JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Kerugian operasional alias tekor sebesar Rp32 triliun menjadi alasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menaikkan iuran peserta 100 persen mulai Januari 2020.
Akan tetapi, kondisi keuangan yang morat marit tidak menghalangi para direksi dan dewan pengawas lembaga tersebut menerima pendapatan besar tiap bulannya.
Besarnya gaji dan insentif yang diterima direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan itu jadi sorotan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat dengar pendapat, Senin (20/1), di Jakarta.
Wakil Ketua Komisi IX, Dewi Asmara mengatakan, berdasarkan laporan keuangan BPJS Kesehatan, pada Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2019, BPJS Kesehatan menganggarkan dana operasional untuk delapan direksi sebesar Rp32,88 miliar.
"Artinya, setiap anggota direksi mendapat insentif Rp4,11 miliar per orang. Dengan kata lain, seluruh direksi menikmati Rp342,56 juta per bulan," ujar politisi Golkar itu.
Kemudian untuk beban insentif kepada tujuh dewan pengawas BPJS Kesehatan rata-rata mendapat Rp2,55 miliar.
"Apabila insentif yang diterima dewan pengawas dalam 12 bulan, maka upah yang diterima oleh dewan pengawas BPJS Kesehatan Rp211,14 juta per bulan," ungkap dia.
Oleh karena itu, ia mengimbau BPJS Kesehatan melakukan efisiensi dana operasional.
"Kalau kita bicara badan yang rugi, ya ada hati untuk mengadakan penghematan, dan mengadakan efisiensi operasional," katanya.
Di sisi lain, pada kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto memberikan pernyataan mengejutkan. Terawan mengaku tak bisa memberikan solusi terkait kenaikan iuran peserta bukan penerima upah (PBPU) atau mandiri kelas III Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Pernyataan ini disampaikan menghadapi serangan anggota Komisi IX yang kecewa pada pemerintah soal kenaikan iuran peserta mandiri kelas III per 1 Januari 2020.
Pasalnya, pada rapat Desember 2019, pemerintah, BPJS Kesehatan, dan DPR sepakat untuk memberikan subsidi dari profit dana jaminan sosial (DJS) untuk menanggung selisih kenaikan peserta mandiri kelas III.
Artinya, tak ada tambahan iuran yang dibebankan pada peserta JKN golongan ini. "Tidak ada lain yang mau saya sampaikan. Saya juga kecewa," ujarnya.
Terawan menuturkan, dirinya tidak memberikan solusi pada agenda rapat kemarin sebagai wujud kekecewaannya karana solusi yang disampaikan sebelumnya tak bisa diterapkan. Dia juga merasa percuma jika kembali mengemukakan pendapat jika akhirnya sama, tidak bisa dieksekusi.
Mantan Direktur Utama RSPAD Gatot Soebroto itu bahkan mengaku kebingungan. Karena itu, dia meminta waktu untuk melakukan pengecekan kembali tentang data BPJS Kesehatan dan keuangan lembaga tersebut.
Terawan mengatakan, anggaran memang dilewatkan Kemenkes namun hanya sekadar lewat. Sayangnya, pertanggungjawaban mengenai berapa-berapanya dan digunakan untuk apa, dirinya tidak mendapatkan laporan yang baik.
"Saya lebih baik jantan mengakui bahwa, ya saya saat ini tidak bisa memberikan solusi kalau permasalahan tidak bisa dilaksanakan dan juga transparansi tidak bisa dikerjakan," tegasnya.
Dalam rapat tersebut DPR juga menyinggung soal materi yang disampaikan oleh Menkes. Dalam salah satu slide, disebutkan mengenai kewenangan BPJS Kesehatan yang tak bisa diintervensi oleh kementerian/lembaga lain kecuali Presiden.
Anggota Komisi IX Saleh Daulay menyebut, pernyataan tersebut sangat arogan. Seolah sudah mutlak tak bisa diganggu gugat soal solusi atas kenaikan iuran peserta mandiri kelas III.
"BPJS Kesehatan masa seangkuh itu. Padahal anggaran juga dari sini. Setiap anggaran dari DPR, tentu DPR berhak intervensi," tegasnya.
Sumber : Jawa Pos
Editor : Rinaldi