lah dilarung
antau kami olah basemah
poilah

Penyair seakan bercerita bagaimana prosesi Semah Rantau tersebut dengan diksi yang bunyi huruf terakhirnya hampir sama seperti gaya bersyair, namun tidak persis seperti syair yang terikat dengan jumlah baris dan rima yang sama seperti contoh 4 baris berakhir aaaa, lalu diikuti dengan 4 baris berikutnya berakhiran iiii. Dalam puisi ini, penyair hanya mengambil pola syair yang persajakan terakhirnya berbunyi sama. Jumlah baris tidak berpola. Antara bait pertama dengan bait-bait di bawahnya jumlahnya berbeda-beda.

Walaupun sepertinya pilihan kata yang ada dalam puisi semah antau terinspirasi dari mantra atau kata-kata yang diucapkan dalam ritual semah rantau, namun ketika ujud dalam bentuk puisi tetap terasa roh mantranya.

Begitu juga dengan puisi-puisi lain yang terangkum dalam buku ini, penulis setia mengangkat akar tradisi yang sampai saat ini masih hidup di tengah kebudayaan masyarakat Kampar, seperti puisi bertajuk; turun mandi, balimau, numbai sialang dan lain-lain.

Dalam buku ini juga terlihat gambaran bagaimana masyarakat adat yang masih bertahan menjaga alam. Hal itu terlihat dalam puisi bertajuk “Kotau” yang menjadi judul buku ini. Dalam puisi bertajuk “Kotau” tergambarkan “Kotau” sebagai penjaga ikan. Berikut kutipannya di bawah ini:

kotau menjaga ikan untuk nelayan
nelayan menjaga sungai untuk ikan kembali sampai

Begitu juga dengan puisi berjudul “Ludai Sebatang“ yang menceritakan tentang pohon ludai yang sudah mulai punah, namun dengan usaha para tetua adat dan masyarakat, pohon ludai tersebut Kembali dijaga. Berikut kutipan puisinya :

sebatang ludai di tepi sungai tinggallah sendirian
bertahun menunggu kemudian
tumbuh rindang di bukit rimbang menjadi yang
paling di bukit baling
dan datuk pucuk tak lagi manyolang

Secara umum, puisi-puisi yang terangkum dalam buku kumpulan puisi Kotau ini, diambil dari tradisi sebagai jalan kreativitas penulis. Mantera-mantera yang terdapat dalam ritual masyarakat yang dikenal dengan tradisi lisan ini, menarik untuk dijadikan laman bermain bagi para penulis sastera. Tradisi lisan sebagai bagian bentuk ekpresi kebudayaan daerah yang pertama hadir di wilayah susatera dunia, tidak hanya Indonesia, jauh sebelum ditemukannya tradisi tulis.

Tradisi lisan sangat dekat dengan manusia yang hadir hampir dalam setiap sendi kehidupan. Dalam tradisi lisan ditemukan tingkah laku yang mencakup etika, norma dan adat istiadat. Beragam bentuk tradisi lisan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional antara lain adat resam, penurutan asli masyarakat, ritual adat, nyanyian rakyat, tarian, permainan rakyat dan lain sebagainya, Taylor (2008). Karena itulah puisi-puisi yang terangkum dalam buku kumpulan puisi Kotau telah menjawab tantangan bahwa karya puisi yang beranjak dari tradisi lisan masyarakat setempat, mempunyai nilai tersendiri. Memerlukan usaha yang gigih dan berpeluh untuk mencari kata-kata tersebut hingga ke ceruk sungai dan suak kampung, lalu meneroka kata-kata itu menjadi puisi. Tidak cukup hanya dengan membaca teks-teks yang sudah ada, karena perlu mendengar sendiri dari penutur atau pelaku asli dari ritual atau tradisi tersebut. Jika tidak, maka kata-kata yang hadir akan terasa kosong dan tidak terasa ruhnya.

Baca Juga:  Baznas Siak Mulai Bangun RLH

Usaha yang dilakukan penyair Kunni Masrohanti yang berlatar belakang jurnalis dalam menghasilkan buku kumpulan puisi Kotau ini sangat layak diapresiasi. Ia telah keluar masuk kampung memburu kata-kata itu lalu direnungkan untuk menjadi puisi. Tidak banyak penulis yang rela melakukan hal seperti ini. Usaha memang tidak pernah membohongi hasil, begitu kata orang bijak. Para penulis juga memerlukan usaha yang keras untuk menghasilkan karya yang bernas.

Sebagai contoh misalnya penulis J.K Rowling menjadi penulis penjualan terbaik dunia sampai-sampai kekayaannya pernah mengalahkan kekayaan Ratu Inggris. Apa yang telah dilakukan penulis novel Harry Potter itu sampai karyanya diterjemahkan dalam 68 bahasa di dunia dan juga difilmkan? Penulis perempuan itu tidak begitu mendadak berhasil dan terkenal. Ia telah melewati jalan onak dan duri di dunia kepenulisan. Alas karyanya yang mengambil tradisi penyihir yang sempat berkembang di Eropa pada jaman lampau dengan penelitiannya yang panjang dan penuh perjuangan. J.K Rowling juga tunak meneliti mantera-mantera yang digunakan oleh penyihir dari bahasa aslinya. Di sinilah salah satu sisi menarik dari novelnya. Belum lagi tulisannya yang sempat ditolak penerbit karena dianggap tidak menarik dan masuk akal, telah berhasil dilaluinya. J.K Rowling adalah salah satu contoh, sebagai penyemangat untuk berusaha keras menghasilkan karya dengan penelitian yang gigih dan serius.

Menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Dalam buku kumpulan puisi Kotau ini, penulis tidak memberikan kata pengantar dan catatan kaki untuk kata-kata dari bahasa daerah asli Kampar yang banyak ditemukan dalam puisi-puisi di buku ini. Untuk karya ilmiah catatan kaki sangat diperlukan sebagai petunjuk dari hasil kutipan atau arti dari kata-kata yang digunakan di luar bahasa resmi. Mungkin karena ini adalah buku kumpulan puisi, penulis tidak membuat catatan kaki. Penulis sepertinya memberikan kesempatan kepada pembaca untuk mencari tahu lebih dalam terhadap kata-kata dari bahasa daerah Kampar yang digunakannya. Begitu juga dengan kata pengantar kenapa buku ini hadir tidak ditemukan pada halaman pertama seperti buku pada umumnya. Pada sampul terakhir penulis hanya memberikan gambaran singkat kenapa buku puisi ini hadir yaitu sebagai usaha mencatat warisan yang tersisa dari tradisi masyarakat Kampar Kiri, Gunung sahilan.***

*Menulis puisi, cerpen, essay dan dosen media literasi

Membaca Kotau buku kumpulan puisi penyair perempuan Kunni Masrohanti seperti membaca simbol-simbol yang dekat dengan sebuah tradisi masyarakat. Dari kumpulan puisi ini publik disadarkan bahwa di tengah leguh legah perubahan zaman saat ini, adat, resam, dan tradisi masih terjaga dengan baik di sebuah wilayah masyarakat adat. Adalah Kabupaten Kampar sebagai tempat proses kreatif penulis dalam menghasilkan puisi yang terangkumdalam buku ini.

Puisi-puisi pendek yang diolah dari budaya dan tradisi. Ini bukan pekerjaan mudahuntuk tetap mempertahankan agar roh ritual budaya tersebut tetap terasa. Bukan hanya sekadar menggubahnya dalam bentuk puisi, namun tetap berusaha agar resa yang ada dalam ritual tersebut tidak hilang.

- Advertisement -

Kita mulai dengan melihat puisi yang berjudul “Semah Antau” di bawah ini:

bismillah
niat ditambat
kecil menjadi hajat
selamat, rantau nan tuah
kanan, kiri, darat, sungai
basemah
semah basemah

- Advertisement -

Dari kutipan puisi di atas bisa dirasakan ritual sebuah tradisi. Diksi atau pilihan kata yang dipilih tetap dengan bunyi-bunyi seperti mantera, yang dalam hal ini adalah semah antau. Semah antau dalam bahasa Kampar jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah semah rantau. Keunggulan masyarakat lokal di sini adalah wajib menjaga rantau.

Rantau yang dalam kamus besar Bahasa Indonesia bermakna pantai sepanjang teluk atau sungai (sumber :kbbi.web.id), yang konteksnya dalam puisi ini adalah sungai Subayang. Masyarakat masih setia dengan kearifan lokal menjaga sungai sebagai salah satu sumber perekonomian masyarakat setempat untuk bisa survive menjalani kehidupan. Masyarakat masih tergantung dengan ikan-ikan yang ada dalam sungai tersebut. Karena itulah masyarakat masih menjalankan tradisi Semah Rantau.

Semah Rantau masih rutin dilakukan masyarakat desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar. Kegiatan ini adalah ritual membersihkan diri atau mengobati dari segala dosa yang dilakukan warga desa yang disengaja ataupun tidak disengaja (sumber: kemdikbud.go.id).

Ritual Semah Rantau identik dengan kegiatan memotong kepala kerbau, lalu hati dan jantungnya diantar ke makam Datuok Page yang bergelar Datuok Harimau. Kepala kerbau tersebut dibuang ke dasar sungai. Sedangkan dagingnya dibagi-bagikan ke warga setempat.

Dalam puisi semah antau ini terlihat penyair seperti menerjemahkan ritual tersebut ke dalam bait puisi, lengkap dengan menyebutkan nama datuok-datouk yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Seperti Datuok Pucuk yang berziarah bersama warga ke makam Datuok Page dan Datuok Darah Putih sebelum Semah Rantau dimulai. Bagaimana posisi para datuok itu juga terekspresikan dalam puisi. Lihat bait kedua dari puisi bertajuk “Semah Antau” di bawah ini;

seekor kerbau adalah diri orang-orang serantau
datuk nan duo, datuk pucuk,
datuk segala datuk nan tujuh
gindo semajo, gindo said, pinaro kuniang
gindo tanome, palindi
datuk sinaro di sungai paling bakuaso

Hati, jantung, tanduk dan kepala kerbau juga sudah jelas peruntukkannya sesuai dengan tradisi Semah Rantau, kepala kerbau akan dilemparkan ke dalam sungai yang diawali dengan doa dari tokoh adat. Prosesi ini tergambar dalam bait ketiga puisi yang masih bertajuk “Semah Antau” berikut ini;

Baca Juga:  Baznas Siak Mulai Bangun RLH

adalah segala datuk
serahkan pada penguasa rimba dan sungai
agar tok belang tak pernah datang
supaya yang di sungai tak pernah sampai
semah disemah
hati dan jantungnya
ke datuk pagar bukit paling tinggi
kepala dan tanduk larungkan ke sungai di dasar paling lubuk
kepada yang kekal serantau pulang ke asal
ko,
ambioklah hati jo jantung
kapalo nan lah dilarung
antau kami olah basemah
poilah

Penyair seakan bercerita bagaimana prosesi Semah Rantau tersebut dengan diksi yang bunyi huruf terakhirnya hampir sama seperti gaya bersyair, namun tidak persis seperti syair yang terikat dengan jumlah baris dan rima yang sama seperti contoh 4 baris berakhir aaaa, lalu diikuti dengan 4 baris berikutnya berakhiran iiii. Dalam puisi ini, penyair hanya mengambil pola syair yang persajakan terakhirnya berbunyi sama. Jumlah baris tidak berpola. Antara bait pertama dengan bait-bait di bawahnya jumlahnya berbeda-beda.

Walaupun sepertinya pilihan kata yang ada dalam puisi semah antau terinspirasi dari mantra atau kata-kata yang diucapkan dalam ritual semah rantau, namun ketika ujud dalam bentuk puisi tetap terasa roh mantranya.

Begitu juga dengan puisi-puisi lain yang terangkum dalam buku ini, penulis setia mengangkat akar tradisi yang sampai saat ini masih hidup di tengah kebudayaan masyarakat Kampar, seperti puisi bertajuk; turun mandi, balimau, numbai sialang dan lain-lain.

Dalam buku ini juga terlihat gambaran bagaimana masyarakat adat yang masih bertahan menjaga alam. Hal itu terlihat dalam puisi bertajuk “Kotau” yang menjadi judul buku ini. Dalam puisi bertajuk “Kotau” tergambarkan “Kotau” sebagai penjaga ikan. Berikut kutipannya di bawah ini:

kotau menjaga ikan untuk nelayan
nelayan menjaga sungai untuk ikan kembali sampai

Begitu juga dengan puisi berjudul “Ludai Sebatang“ yang menceritakan tentang pohon ludai yang sudah mulai punah, namun dengan usaha para tetua adat dan masyarakat, pohon ludai tersebut Kembali dijaga. Berikut kutipan puisinya :

sebatang ludai di tepi sungai tinggallah sendirian
bertahun menunggu kemudian
tumbuh rindang di bukit rimbang menjadi yang
paling di bukit baling
dan datuk pucuk tak lagi manyolang

Secara umum, puisi-puisi yang terangkum dalam buku kumpulan puisi Kotau ini, diambil dari tradisi sebagai jalan kreativitas penulis. Mantera-mantera yang terdapat dalam ritual masyarakat yang dikenal dengan tradisi lisan ini, menarik untuk dijadikan laman bermain bagi para penulis sastera. Tradisi lisan sebagai bagian bentuk ekpresi kebudayaan daerah yang pertama hadir di wilayah susatera dunia, tidak hanya Indonesia, jauh sebelum ditemukannya tradisi tulis.

