JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 dinilai masih belum maksimal dalam memenuhi harapan publik. Itu setidaknya tampak dari hasil survei yang disajikan Indonesia Political Opinion (IPO), Sabtu (4/7). Pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk memastikan pandemi bisa tertangani dengan baik.
Survei dengan metode wellbeing purposive sampling (WPS) itu menghasilkan tingkat kepuasan atas kinerja pemerintah sebesar 58,6 persen. Ada 34,4 persen yang menyatakan tidak puas dan sisanya tidak menjawab. Dari lima aspek penilaian tertentu terhadap penanganan pandemi, hanya keterbukaan informasi yang nilainya paling baik. yakni, 50,9. Empat aspek penilaian di bawah 50 persen.
Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah menjelaskan, pihaknya juga mengukur tingkat kepuasan untuk tiap level pemerintahan dalam penanganan pandemi. Dari situ terlihat bahwa kinerja pemerintah pusat hanya mampu memuaskan 32,5 persen responden. Sementara, Pemprov mendapat tingkat kepuasan 41,9 persen. Kemudian, pemerintah kabupaten/kota hanya 6 persen.
’’Pemerintah daerah dianggap jauh lebih baik,’’ terang Dedi.
Dari sejumlah kepala daerah, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dianggap paling responsif dalam penanganan pandemi. Wali Kota Surabaya di urutan 7, dan Gubernur Jatim di urutan ke-10 (lihat grafis).
’’Meskipun Khofifah berada di Jawa, faktanya dia dianggap lebih lamban dari Gubernur Bali, Aceh, Sumatera Utara, bahkan dari Wali Kota Surabaya,’’ lanjutnya.
Kinerja Khofifah juga dinilai tidak lebih baik ketimbang Bupati Bolaang Mongondow Timur Sehan Salim Landjar.
Sementara itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengamini hasil survei tersebut. Dari sisi kinerja di bidang ekonomi, Bhima menyebut belum ada banyak perubahan signifikan yang terjadi. Salah satu indikator yang bisa dilihat adalah pertumbuhan ekonomi yang berulang kali direvisi menjadi minus.
‘’Ini jadi indikasi bahwa stimulus pemerintah pusat belum mampu menggerakkan konsumsi rumah tangga maupun belanja pemerintah. Karena realisasinya masih kecil. Di situ jelas bahwa pemerintah pusat ada masalah koordinasi, birokrasi, dan ego sektoral,’’ ujarnya kepada JPG, kemarin.
Dia melanjutkan, padahal nilai stimulus yang diberikan terbilang jumbo. Awalnya ada optimisme bahwa dengan stimulus yang jumbo mampu menggerakkan konsumsi, sehingga pengusaha dan UMKM bisa mempercepat produksi. Namun, karena ada permasalahan di ranah kementerian, terutama kemenkes, maka Bhima menilai wajar jika kinerja pemerintah pusat disebut lebih buruk daripada pemda.
Ke depan, dia menyebut solusi yang harus segera diambil adalah memangkas seluruh hambatan birokrasi. ‘’Kalau ada menteri yang menghambat, wajib di-reshuffle segera, jangan buang-buang waktu,’’ tegasnya.
Permasalahan akurasi data juga perlu dicermati. Menurut dia, pencairan bansos yang relatif lambat disebabkan karena ada data yang belum divalidasi. Selain itu, pemerintah juga harus mempertajam pemberian stimulus. Bhima membandingkan dengan salah satu kebijakan spesifik dari pemerintah Malaysia yang memberikan insentif untuk perusahaan yang merekrut kembali karyawannya.
‘’Jadi bukan yang terlalu umum seperti memberikan potongan PPH Badan untuk korporasi begitu. Jadi stimulusnya harus dipertajam, supaya tepat sasaran. Kalau stimulus yang sekarang ini terlalu umum. Lalu kalau dapat penurunan PPH Badan so what? Belum tentu korporasi tidak melakukan PHK, justru kondisi yang ada ini malah PHK jalan terus,’’ urainya.(byu/dee/jpg)