JAKARTA (RIAUPOS.CO) — PLN mengeluarkan skema perhitungan tagihan untuk melindungi pelanggan rumah tangga yang mengalami lonjakan tagihan listrik pada Juni. Sebagaimana diketahui, pada bulan ini pelanggan dikenai tagihan listrik cukup drastis dengan minimal kenaikan sebesar 20 persen dibandingkan bulan Mei.
Skema perhitungan tagihan itu memungkinkan pelanggan Rumah Tangga, yakni R1M 900 VA, R1 1300 VA dan R1 2200 VA serta R2 dan R3 membayar sebesar 40 persen pada bulan Juni. Sisa tagihan dibagi rata dalam tagihan tiga bulan ke depan.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan PLN berupaya memberikan solusi bagi pelanggan yang tagihannya mengalami lonjakan. Pengecekan ulang juga dilakukan terhadap pelaksanaan pemberian subsidi pembebasan tagihan listrik, antara lain untuk pelanggan golongan rumah tangga, bisnis kecil, dan industri kecil berdaya 450 VA dan diskon 50 persen bagi pelanggan rumah tangga 900 VA bersubsidi.
"Pengecekan tersebut dilakukan dari bulan ke bulan, untuk memastikan bahwa stimulus kelistrikan yang diberikan oleh pemerintah tersebut benar-benar tepat sasaran. Oleh karena adanya pengecekan tersebut, tagihan pelanggan baru bisa diterbitkan dan bisa diakses setelah tanggal 6 Juni," tambahnya.
Terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendorog agar PLN proaktif menangani aduan dari konsumen. Tulus menjelaskan, konsumen listrik kembali dikejutkan dengan melonjaknya tagihan bulan Juni.
"Hal ini sebenarnya sudah diprediksi oleh managemen PT PLN, bahwa akan ada sekitar 1,9 juta pelanggannya yang akan mengalami tagihan melonjak (billing shock), dari mulai 50-200 persen, bahkan lebih," tuturnya, kemarin (7/6).
Tulus melanjutkan, PT PLN mengklaim terjadinya billing shock itu karena dampak wabah Covid-19 yang membuat petugas PLN tidak secara penuh bisa mendatangi rumah konsumen karena PSBB. Ditambah lagi, konsumen juga ada yang tidak mengirimkan foto posisi akhir stand kWh meternya (via whatsapp).
"Hal ini yang kemudian managemen PT PLN menggunakan jurus pamungkasnya yakni menggunakan pemakaian rata-rata tiga bulan terakhir, sehingga ada istilah ‘kWh tertagih’," jelasnya.
Menanggapi persoalan itu, YLKI meminta agar PLN membuka seluas-luasnya kanal pengaduan konsumen yang mengalami billing shock itu. Sebab, YLKI juga menerima keluhan dari konsumen saat ingin melaporkan kasusnya via call center 123, atau akses lainnya. Hal itu menunjukkan kanal pengaduan yang ada belum optimal mewadahi pengaduan konsumen.
Tulus melanjutkan, YLKI juga meminta managemen PT PLN untuk melakukan sosialisasi secara masif kepada konsumen/pelanggannya, terutama di area yang banyak mengalami masalah serupa, sebagaimana terjadi pada edisi April-Mei. Sehingga masyarakat mengerti duduk persoalan yang terjadi, serta mengetahui apa yang harus dilakukannya.
YLKI juga meminta konsumen yang mengalami billing shock untuk segera melaporkan ke call center PT PLN, baik via 123, atau kanal medsos yang dimiliki PT PLN.
"Sebelum melaporkan, sebaiknya konsumen melakukan recheck terlebih dahulu terhadap kewajaran pemakaiannya, dengan melihat pemakaian jumlah kWh terakhir dengan jumlah kWh bulan sebelumnya. Sebab selama WfH dan LfH, umumnya pemakaian energi listrik konsumen mengalami kenaikan," tegasnya.(res/dee/jpg)