Tradisi lisan sangat dekat dengan manusia yang hadir hampir dalam setiap sendi kehidupan. Dalam tradisi lisan ditemukan tingkah laku yang mencakup etika, norma dan adat istiadat. Beragam bentuk tradisi lisan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional antara lain adat resam, penurutan asli masyarakat, ritual adat, nyanyian rakyat, tarian, permainan rakyat dan lain sebagainya, Taylor (2008). Karena itulah puisi-puisi yang terangkum dalam buku kumpulan puisi Kotau telah menjawab tantangan bahwa karya puisi yang beranjak dari tradisi lisan masyarakat setempat, mempunyai nilai tersendiri. Memerlukan usaha yang gigih dan berpeluh untuk mencari kata-kata tersebut hingga ke ceruk sungai dan suak kampung, lalu meneroka kata-kata itu menjadi puisi. Tidak cukup hanya dengan membaca teks-teks yang sudah ada, karena perlu mendengar sendiri dari penutur atau pelaku asli dari ritual atau tradisi tersebut. Jika tidak, maka kata-kata yang hadir akan terasa kosong dan tidak terasa ruhnya.

Baca Juga:  Harus Hati-Hati, Beberapa Hal Ini Bisa Membuat CPNS Batal

Usaha yang dilakukan penyair Kunni Masrohanti yang berlatar belakang jurnalis dalam menghasilkan buku kumpulan puisi Kotau ini sangat layak diapresiasi. Ia telah keluar masuk kampung memburu kata-kata itu lalu direnungkan untuk menjadi puisi. Tidak banyak penulis yang rela melakukan hal seperti ini. Usaha memang tidak pernah membohongi hasil, begitu kata orang bijak. Para penulis juga memerlukan usaha yang keras untuk menghasilkan karya yang bernas.

Sebagai contoh misalnya penulis J.K Rowling menjadi penulis penjualan terbaik dunia sampai-sampai kekayaannya pernah mengalahkan kekayaan Ratu Inggris. Apa yang telah dilakukan penulis novel Harry Potter itu sampai karyanya diterjemahkan dalam 68 bahasa di dunia dan juga difilmkan? Penulis perempuan itu tidak begitu mendadak berhasil dan terkenal. Ia telah melewati jalan onak dan duri di dunia kepenulisan. Alas karyanya yang mengambil tradisi penyihir yang sempat berkembang di Eropa pada jaman lampau dengan penelitiannya yang panjang dan penuh perjuangan. J.K Rowling juga tunak meneliti mantera-mantera yang digunakan oleh penyihir dari bahasa aslinya. Di sinilah salah satu sisi menarik dari novelnya. Belum lagi tulisannya yang sempat ditolak penerbit karena dianggap tidak menarik dan masuk akal, telah berhasil dilaluinya. J.K Rowling adalah salah satu contoh, sebagai penyemangat untuk berusaha keras menghasilkan karya dengan penelitian yang gigih dan serius.

Menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Dalam buku kumpulan puisi Kotau ini, penulis tidak memberikan kata pengantar dan catatan kaki untuk kata-kata dari bahasa daerah asli Kampar yang banyak ditemukan dalam puisi-puisi di buku ini. Untuk karya ilmiah catatan kaki sangat diperlukan sebagai petunjuk dari hasil kutipan atau arti dari kata-kata yang digunakan di luar bahasa resmi. Mungkin karena ini adalah buku kumpulan puisi, penulis tidak membuat catatan kaki. Penulis sepertinya memberikan kesempatan kepada pembaca untuk mencari tahu lebih dalam terhadap kata-kata dari bahasa daerah Kampar yang digunakannya. Begitu juga dengan kata pengantar kenapa buku ini hadir tidak ditemukan pada halaman pertama seperti buku pada umumnya. Pada sampul terakhir penulis hanya memberikan gambaran singkat kenapa buku puisi ini hadir yaitu sebagai usaha mencatat warisan yang tersisa dari tradisi masyarakat Kampar Kiri, Gunung sahilan.***

*Menulis puisi, cerpen, essay dan dosen media literasi

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari