Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Omnibus Law Bisa Kikis Otonomi

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang tengah digodok pemerintah dan DPR tidak hanya bermasalah di isu perburuhan dan lingkungan. Namun juga berpotensi merusak sistem desentralisasi atau otonomi daerah yang menjadi anak kandung reformasi.

Seperti diketahui, dalam RUU Ciptaker, ada banyak urusan yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) ditarik ke Pemerintah Pusat. Misalnya pasal 15 angka 1 soal persetujuan pemanfaatan ruang, pasal 24 angka 1 tentang penetapan kelayakan lingkungan hidup, dan pasal 25 angka 40 tentang pembinaan bangunan gedung.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, otonomi daerah merupakan mandat konstitusi pasca amandemen. Agenda desentralisasi menjadi salah satu poin dari enam agenda reformasi. Di mana implementasinya adalah adanya pembagian urusan antara pusat dan daerah.

"Jangan pusat urus semua sampai level terkecil," ujarnya dalam rilis riset KPPOD di Cikini, Jakarta, kemarin (20/2). Selain menjadi persoalan secara konstitusional, Endi menilai diperluasnya kewenangan pusat bisa berdampak secara teknis. Dengan cakupan wilayah Indonesia yang luas, akan sulit jika segala urusan terkait perizinan diambil alih pemerintah pusat.

Baca Juga:  Anak Presiden Masuk Survei Calon Wako Solo, Ini Kata Demokrat

Dia mengakui, saat ini, memang banyak persoalan dalam urusan-urusan yang ditangani pemda. Namun solusinya bukan dengan mengambil alih ke pusat. Setiap persoalan bisa diurai dengan pendekatan khusus. Jika yang bermasalah Sumber Daya Manusia (SDM) Pemda misalnya, maka pusat bisa memperbaikinya.

Endi juga meminta pusat belajar dari pengalaman implementasi UU Pemda yang manarik sejumlah urusan dari Kabupaten/kota ke Provinsi. Seperti urusan pertambangan, kelautan dan kehutanan. Dia mencontohkan saat terjadi pembabatan hutan oleh perusahaan, Pemerintah Kabupaten acuh dengan dalih bukan urusannya. Sebab, jika ikut cawe-cawe, Pemkab bisa melanggar secara administrasi.

Untuk itu, KPPOD mengusulkan agar pembagian urusan antara pusat dan pemda dalam omnibus law dirasionalisasi. Sebab, meski secara tujuan baik, namun pengaturannya perlu diperbaiki. "Perlu diseimbangkan. Kalau ga imbang bisa jadi problem," kata pria kelahiran Nusa Tenggara Timur itu.

Baca Juga:  Sindiran ke Jokowi Bagus, tapi Bisa Jadi Buah Simalakama bagi Megawati

Soal pembagiannya, Endi mengusulkan agar pusat cukup membuat kebijakan dan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, Kriteria). Kemudian menyiapkan prosedur pengawasannya terhadap kerja pemda. Jika terjadi persoalan dalam implementasi, maka pusat bisa mengambil kebijakan.

Sementara itu, peneliti KPPOD Herman Suparman menambahkan, pembahasan RUU Ciptaker harus partisipatif. Pemda selaku salah satu pihak yang terdampak signifikan harus dilibatkan. "Tak perlu jauh-jauh, bisa panggil DKI Jakarta, Bogor, Tangerang yang dekat-dekat," ujarnya.

Dia juga mengingatkan DPR dan Pemerintah untuk membahas secara hati-hati. Tak perlu terpaku pada target 100 hari. Yang terpenting, bukan kecepatan, melainkan kualitas. Sebab, jika kualitas buruk, maka akan memunculkan persoalan di kemudian hari.(far)

Laporan JPG, Jakarta

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang tengah digodok pemerintah dan DPR tidak hanya bermasalah di isu perburuhan dan lingkungan. Namun juga berpotensi merusak sistem desentralisasi atau otonomi daerah yang menjadi anak kandung reformasi.

Seperti diketahui, dalam RUU Ciptaker, ada banyak urusan yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) ditarik ke Pemerintah Pusat. Misalnya pasal 15 angka 1 soal persetujuan pemanfaatan ruang, pasal 24 angka 1 tentang penetapan kelayakan lingkungan hidup, dan pasal 25 angka 40 tentang pembinaan bangunan gedung.

- Advertisement -

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, otonomi daerah merupakan mandat konstitusi pasca amandemen. Agenda desentralisasi menjadi salah satu poin dari enam agenda reformasi. Di mana implementasinya adalah adanya pembagian urusan antara pusat dan daerah.

"Jangan pusat urus semua sampai level terkecil," ujarnya dalam rilis riset KPPOD di Cikini, Jakarta, kemarin (20/2). Selain menjadi persoalan secara konstitusional, Endi menilai diperluasnya kewenangan pusat bisa berdampak secara teknis. Dengan cakupan wilayah Indonesia yang luas, akan sulit jika segala urusan terkait perizinan diambil alih pemerintah pusat.

- Advertisement -
Baca Juga:  Rasio Utang terhadap PDB Capai 41,64 Persen

Dia mengakui, saat ini, memang banyak persoalan dalam urusan-urusan yang ditangani pemda. Namun solusinya bukan dengan mengambil alih ke pusat. Setiap persoalan bisa diurai dengan pendekatan khusus. Jika yang bermasalah Sumber Daya Manusia (SDM) Pemda misalnya, maka pusat bisa memperbaikinya.

Endi juga meminta pusat belajar dari pengalaman implementasi UU Pemda yang manarik sejumlah urusan dari Kabupaten/kota ke Provinsi. Seperti urusan pertambangan, kelautan dan kehutanan. Dia mencontohkan saat terjadi pembabatan hutan oleh perusahaan, Pemerintah Kabupaten acuh dengan dalih bukan urusannya. Sebab, jika ikut cawe-cawe, Pemkab bisa melanggar secara administrasi.

Untuk itu, KPPOD mengusulkan agar pembagian urusan antara pusat dan pemda dalam omnibus law dirasionalisasi. Sebab, meski secara tujuan baik, namun pengaturannya perlu diperbaiki. "Perlu diseimbangkan. Kalau ga imbang bisa jadi problem," kata pria kelahiran Nusa Tenggara Timur itu.

Baca Juga:  Perintah Partai Minta Prabowo Kembali Pimpin Gerindra

Soal pembagiannya, Endi mengusulkan agar pusat cukup membuat kebijakan dan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, Kriteria). Kemudian menyiapkan prosedur pengawasannya terhadap kerja pemda. Jika terjadi persoalan dalam implementasi, maka pusat bisa mengambil kebijakan.

Sementara itu, peneliti KPPOD Herman Suparman menambahkan, pembahasan RUU Ciptaker harus partisipatif. Pemda selaku salah satu pihak yang terdampak signifikan harus dilibatkan. "Tak perlu jauh-jauh, bisa panggil DKI Jakarta, Bogor, Tangerang yang dekat-dekat," ujarnya.

Dia juga mengingatkan DPR dan Pemerintah untuk membahas secara hati-hati. Tak perlu terpaku pada target 100 hari. Yang terpenting, bukan kecepatan, melainkan kualitas. Sebab, jika kualitas buruk, maka akan memunculkan persoalan di kemudian hari.(far)

Laporan JPG, Jakarta

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari