JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Sejak pandemi Covid-19 melanda, awal tahun, harga minyak mengalami penurunan drastis. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat, rata-rata per barel harga Brent dan WTI pada Januari 2020 di level 63,67 dolar AS dan 57,81 dolar AS. Sedangkan rata-rata ICP di level 65,38 dolar AS.
Sementara itu pada Juni 2020, rata-rata per barel harga Brent, WTI, dan ICP turun menjadi di level 40,07 dolar AS, 38,31 dolar AS, dan 36,68 dolar AS. Kondisi sama juga terjadi pada gas, di mana harganya mengalami penurunan hingga menyentuh 2 dolar AS per MMBTU.
Di sisi lain, permintaan dunia akan energi juga turun akibat berbagai pembatasan dan terhentinya banyak aktivitas ekonomi. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menuturkan, turunnya harga dan permintaan tersebut berpengaruh besar terhadap pencapaian kinerja migas, khususnya hingga semester-I 2020.
"Sejak tahun 2000-an ini adalah kejatuhan yang paling dalam, diikuti dengan pandemi Covid-19 yang kemudian diteruskan pada tekanan konsumsi demand. Tekanan-tekanan ini tentu saja menimbulkan masalah dalam upaya kita mencapai kinerja KPI maksimum," kata Dwi dalam konferensi pers virtual, Jumat (17/7).
Meski demikian, produksi dan lifting migas masih bisa dijaga hingga semester-I 2020. Hingga Juni 2020, produksi minyak dan kondensat sebesar 720.200 BOPD.
Sedangkan produksi gas (termasuk own use, flare, impurities, dan discrepancy) mencapai 6,83 juta MMSCFD. Pada periode sama, lifting minyak tercatat sebesar 713.300 BOPD, sementara salur gas sebesar 5,6 juta MMSCFD.
Dwi menuturkan, capaian produksi minyak dan kondensat yang sebesar 720.200 BOPD tersebut melampaui target WP&B semester-I yang sebesar 718.800 BOPD.
Dari 15 KKKS terbesar, dua kontraktor yang menjadi penyumbang produksi minyak paling banyak yakni Mobil Cepu Ltd dan Chevron Pacific Indonesia (CPI). Realisasi produksi masing-masing yaitu 220.279 BOPD dan 179.682 BOPD.
Adapun realisasi gas yang sebesar 6,83 juta MMSCFD, lanjut Dwi, lebih rendah dari target dalam WP&B semester-I yang sebesar 7,18 juta MMSCFD. Penyerapan yang rendah, beberapa unplanned shutdown, serta pengurangan kegiatan menjadi faktor penyebab tidak tercapainya target produksi gas semester-I.
"Dengan demikian, gross revenue pada semester-I mencapai 11,89 miliar dolar AS. Cost recovery sebesar 4,05 miliar dolar AS. Sehingga share untuk government 5,3 miliar dolar AS dan kontraktor 2,54 miliar dolar AS," ujar Dwi.
Lebih lanjut, Dwi mengatakan, jika rata-rata ICP bisa dijaga di 38 dolar AS per barel, maka outlook hasil penjualan migas hingga akhir tahun mencapai 19,91 miliar dolar AS. Dengan cost recovery diperkirakan mencapai 8,124 miliar dolar AS, maka bagian pemerintah sebesar 7,125 miliar dolar AS dan kontraktor 4,571 miliar dolar AS.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi