PEKANBARU (RIAUPOS.CO)– FAKTA baru kembali terungkap dalam sidang lanjutan dugaan suap dan gratifikasi pembangunan Jalan Duri-Sungai Pakning, Bengkalis. Kalangan legislatif meminta fee senilai miliaran rupiah kepada PT Citra Gading Asritama (GCA) dari nilai kontrak pelaksanaan kegiatan infrastruktur multiyears tersebut.
Hal itu terkuak pada persidangan yang digelar secara online melalui video conference, Kamis (9/7). Sidang yang masih beragendakan pemeriksaan saksi dipimpin majelis hakim Lilin Herlina SH MH di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, bersama jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu, turut dihadirkan lima saksi untuk dimintai keterangan. Mereka adalah Ketua DPRD Provinsi Riau Indra Gunawan Eet yang juga merupakan mantan pimpinan DPRD Bengkalis. Heru Wahyudi, selaku mantan Ketua DPRD Bengkalis yang berstatus terpidana kasus korupsi dana hibah bantuan sosial (bansos). Selanjutnya, Abdul Kadir dan Zulhelmi yang merupakan mantan pimpinan legistatif di Negeri Sri Junjungan. Lalu, Syahrul Ramadhan selaku orang kepercayaan mantan Ketua DPRD Bengkalis, Jamal Abdillah yang berperan mendistribusikan uang ketok palu pengesahan APBD 2013 ke sejumlah anggota dewan periode 2009-2014.
Sementara terdakwa Amril Mukminin memberikan keterangan di Rumah Tahanan Negera (Rutan) Klas I Pekanbaru, dengan didampingi penasihat hukumnya. Hal ini setelah Bupati Bengkalis nonaktif dipindahkan dari Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang KPK. Dalam kesaksianya, Abdul Kadir mengakui, terkait proyek Jalan Duri-Sungai Pakning, ada pertemuan yang membahasan tentang uang kompensasi (fee) 1,5 persen dari PT CGA. Hal ini, kata dia, berdasarkan arahan dari Ketua DPRD Bengkalis yang kala itu dijabat Heru Wahyudi.
Terhadap keterangan itu, majelis hakim mempertanyakan kepada Abdul Kadir mengenai apakah uang kompensasi itu permintaan anggota dewan atau dari PT CGA. "PT CGA yang menjanjikan," jawab Abdul Kadir.
Atas jawab tersebut, hakim ketua membacakan, berita acara pemeriksaan (BAP) saksi yang menerangkan bahwa uang kompensasi adalah kompensasi itu adalah permintaan anggota dewan. Kepada Abdul Kadir, lalu Lilin Herlina menyampaikan, pasal 21 dan pasal 22 terkait sanksi terhadap saksi yang telah disumpah memberikan keterangan palsu.
Terkait hal itu, Abdul Kadir akhirnya mengubah keterangannya. Diakui dia, uang kompensasi merupakan permintaan dari kalangan legislatif di Kabupaten Bengkalis. "Saat itu, PT CGA hanya sanggup memberi 1,5 persen. Sementara, anggota (dewan) minta 2,5 persen dari nilai pekerjaan. Pada akhirnya kompensasi tetap 1,5 persen," imbuh mantan pimpinan DPRD Bengkalis itu.
Setelah terjadi kesepatakan, lanjut dia, dirinya dihubungi Heru Wahyudi dan diperintahkan untuk menjemput uang kompensasi dari PT GCA melalui Triyanto. "Uang itu diterima dari Triyanto. Waktu itu saya menghubungi Triyanto, mengatakan Rp1 miliar," paparnya.
Terhadap uang itu, sebut Abdul Kadir, dijemputnya secara langsung dengan Triyanto. Transaksi ini terjadi di parkiran depan Hotel Sabrina Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru. Namun, mengenai kapan uang tersebut diterima, ia mengaku, tidak ingat bulannya, tapi terjadi pada 2016 lalu. "Uang itu dibungkus dalam amplop warna putih. Isinya 50.000 dolar Singapura atau sekitar Rp500 juta. Uang itu saya simpan di dalam mobil," akunya.
Keesokan harinya dia bertemu dengan Heru Wahyudi di Kota Bertuah. Dalam kesempatan itu, Abdul Kadir menyampaikan, telah menerima uang dari PT CGA. Sedangkan, terhadap sisanya dijanjikan Tryanto akan diberikan di Kota Batam, Kepulauan Riau. "30.000 dolar Singapura diambil Heru Wahyudi. Sisanya 20.000 sama saya," terangnya dalam persidangan.
Selang beberapa hari kemudian, Abdul Kadir berangkat ke Batam untuk bertemu Triyanto dan mengambil sisa uang fee yang dijanjikan sebesar 50.000 dolar Singapura. Begitu tiba di Bandara Hang Nadim, kata dia, dirinya dijemput dan menginap di Hotel Nagoya Hill.
Selanjut, kata dia, Heru Wahyudi memerintahkan dirinya membagi-bagian uang 70.000 dolar Singapura kepada anggota DPRD Bengkalis. Akan tetapi, hal itu tidak direalisasikannya setelah bertemu dengan anggota legislatif lainnya, Kadaerismanto, dan Indrawan Sukmana.
"Saat itu jumpa Kaderismanto menyebutkan, apa yang kita lakukan salah, dan saya sadar. Saran beliau uang itu dikembalikan. Saya menyimpan uang itu dan menunggu untuk mengembalikan kepada orang yang tepat," imbuhnya.
Terhadap keterangan itu, Lilin Herlina kembali membacakan BAP Abdul Kadir. Yang mana, menerangkan Abdul Kadir, Indrawan Sukmana, dan Kaderismanto sepakat mengembalikan uang 70.000 dolar Singapura kepada Tryanto. Namun, pengembalian uang tersebut dilakukan setelah perayaan Idulfitri 2018 lalu. “Kalau saudara sadar, saat itu dikembalikan bukan 2 tahun kemudian. Saudara itu mengembalikan uang bukan karena sadar. Melainkan karena (PT CGA) tidak memenuhi komitmen janji,” kata hakim ketua. "Saya membantah keterangan itu," sanggah Abdul Kadir. "Ini BAP saudara ke penyidik (KPK)," timpal Lilin Herlina.
Ditegaskan hakim ketua, pengembalian uang bukan karena saksi sadar dan perbuatan tersebut salah. Akan tetapi, PT GCA tidak memenuhi komitmen yang telah dijanjikan.
Lalu, Abdul Kadir menerangkan, uang tersebut dikembalikan kepada anak Ichsan Suadi yang merupakan pemilik PT GCA. Uang itu, diserahkan kepada yang bersangkutan ketika bertemu di Dumai.
Setelah Abdul Kadir, saksi Heru Wahyudi yang diminta memberikan keterangan. Mantan ketua DPRD Bengkalis mengaku, tidak tahu bahwa ada permintaan fee 2,5 persen. Bahkan dia menyampaikan, tidak pernah memerintahkan Abdul Kadir ke Batam untuk menjemput sisa fee 50.000 dolar Singapura.
Atas jawaban ini, JPU KPK Feby melakukan konfrontasi dengan Abdul Kadir. Dikatakan Abdul, dirinya menegaskan, telah menyampaikan sebenarnya di dalam sidang. Terhadap keterangan tersebut, barulah Heru mengakuinya.