Senin, 14 Juli 2025

Airlangga: Tarif Ekspor ke AS Ditunda, Negosiasi Masih Berjalan

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membawa kabar yang cukup melegakan terkait tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia. Menurutnya, penerapan tarif sebesar 32 persen yang sempat diumumkan Presiden AS Donald Trump ditunda selama proses negosiasi berlangsung.

“Tidak ada tambahan tarif 10 persen karena BRICS. Dan penerapannya sekarang kita sebut ‘pause’ atau jeda, sambil menyelesaikan proses perundingan,” ujar Airlangga saat mendampingi Presiden Prabowo Subianto di Brussel, Minggu (13/7), dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Sebelum ke Eropa, Airlangga memimpin langsung tim negosiasi Indonesia di Washington DC dan bertemu dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick serta Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer. Hasil dari pertemuan itu kini tengah dalam proses finalisasi, yang ditargetkan rampung dalam tiga minggu ke depan.

Sebelumnya, Presiden Donald Trump menyebut tarif resiprokal akan berlaku per 1 Agustus 2025. Namun, peluang negosiasi yang terbuka ini memberikan harapan bagi keberlanjutan ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam.

Baca Juga:  "Kelulut" Pemadam Karhutla

Harapan dan Tantangan di Tengah Tarif Tinggi

Analis pasar modal, Hans Kwee, menilai bahwa Indonesia sebenarnya telah menunjukkan niat baik dengan menawarkan pembelian produk AS dalam jumlah besar. Namun, permintaan AS agar Indonesia membangun pabrik langsung di sana dinilainya kurang realistis.

“Biaya tenaga kerja di AS tinggi, bahan bakunya terbatas, dan produknya hanya laku di pasar domestik mereka. Ini justru tidak efisien,” jelas dosen Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti itu.

Dampak ekonomi dari tarif ini memang tidak langsung besar, karena ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10 persen dari total ekspor, atau sekitar 2 persen dari PDB. Namun, banyak industri yang terdampak adalah sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik. Jika dikenai tarif tinggi, sektor ini bisa terpukul dan memicu PHK massal, serta melemahkan rupiah akibat menurunnya ekspor.

Beralih ke Eropa, Peluang Baru Terbuka

Di sisi lain, Indonesia kini memperkuat kerja sama dagang dengan Uni Eropa melalui perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Dalam pertemuan antara Presiden Prabowo dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, komitmen untuk merampungkan perjanjian ini kembali diperkuat.

Baca Juga:  Muhammadiyah Tetapkan Idul Fitri 5 Juni 2019

Nilai perdagangan Indonesia-Uni Eropa tercatat mencapai USD 30,1 miliar pada 2024, dan surplus perdagangan Indonesia bahkan naik dari USD 2,5 miliar ke USD 4,5 miliar dalam setahun. Produk andalan ekspor Indonesia ke Eropa antara lain minyak sawit, bijih tembaga, alas kaki, mesin, hingga produk karet.

Studi dari CSIS dan Komisi Eropa menunjukkan, IEU-CEPA berpotensi meningkatkan PDB Indonesia, mendatangkan tambahan pendapatan USD 2,8 miliar, serta mendongkrak ekspor hingga hampir 58 persen dalam tiga tahun.

Menteri Perdagangan Budi Santoso menyebut Eropa sebagai pasar yang lebih menjanjikan. “Impor Uni Eropa dari seluruh dunia mencapai USD 6,6 triliun. Itu dua kali lipat dari nilai impor AS,” tuturnya.

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membawa kabar yang cukup melegakan terkait tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia. Menurutnya, penerapan tarif sebesar 32 persen yang sempat diumumkan Presiden AS Donald Trump ditunda selama proses negosiasi berlangsung.

“Tidak ada tambahan tarif 10 persen karena BRICS. Dan penerapannya sekarang kita sebut ‘pause’ atau jeda, sambil menyelesaikan proses perundingan,” ujar Airlangga saat mendampingi Presiden Prabowo Subianto di Brussel, Minggu (13/7), dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Sebelum ke Eropa, Airlangga memimpin langsung tim negosiasi Indonesia di Washington DC dan bertemu dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick serta Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer. Hasil dari pertemuan itu kini tengah dalam proses finalisasi, yang ditargetkan rampung dalam tiga minggu ke depan.

Sebelumnya, Presiden Donald Trump menyebut tarif resiprokal akan berlaku per 1 Agustus 2025. Namun, peluang negosiasi yang terbuka ini memberikan harapan bagi keberlanjutan ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam.

Baca Juga:  Indonesia Harus Perkuat Trade Diplomacy

Harapan dan Tantangan di Tengah Tarif Tinggi

- Advertisement -

Analis pasar modal, Hans Kwee, menilai bahwa Indonesia sebenarnya telah menunjukkan niat baik dengan menawarkan pembelian produk AS dalam jumlah besar. Namun, permintaan AS agar Indonesia membangun pabrik langsung di sana dinilainya kurang realistis.

“Biaya tenaga kerja di AS tinggi, bahan bakunya terbatas, dan produknya hanya laku di pasar domestik mereka. Ini justru tidak efisien,” jelas dosen Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti itu.

- Advertisement -

Dampak ekonomi dari tarif ini memang tidak langsung besar, karena ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10 persen dari total ekspor, atau sekitar 2 persen dari PDB. Namun, banyak industri yang terdampak adalah sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik. Jika dikenai tarif tinggi, sektor ini bisa terpukul dan memicu PHK massal, serta melemahkan rupiah akibat menurunnya ekspor.

Beralih ke Eropa, Peluang Baru Terbuka

Di sisi lain, Indonesia kini memperkuat kerja sama dagang dengan Uni Eropa melalui perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Dalam pertemuan antara Presiden Prabowo dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, komitmen untuk merampungkan perjanjian ini kembali diperkuat.

Baca Juga:  "Kelulut" Pemadam Karhutla

Nilai perdagangan Indonesia-Uni Eropa tercatat mencapai USD 30,1 miliar pada 2024, dan surplus perdagangan Indonesia bahkan naik dari USD 2,5 miliar ke USD 4,5 miliar dalam setahun. Produk andalan ekspor Indonesia ke Eropa antara lain minyak sawit, bijih tembaga, alas kaki, mesin, hingga produk karet.

Studi dari CSIS dan Komisi Eropa menunjukkan, IEU-CEPA berpotensi meningkatkan PDB Indonesia, mendatangkan tambahan pendapatan USD 2,8 miliar, serta mendongkrak ekspor hingga hampir 58 persen dalam tiga tahun.

Menteri Perdagangan Budi Santoso menyebut Eropa sebagai pasar yang lebih menjanjikan. “Impor Uni Eropa dari seluruh dunia mencapai USD 6,6 triliun. Itu dua kali lipat dari nilai impor AS,” tuturnya.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos
spot_img

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membawa kabar yang cukup melegakan terkait tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia. Menurutnya, penerapan tarif sebesar 32 persen yang sempat diumumkan Presiden AS Donald Trump ditunda selama proses negosiasi berlangsung.

“Tidak ada tambahan tarif 10 persen karena BRICS. Dan penerapannya sekarang kita sebut ‘pause’ atau jeda, sambil menyelesaikan proses perundingan,” ujar Airlangga saat mendampingi Presiden Prabowo Subianto di Brussel, Minggu (13/7), dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Sebelum ke Eropa, Airlangga memimpin langsung tim negosiasi Indonesia di Washington DC dan bertemu dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick serta Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer. Hasil dari pertemuan itu kini tengah dalam proses finalisasi, yang ditargetkan rampung dalam tiga minggu ke depan.

Sebelumnya, Presiden Donald Trump menyebut tarif resiprokal akan berlaku per 1 Agustus 2025. Namun, peluang negosiasi yang terbuka ini memberikan harapan bagi keberlanjutan ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam.

Baca Juga:  Antisipasi Virus Corona di Pelabuhan Dumai

Harapan dan Tantangan di Tengah Tarif Tinggi

Analis pasar modal, Hans Kwee, menilai bahwa Indonesia sebenarnya telah menunjukkan niat baik dengan menawarkan pembelian produk AS dalam jumlah besar. Namun, permintaan AS agar Indonesia membangun pabrik langsung di sana dinilainya kurang realistis.

“Biaya tenaga kerja di AS tinggi, bahan bakunya terbatas, dan produknya hanya laku di pasar domestik mereka. Ini justru tidak efisien,” jelas dosen Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti itu.

Dampak ekonomi dari tarif ini memang tidak langsung besar, karena ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10 persen dari total ekspor, atau sekitar 2 persen dari PDB. Namun, banyak industri yang terdampak adalah sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik. Jika dikenai tarif tinggi, sektor ini bisa terpukul dan memicu PHK massal, serta melemahkan rupiah akibat menurunnya ekspor.

Beralih ke Eropa, Peluang Baru Terbuka

Di sisi lain, Indonesia kini memperkuat kerja sama dagang dengan Uni Eropa melalui perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Dalam pertemuan antara Presiden Prabowo dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, komitmen untuk merampungkan perjanjian ini kembali diperkuat.

Baca Juga:  Dikirim 11 Januari, Rohil Bakal Terima 2.800 Vaksin Covid-19

Nilai perdagangan Indonesia-Uni Eropa tercatat mencapai USD 30,1 miliar pada 2024, dan surplus perdagangan Indonesia bahkan naik dari USD 2,5 miliar ke USD 4,5 miliar dalam setahun. Produk andalan ekspor Indonesia ke Eropa antara lain minyak sawit, bijih tembaga, alas kaki, mesin, hingga produk karet.

Studi dari CSIS dan Komisi Eropa menunjukkan, IEU-CEPA berpotensi meningkatkan PDB Indonesia, mendatangkan tambahan pendapatan USD 2,8 miliar, serta mendongkrak ekspor hingga hampir 58 persen dalam tiga tahun.

Menteri Perdagangan Budi Santoso menyebut Eropa sebagai pasar yang lebih menjanjikan. “Impor Uni Eropa dari seluruh dunia mencapai USD 6,6 triliun. Itu dua kali lipat dari nilai impor AS,” tuturnya.

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari