PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Pemerintah mengimbau masyarakat untuk tetap berada di rumah, guna mencegah penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Saat ini anak-anak sekolah diliburkan, dan perusahaan diminta untuk memperkerjakan karyawannya di rumah atau work from home (WFH).
Kendati demikian, bagi sebagian orang yang terbiasa beraktivitas di luar rumah, stay at home menjadi hal yang sangat membosankan dan bisa menimbulkan stres, terlebih jika berada di rumah setiap hari, bahkan hingga satu bulan lamanya.
Tak hanya itu, bagi ibu rumah tangga juga menambah pekerjaan setiap hari, mulai dari rutinitas biasa, hingga membantu anak-anak agar tetap belajar dan mengikuti pembelajaran daring sehingga tidak ketinggalan pelajaran.
Psikolog RS Asal Bros Panam Sherly Aztri M Psi memberikan beberapa tips, agar tetap bisa menikmati kegiatan selama stay at home. Ia menjelaskan, rasa stres akibat berada di rumah setiap hari adalah hal yang wajar, karena pandemi ini tidak hanya menyasar satu orang saja. Bahkan seluruh dunia merasakan hal yang sama.
“Awal-awal mungkin menyenangkan, tapi lama kelamaan akan timbul rasa bosan. Hal yang harus kita lakukan pertama adalah realistis dan menyadari, bahwa bosan dan stres ini tak hanya kita saja yang merasa, tapi semua orang juga merasakannya,” kata Sherly, Sabtu (2/5).
Menurut Sherly, masyarakat harus memahami jika ritme dunia sekarang berjalan lebih lambat dibandingkan dengan sebelum pandemi terjadi, sehingga mau tidak mau, harus menyesuaikan agar bisa merasa lebih tenang.
“Yang menghadapi corona ini nggak kita aja, yang kerja di kantor garus di rumah, anak-anak yang biasanya sekolah juga belajar di rumah. Kita ikuti ritme dunia yang slow, sehingga kita bisa lebih tenang menghadapinya,” ujar Sherly.
Selain itu, saat berada di rumah, dalam sebuah keluarga harus bisa menyamakan persepsi makna di rumah sebenarnya. Sherly mengatakan, jika dalam satu keluarga memiliki persepsi yang berbeda, maka akan memberatkan anggota keluarha lainnya. Misalkan orang tua memiliki persepsi, stay at home tetap harus produktif, tetapi anak-anak memiliki pemikiran lain yaitu stay at home adalah liburan. Menurut Sherly jika hal ini terjadi, bisa menimbulkan stres terutama orang tua, khususnya ibu.
“Persepsi harus diselaraskan. Kita sampaikan kepada anak-anak, bahwa stay at home ini bukanlah liburan. Hal ini dilakukan agar anak-anak tetap mau belajar di rumah. Beri pemahaman, Kita kasih tahu ke anak, tugas harus sama-sama dikerjakan,” ujar Sherly.
Selanjutnya, Sherly menjelaskan masyarakat harus peka akan keperluan diri sendiri, pahami apa penyebab bosan, dan apa penyebab stres. Jika tidak, hal ini bisa menimbulkan amarah yang imbasnya anggota keluarga yang menjadi pelampiasannya. “Kita harus peka, kebutuhan diri kita dan kebutuhananak. Kita marah, stres karena apa, tanya diri sendiri, jangan asal main marah ke anak. Kita ambil waktu jeda sebentar berpikir jernih kenapa marah,” ungkapnya.
Selain itu, Sherly mengatakan stres tak hanya terjadi pada orang tua, anak juga bisa mengalami stres. Hal ini biasa ditunjukkan melalui tingkah laku, seperti teriak-teriak, menuntut suatu hal berlebihan, tidur tidak tepat waktu dan lain-lain. “Kalau seperti itu, tanya perlahan-lahan apa yang dimau anak,” ujarnya.
Dengan demikian, peran orang tua, terutama ibu di rumah menjadi sangat krusial dan harus bisa menyadari, bersabar, dan memahami. Dengan demikian kondisi di rumah tetap stabil dan dapat mengurangi rasa stres saat stay at home.
Tak hanya itu, Sherly juga menuturkan, meskipun berada dalam masa pandemi tetap berpikir positif dan mengambil hikmah dari bencana yang terjadi.
“Ini waktu terbaik untuk bersama keluarga. Dulu berharap punya qulaity time, tapi gak bsa temani anak karena kerja. Nikmati setiap momen. Kalau kita sadar kita lebih yakin dan lebih siap. Ini momen baik orang tua, untuk bisa melihat perkembangan anak atau bagaimana ia belajar,dan bisa kerjasama dengan pihak sekolah,” tutur Sherly.(a)