Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Nikmatnya Bisa Kentut dan Dengarkan Curhat Perawat

Berada di ruang isolasi sangatlah membosankan. Untungnya ada perawat jaga yang bisa diajak bicara meski wajahnya tidak bisa dikenali secara pasti karena tertutup alat pelindung diri (APD).

Catatan: Said Mufti  

SETIAP pergantian perawat jaga, saya selalu menanyakan paling tidak namanya. Sore itu saya dijaga perawat bernama Al, pemuda masih jomblo asli Lubuk Basung, Sumatera Barat (Sumbar). Menjelang malam, Al digantikan perawat bernama Iyal yang juga asli Sumbar, tepatnya Payakumbuh. Ia tinggal di Jalan Kualu, Panam, tidak jauh dari kantor saya.

Sore itu, alhamdulillah sesak napas yang disertai batuk mulai berkurang. Namun, mungkin karena efek dosis obat yang saya konsumsi, perut terasa tak enak. Hanya satu yang saya inginkan, yakni bisa buang angin alias kentut dengan sekeras-kerasnya. Hingga pergantian shift malam, perawat jaga kembali berganti dari Iyal ke Hasbi, anak Tembilahan yang tinggal di Jalan Kartama, Simpang Tiga, Pekanbaru.

Kembung perut ini tak juga hilang. Hingga tengah malam saya tak bisa tidur. Terkadang kami (saya dan Hasbi) saling berpandangan dari balik jendela karena tentu dia bisa merasakan yang saya rasa. Ya, ingin kentut.  

Karena sudah kami bincangkan sebelumnya. Biasanya kalau ada di rumah, palingan minun air jahe lalu dikerok punggung hingga biru dengan minyak angin bercampur bawang. Namun apa daya. Di ruang isolasi ini, pintu ditutup rapat. Tidak ada yang bisa dilakukan, seperti pergi ke warung beli obat dan lainnya. Semua obat harus konsultasi dokter dulu. Tak bisa sembarangan.

Masa shift Hasbi berakhir pukul 07.00 pagi dan diganti Ridho. Namun sebelumnya saya minta berfoto dulu, paling tidak ada kenangan di ruang isolasi ini meski saya tak tahu wajah di balik topeng APD mereka. Saya dan Hasbi bertukar akun instagram dan facebook. Dari situ saya baru bisa melihat wajahnya. Bersama Ridho saya juga jelaskan keluhan saya. Perut kembung penuh angin tak nyaman rasanya. Dokter jaga pun diberi tahu.

"Semua obat sudah disuntikan dan dimakan. Jadi, sangat mungkin itu efek kerja obat," ujar dokter jaga memberi penjelasan.

Saya tak puas sebelum kentut pokoknya. Dari pukul 00.00 hingga jelang subuh, mata tak juga terpejam. Pagi saya minta teh panas. Nikmat sekali rasanya. Secepatnya saya habiskan disambut sarapan bubur sumsum meski tak habis. Berharap usai sarapan ini paling tidak bisa buang air.

Namun tidak juga. Ridho kembali menenangkan saya dan mengusulkan agar saya konsul ke dokter penyakit dalam. Saya pun mengiyakan. Lama duduk termenung di jendela, namun kantuk datang. Televisi dihidupkan, saya pilih channel yang ada film Spongebob. Malas dengan berita virus. Saya pun akhirnya tertidur. Alhamdulillah, hujan turun selebat-lebatnya dan saya tertidur dengan  pulas hingga pukul 11.30 WIB. Nikmat sekali. Ujung mata saya menangkap makanan siang di meja, saya bermain kode dengan Ridho dari balik kaca, bahwasaya ini makan siang.

Baca Juga:  Kemenkominfo Benarkan Data Peserta BPJS Bocor

Oksigen saya cabut. Karena dengan memasang oksigen saya jadi seperti balon hanya menambah jumlah angin di perut. Ridho datang dan mejelaskan bahwa dokter penyakit dalam akan datang. Makan siang pun saya tunda. Saat dokter masuk, saya langsung jelaskan kondisi terkini. Dokter pun menjelaskan, tapi saya tidak bisa tangkap, saya cuma minta ke dokter, apakah ada obat yang bisa membuat saya kentut.

Perut diperiksa. Kawan-kawan tentu tahu ukuran perut saya. Dipukul-pukul bunyi anginnya, bertalu-talu dan dokter pun berjanji akan memberi obat. Saya tenang, tinggal tunggu kapan bisa kentut dan tuntas dengan soal kembung ini. Saya makan dan tak habis karena memang tak bisa menelan. Saya paksakan menelan nasi saja yang penting perut ada isi dan terhindar dari masuk angin. Sambil menunggu obat dokter.

Tersentak dari tidur, saya lihat jam sudah pukul 15.00. Hujan deras membuat enak tidur dan lupa kalau sedang diisolasi. Sambil melihat jam, tanpa sadar rupanya dokter ahli paru yang menangani saya berdiri didampingi perawat Iyal yang sudah berganti jaga dengan Ridho. Dokter Rohani namanya. Asyik diskusi bersama beliau. Tak perlu lama atau hal yang bertele-tele, kembali saya minta obat untuk rasa kembung ini. Dan beliau memberi jawaban oke. Lalu permisi untuk ke luar ruangan. Perawat Iyal kembali masuk membawa makan malam beserta sejumlah obat dan alat suntik untuk infus. "Terserah lah Yal, nak suntik suntiklah. Aku dah pasrah, pokoknya aku menurut saja," kataku terdengar suara mengaji cukup keras dari masjid di belakang rumah sakit, menandakan sebentar lagi akan masuk waktu Magrib.

Kembali mata ini menatap ujung jendela, malam datang. Saya bersiap kembali membuat rasa nyaman di dalam ruangan ini. Selamat datang malam ketiga. Usai Magrib saya menyentuh sedikit makan malam. Seluruh obat saya telan. Namun ada satu obat yang saya tunggu, obat sirup untuk membuang angin di lambung.  Benar saja, efek sirup memberikan kekuatan penuh bagi otot perut untuk mengekpresikan diri. Maka meledaklah ruangan isolasi dengan suara angin saya yang kedap suara. Keras memang karena tertahan lama namun tidak menimbulkan gelombang tsunami. Angin susulan datang namun dengan nada kecil dan berbeda. Apalagi saya keluarkan semua, tanpa harus malu-malu. Ya karena saya sendirian, hihi…

Terima kasih ya Allah. keluarnya angin ini saja sudah sepantasnya aku bersyukur, karena Engkau lah zat pemberi nikmat. Jelang sore waktu Asar, ketika tanpa saya sadari perawat jaga sudah berganti dan saya terlelap dalam suara guyuran hujan yang deras di luar sana. Tanpa saya sadari di depan saya sudah berdiri perawat dengan balutan masker. Terus terang dengan pakaian begini saya susah menandai orang karena wujud mereka hampir sama seperti tokoh kartun minion.

Baca Juga:  RSUD Arifin Achmad Berhasil Operasi Jantung dengan Kondisi Berat

Perawat sudah berganti. Malam ini perawat Iyal yang jaga saya mengantikan Ridho. Ia pun menjelaskan bahwasanya yang tadi itu adalah dokter paru yang menangani saya namanya Rohani. Saya mengiyakan saja, ngantuk dan cuaca begitu mendukung. Usai Salat Magrib, perawat Iyal datang membawa makan malam dan obat-obatan yang harus saya minum.

Ada tambahan obat dan ini yang saya tunggu-tunggu. Obat cair untuk lambung. Usai makan saya menerima berbagai ucapan dukungan dan semangat dari sanak keluarga handai taulan di Aceh dan teman-teman yang di Jawa Pos Group se-Indonesia. Juga teman dari Pontianak, mengucapkan semoga cepat sembuh. Hal seperti inilah yang membuat saya menjadi kuat, doa dan dukungan moril agar bisa melawan penyakit ini.

Hingga larut malam, saya melayani chat dan video call teman-teman. Dengan media seperti ini semua jadi kelihatan sempurna. Perawat Iyal kembali masuk. Kali ini ia selonjoran di atas sofa tamu yang ada di kamar, lengkap dengan alat pelindungnya. Kami pun bercerita soal kampung, kemudian soal keluarga, hingga sampai ke titik curhatnya bagaimana dalam masa pendemi dan mereka yang berjuang di barisan terdepan. Khususnya di RS ini belum mendapat layaknya sedikit perhatian dari pemerintah daerah, khususnya penambahan insentif sebagai garda depan yang penuh risiko.

"Saya baru punya anak umurnya tiga bulan. Ada rindu ingin jumpa, namanya juga anak pertama. Namun karena kewajiban tugas saya maklumi. Sejak melakukan perawatan pasien yang terpapar, kami di sini belum mendapat info tentang bantuan pemerintah daerah soal insentif. Kami mencoba mencari tahu ke teman yang ada di RS pemerintah jawabannya sama juga. Dari mereka kami terima info belum ada kabar alias belum jelas," risaunya.

Kemudian dia melanjutkan kerisauan, bahwa apa yang disampaikannya bukan hanya soal materi namun sedikit perhatian agar para perawat juga semangat saat menghadapi risiko ini. Lama saya mendegar curhatannya. Memang iya, di saat pasien tidur di ranjang full AC, mereka memperhatikan di luar kaca dengan pakaian lengkap atribut bahkan untuk bernapas saja susah, apalagi untuk makan minum atau buang air mereka tahan selama mungkin. Barangkali dengan tulisan ini bisa jadi perhatian bagi pemerintah setempat. Ada Pak Gubernur, ada Pak Wali Kota.

Efek obat dokter memang manjur, bekerja mumpuni, sendawa dan buang angin bergantian keluar dari masing-masing tempat sesuai tupoksinya. Saking banyaknya, saya bikin video jam 4 pagi hanya untuk merekam aneka bunyi suara angin yang keluar. Happy sekali, di tengah kesunyian masa isolasi. Maaf, tuuuut…hihi….(egp/ted/bersambung)

Berada di ruang isolasi sangatlah membosankan. Untungnya ada perawat jaga yang bisa diajak bicara meski wajahnya tidak bisa dikenali secara pasti karena tertutup alat pelindung diri (APD).

Catatan: Said Mufti  

- Advertisement -

SETIAP pergantian perawat jaga, saya selalu menanyakan paling tidak namanya. Sore itu saya dijaga perawat bernama Al, pemuda masih jomblo asli Lubuk Basung, Sumatera Barat (Sumbar). Menjelang malam, Al digantikan perawat bernama Iyal yang juga asli Sumbar, tepatnya Payakumbuh. Ia tinggal di Jalan Kualu, Panam, tidak jauh dari kantor saya.

Sore itu, alhamdulillah sesak napas yang disertai batuk mulai berkurang. Namun, mungkin karena efek dosis obat yang saya konsumsi, perut terasa tak enak. Hanya satu yang saya inginkan, yakni bisa buang angin alias kentut dengan sekeras-kerasnya. Hingga pergantian shift malam, perawat jaga kembali berganti dari Iyal ke Hasbi, anak Tembilahan yang tinggal di Jalan Kartama, Simpang Tiga, Pekanbaru.

- Advertisement -

Kembung perut ini tak juga hilang. Hingga tengah malam saya tak bisa tidur. Terkadang kami (saya dan Hasbi) saling berpandangan dari balik jendela karena tentu dia bisa merasakan yang saya rasa. Ya, ingin kentut.  

Karena sudah kami bincangkan sebelumnya. Biasanya kalau ada di rumah, palingan minun air jahe lalu dikerok punggung hingga biru dengan minyak angin bercampur bawang. Namun apa daya. Di ruang isolasi ini, pintu ditutup rapat. Tidak ada yang bisa dilakukan, seperti pergi ke warung beli obat dan lainnya. Semua obat harus konsultasi dokter dulu. Tak bisa sembarangan.

Masa shift Hasbi berakhir pukul 07.00 pagi dan diganti Ridho. Namun sebelumnya saya minta berfoto dulu, paling tidak ada kenangan di ruang isolasi ini meski saya tak tahu wajah di balik topeng APD mereka. Saya dan Hasbi bertukar akun instagram dan facebook. Dari situ saya baru bisa melihat wajahnya. Bersama Ridho saya juga jelaskan keluhan saya. Perut kembung penuh angin tak nyaman rasanya. Dokter jaga pun diberi tahu.

"Semua obat sudah disuntikan dan dimakan. Jadi, sangat mungkin itu efek kerja obat," ujar dokter jaga memberi penjelasan.

Saya tak puas sebelum kentut pokoknya. Dari pukul 00.00 hingga jelang subuh, mata tak juga terpejam. Pagi saya minta teh panas. Nikmat sekali rasanya. Secepatnya saya habiskan disambut sarapan bubur sumsum meski tak habis. Berharap usai sarapan ini paling tidak bisa buang air.

Namun tidak juga. Ridho kembali menenangkan saya dan mengusulkan agar saya konsul ke dokter penyakit dalam. Saya pun mengiyakan. Lama duduk termenung di jendela, namun kantuk datang. Televisi dihidupkan, saya pilih channel yang ada film Spongebob. Malas dengan berita virus. Saya pun akhirnya tertidur. Alhamdulillah, hujan turun selebat-lebatnya dan saya tertidur dengan  pulas hingga pukul 11.30 WIB. Nikmat sekali. Ujung mata saya menangkap makanan siang di meja, saya bermain kode dengan Ridho dari balik kaca, bahwasaya ini makan siang.

Baca Juga:  Pemkab Siak Siapkan Generasi Islami

Oksigen saya cabut. Karena dengan memasang oksigen saya jadi seperti balon hanya menambah jumlah angin di perut. Ridho datang dan mejelaskan bahwa dokter penyakit dalam akan datang. Makan siang pun saya tunda. Saat dokter masuk, saya langsung jelaskan kondisi terkini. Dokter pun menjelaskan, tapi saya tidak bisa tangkap, saya cuma minta ke dokter, apakah ada obat yang bisa membuat saya kentut.

Perut diperiksa. Kawan-kawan tentu tahu ukuran perut saya. Dipukul-pukul bunyi anginnya, bertalu-talu dan dokter pun berjanji akan memberi obat. Saya tenang, tinggal tunggu kapan bisa kentut dan tuntas dengan soal kembung ini. Saya makan dan tak habis karena memang tak bisa menelan. Saya paksakan menelan nasi saja yang penting perut ada isi dan terhindar dari masuk angin. Sambil menunggu obat dokter.

Tersentak dari tidur, saya lihat jam sudah pukul 15.00. Hujan deras membuat enak tidur dan lupa kalau sedang diisolasi. Sambil melihat jam, tanpa sadar rupanya dokter ahli paru yang menangani saya berdiri didampingi perawat Iyal yang sudah berganti jaga dengan Ridho. Dokter Rohani namanya. Asyik diskusi bersama beliau. Tak perlu lama atau hal yang bertele-tele, kembali saya minta obat untuk rasa kembung ini. Dan beliau memberi jawaban oke. Lalu permisi untuk ke luar ruangan. Perawat Iyal kembali masuk membawa makan malam beserta sejumlah obat dan alat suntik untuk infus. "Terserah lah Yal, nak suntik suntiklah. Aku dah pasrah, pokoknya aku menurut saja," kataku terdengar suara mengaji cukup keras dari masjid di belakang rumah sakit, menandakan sebentar lagi akan masuk waktu Magrib.

Kembali mata ini menatap ujung jendela, malam datang. Saya bersiap kembali membuat rasa nyaman di dalam ruangan ini. Selamat datang malam ketiga. Usai Magrib saya menyentuh sedikit makan malam. Seluruh obat saya telan. Namun ada satu obat yang saya tunggu, obat sirup untuk membuang angin di lambung.  Benar saja, efek sirup memberikan kekuatan penuh bagi otot perut untuk mengekpresikan diri. Maka meledaklah ruangan isolasi dengan suara angin saya yang kedap suara. Keras memang karena tertahan lama namun tidak menimbulkan gelombang tsunami. Angin susulan datang namun dengan nada kecil dan berbeda. Apalagi saya keluarkan semua, tanpa harus malu-malu. Ya karena saya sendirian, hihi…

Terima kasih ya Allah. keluarnya angin ini saja sudah sepantasnya aku bersyukur, karena Engkau lah zat pemberi nikmat. Jelang sore waktu Asar, ketika tanpa saya sadari perawat jaga sudah berganti dan saya terlelap dalam suara guyuran hujan yang deras di luar sana. Tanpa saya sadari di depan saya sudah berdiri perawat dengan balutan masker. Terus terang dengan pakaian begini saya susah menandai orang karena wujud mereka hampir sama seperti tokoh kartun minion.

Baca Juga:  Dua Jenderal Iran Sudah Menyiapkan Pasukan

Perawat sudah berganti. Malam ini perawat Iyal yang jaga saya mengantikan Ridho. Ia pun menjelaskan bahwasanya yang tadi itu adalah dokter paru yang menangani saya namanya Rohani. Saya mengiyakan saja, ngantuk dan cuaca begitu mendukung. Usai Salat Magrib, perawat Iyal datang membawa makan malam dan obat-obatan yang harus saya minum.

Ada tambahan obat dan ini yang saya tunggu-tunggu. Obat cair untuk lambung. Usai makan saya menerima berbagai ucapan dukungan dan semangat dari sanak keluarga handai taulan di Aceh dan teman-teman yang di Jawa Pos Group se-Indonesia. Juga teman dari Pontianak, mengucapkan semoga cepat sembuh. Hal seperti inilah yang membuat saya menjadi kuat, doa dan dukungan moril agar bisa melawan penyakit ini.

Hingga larut malam, saya melayani chat dan video call teman-teman. Dengan media seperti ini semua jadi kelihatan sempurna. Perawat Iyal kembali masuk. Kali ini ia selonjoran di atas sofa tamu yang ada di kamar, lengkap dengan alat pelindungnya. Kami pun bercerita soal kampung, kemudian soal keluarga, hingga sampai ke titik curhatnya bagaimana dalam masa pendemi dan mereka yang berjuang di barisan terdepan. Khususnya di RS ini belum mendapat layaknya sedikit perhatian dari pemerintah daerah, khususnya penambahan insentif sebagai garda depan yang penuh risiko.

"Saya baru punya anak umurnya tiga bulan. Ada rindu ingin jumpa, namanya juga anak pertama. Namun karena kewajiban tugas saya maklumi. Sejak melakukan perawatan pasien yang terpapar, kami di sini belum mendapat info tentang bantuan pemerintah daerah soal insentif. Kami mencoba mencari tahu ke teman yang ada di RS pemerintah jawabannya sama juga. Dari mereka kami terima info belum ada kabar alias belum jelas," risaunya.

Kemudian dia melanjutkan kerisauan, bahwa apa yang disampaikannya bukan hanya soal materi namun sedikit perhatian agar para perawat juga semangat saat menghadapi risiko ini. Lama saya mendegar curhatannya. Memang iya, di saat pasien tidur di ranjang full AC, mereka memperhatikan di luar kaca dengan pakaian lengkap atribut bahkan untuk bernapas saja susah, apalagi untuk makan minum atau buang air mereka tahan selama mungkin. Barangkali dengan tulisan ini bisa jadi perhatian bagi pemerintah setempat. Ada Pak Gubernur, ada Pak Wali Kota.

Efek obat dokter memang manjur, bekerja mumpuni, sendawa dan buang angin bergantian keluar dari masing-masing tempat sesuai tupoksinya. Saking banyaknya, saya bikin video jam 4 pagi hanya untuk merekam aneka bunyi suara angin yang keluar. Happy sekali, di tengah kesunyian masa isolasi. Maaf, tuuuut…hihi….(egp/ted/bersambung)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari