Jumat, 20 September 2024

Dorong Presiden Beri Atensi Kasus Pinangki

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kasus dugaan suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari sekaligus menjadi pertaruhan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung). Ada banyak pihak sudah menyampaikan pandangan supaya kasus itu diserahkan atau diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan begitu potensi konflik kepentingan tidak akan terjadi. Bahkan dorongan supaya Presiden Joko Widodo memberi atensi juga muncul.

Adalah Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyuarakan hal itu. Menurut peneliti ICW pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Kurnia Ramadhana, presiden sebagai kepala negara harus lebih peka melihat penegakan hukum yang tengah berlangsung. ”Kasus (Pinangki) itu sudah menarik perhatian publik dan timbul kesan di tengah masyarakat ada upaya dari Kejagung melindungi dan melokalisir kasus Jaksa Pinangki,” kata dia Jumat (28/8).

Beberapa indikator pun disampaikan oleh Kurnia. Mulai terbitnya pedoman Kejagung, pemberian bantuan hukum, langkah Komisi Kejaksaan (Komjak) yang ‘dihalangi’, sampai tidak ada koordinasi antara Kejagung dengan KPK. ”Sependek pengetahuan saya kejaksaan belum pernah mengajak KPK untuk melakukan gelar perkara bersama (kasus Pinangki),” bebernya. Padahal, kasus tersebut syarat konflik kepentingan.

Menurut Kurnia, KPK adalah institusi penegak hukum yang paling netral dalam konteks penanganan kasus dugaan korupsi yang berkelindan dengan penegak hukum. Termasuk kasus Pinangki. Seorang jaksa yang dijadikan tersangka oleh institusi tempat dia bekerja, Kejagung. ICW tidak begitu optimistis kasus Pinangki bisa tuntas selama ditangani oleh Kejagung. Menurutnya, KPK lebih pas menangani kasus itu.

- Advertisement -

Untuk itu, bukan hanya meminta perhatian dari Presiden Jokowi. Dia juga berharap presiden segera mengambil langkah tegas. Istana, kata dia, tidak boleh tinggal diam menyaksikan penanganan kasus dugaan korupsi yang kini turut menjadi perdebatan masyarakat. ”Carut-marut penegakan hukum seperti itu, presiden selaku atasan jaksa agung. Harusnya mendorong juga agar KPK mengambil alih perkara itu,” ujarnya.

Tidak hanya itu, evaluasi juga harus dilakukan agar presiden bisa mengambil keputusan lebih jauh. Misalnya menegur jaksa agung. ”Jika ada upaya-upaya tertentu untuk menolak ketika KPK ingin masuk menangani perkara tersebut,” lanjut Kurnia.

- Advertisement -

Menurut dia, KPK melalui salah seorang pimpinannya, Nawawi Pomolango, sudah dengan lantang menyampaikan kesiapan menangani kasus Pinangki. Menurut ICW, keterangan yang disampaikan oleh Nawawi mestinya mendapat sambutan dari pimpinan KPK yang lain. Khususnya ketua KPK. Dengan kondisi saat ini, dia menilai, sudah cukup alasan bagi KPK untuk aktif bergerak. Tidak lagi menunggu Kejagung menyerahkan kasus itu. ”Tinggal bagaimana komitmen dari ketua KPK, apakah berani atau tidak untuk men-take over kasus itu,” kata Kurnia.

Undang-Undang (UU) KPK, sambung dia, sudah mengatur hal itu. KPK memiliki kewenangan mengambil alih penanganan kasus dugaan korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. ”Dengan atau tanpa persetujuan,” imbuhnya. Artinya mereka bisa kapan saja bergerak untuk mengambil alih kasus Pinangki jika memang punya keinginan kuat. Itu akan menjadi lebih baik bila Kejagung juga mawas diri.

Baca Juga:  Protokol Kesehatan Diterapkan

Walau masih dalam proses penyelidikan oleh aparat kepolisian, ICW menilai kebakaran Gedung Utama Kejagung sedikit banyak berkaitan dengan kasus yang tengah ditangani oleh Korps Adhyaksa. Termasuk di antaranya kasus Pinangki. Mengingat salah satu ruang kerja yang terbakar pekan lalu tidak lain adalah yang sebelumnya digunakan Pinangki. Untuk itu, harus ada penegak hukum lain yang masuk menangani kasus tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menilai pernyataan tersebut sebagai salah satu contoh spekulasi. ”Kalau sudah menyangkut ruangan Pinangki terbakar, jangan-jangan ada berkas yang disengaja dihilangkan, itu sudah termasuk spekulasi,” jawabnya. Menurut dia, akan lebih baik bila kesimpulan diambil setelah Polri selesai bekerja. ”Kita tunggu dulu,” tambah dia.

Mahfud merupakan salah seorang pejabat yang concern terhadap kasus-kasus yang tengah ditangani oleh Kejagung. Secara terbuka dan berulang kali dia sampaikan, akan mengawal kasus itu. ”Dan Anda boleh mengawasi, boleh mencari sumber-sumber lain,” kata dia. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga berusaha meyakinkan bahwa pemerintah tidak menutup-nutupi kasus-kasus di Kejagung.

Terkait dorongan agar KPK yang melanjutkan penanganan kasus Pinangki, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono sudah menyampaikan bahwa sejauh ini memang belum ada komunikasi terkait hal itu. ”Belum, karena masih pengumpulan bukti,” ujarnya Jumat malam. Namun demikian, bukan tidak mungkin Kejagung melibatkan KPK agar penanganan kasus tersebut lebih cepat.

Menurut Ali, keputusan melibatkan KPK atau tidak bakal diketahui setelah bukti-bukti terkumpul. ”Nanti penyampaian pengumpulan bukti, timnya (akan) mengusulkan perlu KPK atau tidak. Nanti kita tunggu,” tegasnya. Menurut dia, pihaknya juga mempertimbangkan masukan-masukan yang mendorong agar Kejagung membuka pintu bagi lembaga antirasuah untuk terlibat dalam penanganan kasus Pinangki. ”Karena ada kewenangan KPK,” kata dia.

Dari Senayan, Komisi III yang membidangi hukum memantau jalannya penanganan kasus Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra ini. Bagi mereka, meski kelihatan ruwet, sebenarnya kasus ini mudah saja diselesaikan. Asalkan ada komitmen dan keterbukaan dari para penegak hukum. Dan menurut anggota Komisi III Arteria Dahlan, sejauh ini penyidikan dan koordinasi antar instansi ini sudah cukup baik.

Arteria berprinsip bahwa anggota dewan perlu menghormati jalannya penyidikan. Sekaligus mengawasi secara intensif sehingga koordinasi bisa tetap berjalan on the track. “Jadi nggak ada itu tarik-menarik penanganan,” jelas Arteria ketika dihubungi Jawa Pos (JPG) Jumat (28/8).

Baca Juga:  Akhir Pekan Ini, Sanksi Denda dan Kerja Sosial Diterapkan

Daripada fokus ke pihak mana yang seharusnya menangani kasus, apakah Kejagung atau Bareskrim atau KPK, dia menilai sebaiknya masing-masing instansi bekerja sesuai porsi yang sudah mereka pegang.

Meski menyatakan akan mengawasi secara intensif, anggota Fraksi PDI Perjuangan itu menyatakan bahwa tidak akan ada pemeriksaan khusus kepada para penegak hukum dari legisllatif. Khususnya kepada Jaksa Agung, yang namanya cukup sering muncul belakangan akibat berhembusnya isu kaitannya dengan Pinangki dan pelarian Djoko Tjandra.

Rabu lalu (26/8), Jaksa Agung tampak hadir dalam rapat dengar pendapat Komisi III. Walaupun sempat muncul pertanyaan terkait kasus dari sejumlah anggota komisi, Jaksa Agung tidak menjelaskan apapun terkait kasus yang ditangani institusinya tersebut. Arteria pun menjelaskan bahwa sebenarnya kedatangan Jaksa Agung Rabu lalu dalam rangka membahas rencana anggaran saja.

Pun ketika Jaksa Agung akan dipanggil lagi, Senin (31/8), kepentingannya sama. “Senin cuma membahas anggaran, jadi jangan disalah artikan bahwa Jaksa Agung dipanggil. Tidak ada agenda lain,” tegas Arteria. Pemanggilan terkait anggaran pun tidak hanya melibatkan Kejagung, tetapi juga seluruh mitra Komisi III.

Atas alasan itu pula, Komisi III tidak berniat membentuk panitia kerja (panja) yang khusus mengawal dugaan korupsi yang menjerat beberapa pejabat kepolisian dan kejagung itu. Sebab, menurut Arteria, sebenarnya ini hanya kasus kriminal biasa yang mudah pengungkapan aktor-aktornya. Tidak seperti kasus lain, katakanlah, dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya.

Kasus Jiwasraya dipanjakan karena menyangkut kepentingan banyak orang dan memberikan jaminan kepada nasabah. “Kalau ini kan memang ada kejahatan, kriminal, tapi ini lebih besar sarat muatan politisnya daripada penegakan hukumnya,” jelasnya. Yang terpenting bagi mereka sekarang adalah output-nya, siapa saja pihak-pihak yang terlibat di belakang polemik Djoko Tjandra ini.

Arteria juga menegaskan bahwa ini Jaksa Agung tidak memiliki kesalahan atau beban perihal kasus tersebut. Baginya, eksekusi terhadap Pinangki menunjukkan komitmen Jaksa Agung untuk menyapu bersih sengkarut Djoko Tjandra. “Kalau salahnya Jaksa Agung ya nggak begini penyelesaiannya. Kalau Jaksa Agung ikut main-main di situ, cara mainnya nggak begini,” tutur Arteria.

Kini, tinggal tunggu penyelesaian kasus oleh Kejagung. Apakah membutuhkan waktu lama atau bisa sesegera mungkin seperti yang dikatakan Arteria. Sebagai penegak hukum pun, nama-nama yang diduga terseret juga harus diuji kebenaran dan perannya dalam kasus ini. “Ini kan tinggal kita tangkap, bukan hal yang sulit ini. Penegak hukum tidak boleh kalah dengan pengusaha,” ujarnya.(deb/syn/jpg)

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kasus dugaan suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari sekaligus menjadi pertaruhan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung). Ada banyak pihak sudah menyampaikan pandangan supaya kasus itu diserahkan atau diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan begitu potensi konflik kepentingan tidak akan terjadi. Bahkan dorongan supaya Presiden Joko Widodo memberi atensi juga muncul.

Adalah Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyuarakan hal itu. Menurut peneliti ICW pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Kurnia Ramadhana, presiden sebagai kepala negara harus lebih peka melihat penegakan hukum yang tengah berlangsung. ”Kasus (Pinangki) itu sudah menarik perhatian publik dan timbul kesan di tengah masyarakat ada upaya dari Kejagung melindungi dan melokalisir kasus Jaksa Pinangki,” kata dia Jumat (28/8).

Beberapa indikator pun disampaikan oleh Kurnia. Mulai terbitnya pedoman Kejagung, pemberian bantuan hukum, langkah Komisi Kejaksaan (Komjak) yang ‘dihalangi’, sampai tidak ada koordinasi antara Kejagung dengan KPK. ”Sependek pengetahuan saya kejaksaan belum pernah mengajak KPK untuk melakukan gelar perkara bersama (kasus Pinangki),” bebernya. Padahal, kasus tersebut syarat konflik kepentingan.

Menurut Kurnia, KPK adalah institusi penegak hukum yang paling netral dalam konteks penanganan kasus dugaan korupsi yang berkelindan dengan penegak hukum. Termasuk kasus Pinangki. Seorang jaksa yang dijadikan tersangka oleh institusi tempat dia bekerja, Kejagung. ICW tidak begitu optimistis kasus Pinangki bisa tuntas selama ditangani oleh Kejagung. Menurutnya, KPK lebih pas menangani kasus itu.

Untuk itu, bukan hanya meminta perhatian dari Presiden Jokowi. Dia juga berharap presiden segera mengambil langkah tegas. Istana, kata dia, tidak boleh tinggal diam menyaksikan penanganan kasus dugaan korupsi yang kini turut menjadi perdebatan masyarakat. ”Carut-marut penegakan hukum seperti itu, presiden selaku atasan jaksa agung. Harusnya mendorong juga agar KPK mengambil alih perkara itu,” ujarnya.

Tidak hanya itu, evaluasi juga harus dilakukan agar presiden bisa mengambil keputusan lebih jauh. Misalnya menegur jaksa agung. ”Jika ada upaya-upaya tertentu untuk menolak ketika KPK ingin masuk menangani perkara tersebut,” lanjut Kurnia.

Menurut dia, KPK melalui salah seorang pimpinannya, Nawawi Pomolango, sudah dengan lantang menyampaikan kesiapan menangani kasus Pinangki. Menurut ICW, keterangan yang disampaikan oleh Nawawi mestinya mendapat sambutan dari pimpinan KPK yang lain. Khususnya ketua KPK. Dengan kondisi saat ini, dia menilai, sudah cukup alasan bagi KPK untuk aktif bergerak. Tidak lagi menunggu Kejagung menyerahkan kasus itu. ”Tinggal bagaimana komitmen dari ketua KPK, apakah berani atau tidak untuk men-take over kasus itu,” kata Kurnia.

Undang-Undang (UU) KPK, sambung dia, sudah mengatur hal itu. KPK memiliki kewenangan mengambil alih penanganan kasus dugaan korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. ”Dengan atau tanpa persetujuan,” imbuhnya. Artinya mereka bisa kapan saja bergerak untuk mengambil alih kasus Pinangki jika memang punya keinginan kuat. Itu akan menjadi lebih baik bila Kejagung juga mawas diri.

Baca Juga:  Satgas Minta Vaksin Booster Sepekan Jelang Mudik

Walau masih dalam proses penyelidikan oleh aparat kepolisian, ICW menilai kebakaran Gedung Utama Kejagung sedikit banyak berkaitan dengan kasus yang tengah ditangani oleh Korps Adhyaksa. Termasuk di antaranya kasus Pinangki. Mengingat salah satu ruang kerja yang terbakar pekan lalu tidak lain adalah yang sebelumnya digunakan Pinangki. Untuk itu, harus ada penegak hukum lain yang masuk menangani kasus tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menilai pernyataan tersebut sebagai salah satu contoh spekulasi. ”Kalau sudah menyangkut ruangan Pinangki terbakar, jangan-jangan ada berkas yang disengaja dihilangkan, itu sudah termasuk spekulasi,” jawabnya. Menurut dia, akan lebih baik bila kesimpulan diambil setelah Polri selesai bekerja. ”Kita tunggu dulu,” tambah dia.

Mahfud merupakan salah seorang pejabat yang concern terhadap kasus-kasus yang tengah ditangani oleh Kejagung. Secara terbuka dan berulang kali dia sampaikan, akan mengawal kasus itu. ”Dan Anda boleh mengawasi, boleh mencari sumber-sumber lain,” kata dia. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga berusaha meyakinkan bahwa pemerintah tidak menutup-nutupi kasus-kasus di Kejagung.

Terkait dorongan agar KPK yang melanjutkan penanganan kasus Pinangki, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono sudah menyampaikan bahwa sejauh ini memang belum ada komunikasi terkait hal itu. ”Belum, karena masih pengumpulan bukti,” ujarnya Jumat malam. Namun demikian, bukan tidak mungkin Kejagung melibatkan KPK agar penanganan kasus tersebut lebih cepat.

Menurut Ali, keputusan melibatkan KPK atau tidak bakal diketahui setelah bukti-bukti terkumpul. ”Nanti penyampaian pengumpulan bukti, timnya (akan) mengusulkan perlu KPK atau tidak. Nanti kita tunggu,” tegasnya. Menurut dia, pihaknya juga mempertimbangkan masukan-masukan yang mendorong agar Kejagung membuka pintu bagi lembaga antirasuah untuk terlibat dalam penanganan kasus Pinangki. ”Karena ada kewenangan KPK,” kata dia.

Dari Senayan, Komisi III yang membidangi hukum memantau jalannya penanganan kasus Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra ini. Bagi mereka, meski kelihatan ruwet, sebenarnya kasus ini mudah saja diselesaikan. Asalkan ada komitmen dan keterbukaan dari para penegak hukum. Dan menurut anggota Komisi III Arteria Dahlan, sejauh ini penyidikan dan koordinasi antar instansi ini sudah cukup baik.

Arteria berprinsip bahwa anggota dewan perlu menghormati jalannya penyidikan. Sekaligus mengawasi secara intensif sehingga koordinasi bisa tetap berjalan on the track. “Jadi nggak ada itu tarik-menarik penanganan,” jelas Arteria ketika dihubungi Jawa Pos (JPG) Jumat (28/8).

Baca Juga:  Protokol Kesehatan Diterapkan

Daripada fokus ke pihak mana yang seharusnya menangani kasus, apakah Kejagung atau Bareskrim atau KPK, dia menilai sebaiknya masing-masing instansi bekerja sesuai porsi yang sudah mereka pegang.

Meski menyatakan akan mengawasi secara intensif, anggota Fraksi PDI Perjuangan itu menyatakan bahwa tidak akan ada pemeriksaan khusus kepada para penegak hukum dari legisllatif. Khususnya kepada Jaksa Agung, yang namanya cukup sering muncul belakangan akibat berhembusnya isu kaitannya dengan Pinangki dan pelarian Djoko Tjandra.

Rabu lalu (26/8), Jaksa Agung tampak hadir dalam rapat dengar pendapat Komisi III. Walaupun sempat muncul pertanyaan terkait kasus dari sejumlah anggota komisi, Jaksa Agung tidak menjelaskan apapun terkait kasus yang ditangani institusinya tersebut. Arteria pun menjelaskan bahwa sebenarnya kedatangan Jaksa Agung Rabu lalu dalam rangka membahas rencana anggaran saja.

Pun ketika Jaksa Agung akan dipanggil lagi, Senin (31/8), kepentingannya sama. “Senin cuma membahas anggaran, jadi jangan disalah artikan bahwa Jaksa Agung dipanggil. Tidak ada agenda lain,” tegas Arteria. Pemanggilan terkait anggaran pun tidak hanya melibatkan Kejagung, tetapi juga seluruh mitra Komisi III.

Atas alasan itu pula, Komisi III tidak berniat membentuk panitia kerja (panja) yang khusus mengawal dugaan korupsi yang menjerat beberapa pejabat kepolisian dan kejagung itu. Sebab, menurut Arteria, sebenarnya ini hanya kasus kriminal biasa yang mudah pengungkapan aktor-aktornya. Tidak seperti kasus lain, katakanlah, dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya.

Kasus Jiwasraya dipanjakan karena menyangkut kepentingan banyak orang dan memberikan jaminan kepada nasabah. “Kalau ini kan memang ada kejahatan, kriminal, tapi ini lebih besar sarat muatan politisnya daripada penegakan hukumnya,” jelasnya. Yang terpenting bagi mereka sekarang adalah output-nya, siapa saja pihak-pihak yang terlibat di belakang polemik Djoko Tjandra ini.

Arteria juga menegaskan bahwa ini Jaksa Agung tidak memiliki kesalahan atau beban perihal kasus tersebut. Baginya, eksekusi terhadap Pinangki menunjukkan komitmen Jaksa Agung untuk menyapu bersih sengkarut Djoko Tjandra. “Kalau salahnya Jaksa Agung ya nggak begini penyelesaiannya. Kalau Jaksa Agung ikut main-main di situ, cara mainnya nggak begini,” tutur Arteria.

Kini, tinggal tunggu penyelesaian kasus oleh Kejagung. Apakah membutuhkan waktu lama atau bisa sesegera mungkin seperti yang dikatakan Arteria. Sebagai penegak hukum pun, nama-nama yang diduga terseret juga harus diuji kebenaran dan perannya dalam kasus ini. “Ini kan tinggal kita tangkap, bukan hal yang sulit ini. Penegak hukum tidak boleh kalah dengan pengusaha,” ujarnya.(deb/syn/jpg)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari