Pekanbaru (RIAUPOS.CO) – Sebelumnya diberitakan bahwa Kepala Dinas Perindusterian dan Pedagangan (Perindag) Kepulauan Meranti, Marwan, meradang ketika mendengar sejumlah laporan dan keluhan pengencer elpiji 3 Kg.
Keluhan tersebut menyangkut ulah pengkalan yang menjual gas elpiji atas harga normal kepada pengencer. Sehingga para pengencer tidak dapat menjual sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp25 ribu.
Menurut Marwan keluhan tersebut diterima setelah pencabutan larangan penjualan gas elpiji pengecer melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beberapa hari lalu.
Menanggapi hal tersebut, Area Manager Comm, Rel and CSR Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut, Susanto August Satria mengatakan bahwa HET Kab Meranti berdasar Keputusan Bupati Meranti tahun 2016 adalah Rp23.100 sampai Rp26.700. “Sehingga jika subpangkalan menjual di rentang harga tersebut maka harga yang wajar,” ungkapnya pada Riau Pos, Ahad (9/2).
Jika ada pangkalan yang ‘’bermain” harga, maka pihkanya mengaku akan memberikan pembinaan sebagai bentuk sanksi.
“Pangkalan harus mengikuti harga HET yang ditentukan oleh pemerintah setempat. Jika ada pangkalan yang menjual di atas HET yang telah ditentukan maka akan diberikan sanksi pembinaan,” tegasnya.
Sebelumnya gas elpiji 3Kg atau gas melon tak diperkenankan dijual oleh pengecer. Namun, terbaru, kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah ialah gas melon bisa kembali diperjualbelikan oleh pengecer yang statusnya diubah menjadi subpangkalan. Hal tersebut dikatakan sebagai bentuk penataan agar masyarakat mendapatkan harga yang sesuai ditetapkan oleh pemerintah. Tujuannya dari hal tersebut ialah agar harga dari pangkalan ke pengecer atau subpangkalan bisa terkontrol lewat aplikasi Pertamina, Merchant Application Pertamina (MAP).
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memperkirakan subsidi Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 Kg bisa tidak tepat sasaran. Bahkan kerugian yang timbul diprediksi nilainya besar.
Bahlil menjelaskan bahwa negara selama ini telah mensubsidi tiga kebutuhan energi untuk rakyat Indonesia: BBM, listrik, dan gas LPG. Untuk gas LPG sendiri, dalam satu tahun subsidinya senilai Rp87 triliun.
“Perintah Presiden Prabowo ke semua orang di kabinet adalah memastikan uang negara satu sen pun harus pasti sampai ke masyarakat. Penggunaannya harus tepat sasaran sampai ke rakyat. Apalagi LPG ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Bahlil, Ahad (9/2).
Bahlil bercerita, pada awal menjabat sebagai menteri, ia mendapat sejumlah laporan dari aparat penegak hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa program subsidi ini rentan menimbulkan kerugian. Untuk menghindarinya, perlu dilakukan penataan distribusi dan harga yang lebih jelas.
Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, dengan subsidi yang diberikan negara sebesar Rp36.000, harga gas melon per tabung itu menjadi Rp12.000. Dengan harga awal tersebut, Pertamina membawa gas melon ke agen dengan harga Rp12.750. Selanjutnya, dari agen ke pangkalan, harga pertabung seharusnya maksimal hanya Rp15.000. Selama ini, pemerintah bisa memantau langsung proses distribusi dari agen ke pangkalan karena memang terlacak aplikasi, artinya sudah tertata dengan baik oleh sistem.
“Nah, dari pangkalan ke pengecer ini yang enggak ada sistem, enggak ada aplikasi yang bisa memantau. Yang terjadi, seharusnya rakyat maksimal membeli satu tabung seharga Rp18.000 sampai Rp19.000. Tapi fakta di lapangan, ada yang beli sampai Rp25.000 atau Rp30.000,” kata Bahlil.
Dia menjelaskan, ada tiga titik celah untuk oknum bisa melakukan cawe-cawe permainan gas LPG, salah satunya dengan penentuan harga dari pangkalan ke pengecer yang tidak terpantau. (azr/jpg)
“Jika kita asumsikan loss-nya total ada 25-30 persen, kali Rp87 triliun, itu sama dengan Rp25 triliun-Rp26 triliun. Bayangkan. Inilah, dalam rangka implementasi apa yang diarahkan oleh Presiden Prabowo, memastikan yang dikeluarkan pemerintah harus tepat sasaran. Itu niatnya,” pungkas Bahlil.(eca/jpg)