Jumat, 27 Desember 2024

Mesin (Tak) Pintar

BELAKANGAN, di aplikasi WhatSapp (WA) ada fitur baru, namanya Meta AI (artificial intellegence). Lalu, iseng saya ketik:  Tahu WS Djambak?

Meta AI menjawab: WS Djambak atau Wongso Djambak adalah sastrawan, cerpenis, dan novelis Indonesia. Lahir di Padang, Sumatera Barat, pada tahun 1947. Karyanya seringkali berfokus pada tema sosial, budaya, dan politik. Salah satu karyanya yang terkenal adalah novel Bako.

Saya ketik lagi: Apa lagi karyanya?

Meta AI: WS Djambak memiliki beberapa karya sastra, antara lain: Novel: 1. Bako (1988) –novel ini menggambarkan perjuangan hidup masyarakat Padang. 2. Pulang (1992) –novel ini menceritakan pengalaman seorang pejuang kemerdekaan. 3. Merpati Putih (2005) –novel ini berlatar belakang peristiwa sejarah di Sumatera Barat. Kumpulan Cerpen: 1. Kenangan (1978). 2. Perempuan di Titik Nol (1981). 3. Bunga di Atas Batu (1984). Karya Lain: 1. Dalam Bayang-Bayang Senja (esai, 1982). 2. PuisiPuisi Cinta (puisi, 1983).

Sebelum Meta AI muncul di aplikasi WA, sudah muncul AI ChatGPT. Banyak orang yang kemudian seperti mendewakan aplikasi kecerdasan buatan ini dan digunakan dalam banyak hal. Ada yang menggunakannya dalam penulisan buku, terutama kalangan terpelajar seperti guru atau dosen di perguruan tinggi. Bahkan, ada yang menggunakannya untuk menulis karya kreatif sepert esai sastra, cerpen, novel, puisi, dan sebagainya. Dan, banyak pelatihan yang dilakukan oleh sebagian orang tentang AI ini. Kebanyakan malah di kalangan intelektual. Sekali lagi, mereka yang berprofesi sebagai guru maupun dosen. Hanya dalam itungan hari, bukunya sudah terbit. Dan sang pemilik buku itu dengan bangga menuliskan namanya dalam buku yang dibuat oleh kecerdasan buatan tersebut.

Baca Juga:  Saya San (2)

Dalam pelatihan dan pendampingan penulisan cerpen di sebuah sekolah di Bengkalis, saya terkejut. Salah satu siswa berhasil menyelesaikan salah satu cerpennya dengan cepat. Ketika saya baca, sepertinya saya pernah membaca cerpen tersebut. Tapi tak ingat di mana. Lalu saya cari di Google. Tak ada situs atau laman yang secara spesifik menemukan letak cerpen tersebut. Saya ulang baca lagi cerpen itu. Lalu saya teringat beberapa judul cerpen yang sepertinya dikacuk dalam cerpen tersebut. Seperti dicomot dari beberapa judul cerpen dan ditulis ulang.

Lalu saya tanya ke siswa tersebut. “Betul kamu menulis cerpen ini?”

Awalnya siswa tersebut menjawab dengan tegas bahwa dia sendiri yang menulis cerpen itu.

“Mengambil dari Google?” tanya saya lagi. Dia menjawab tidak. Tapi saya tetap curiga. Baru belajar teori seorang pelajar bisa menulis cerpen yang lumayan bagus dan cepat?

Lalu saya tanya lagi: “Kamu pakai ChatGPT? Jujur ya!”

Setelah terdiam beberapa saat, dia menjawab: “Iya Pak. Saya pakai AI…”

Lalu saya katakan: “Di kelas saya, haram menggunakan AI atau ChatGPT atau kecerdasan buatan lainnya untuk menulis karya kreatif…”

Lalu, saya suruh dia menulis secara manual di laptop seperti siswa lainnya. Dan memang, kemampuannya ya seperti siswa lain yang baru belajar menulis cerpen.

Dunia kreatif, penting punya integritas. Integritas ini berbentuk kejujuran dengan menggunakan otak sendiri dalam berkarya. Termasuk tidak mengakui karya orang lain sebagai karya kita alias plagiat, atau menggunakan kecerdasan buatan. Ketika kita menggunakan kecerdasan buatan, tidak malukah kita mengakuinya sebagai karya kita sendiri, seolah berasal dari otak kita? Padahal kenyataannya: kita keluarkan otak kita dari kepala, ditarok di atas meja atau apa, lalu mengambil mesin yang menjelma sebagai AI ChatGPT, atau sejenisnya, dan berkarya dengan mesin itu. Apakah karya itu karya kita sendiri?

Baca Juga:  Saya San

Inilah pangkal masalah beberapa waktu lalu saat heboh dalam penyusunan reviu kanonisasi sastra Indonesia. Pilihan buku sastra oleh para kurator bisa debatebel, tapi reviu yang dilakukan oleh guru-guru yang dipilih Kemendikbud ketika itu yang kacau. Ada reviu yang menulis bahwa Sutardji Calzoum Bachri sudah meninggal dan menjelaskan karya-karyanya. Padahal sebenarnya semestinya reviu itu untuk Sapardi Djoko Damono. Dan banyak kesalahan mendasar lainnya. Dan ternyata, banyak hasil reviu itu menggunakan ChatGPT tanpa adanya penyuntingan secara benar.

Maka, menjadi lucu ketika membaca contoh di atas itu. Ketika saya bertanya siapa WS Djambak –seorang sastrawan muda Riau kelahiran Bukittinggi– Meta AI menjawabnya ngawur. Tak ada yang benar. Bayangkan, jika informasi itu digunakan karena dianggap benar oleh orang yang tak tahu, maka kacaulah dunia literasi kita. Makanya saya heran ketika banyak orang yang justru berkecimpung di dunia intelektual, misalnya pendidikan, justru gandrung dengan kecerdesan buatan.

Maka, saya bertanya lagi: tak malukah mengakui karya mesin sebagai karya otak kita? Padahal otaknya aslinya nggak dipakai?***

 

 

 

BELAKANGAN, di aplikasi WhatSapp (WA) ada fitur baru, namanya Meta AI (artificial intellegence). Lalu, iseng saya ketik:  Tahu WS Djambak?

Meta AI menjawab: WS Djambak atau Wongso Djambak adalah sastrawan, cerpenis, dan novelis Indonesia. Lahir di Padang, Sumatera Barat, pada tahun 1947. Karyanya seringkali berfokus pada tema sosial, budaya, dan politik. Salah satu karyanya yang terkenal adalah novel Bako.

- Advertisement -

Saya ketik lagi: Apa lagi karyanya?

Meta AI: WS Djambak memiliki beberapa karya sastra, antara lain: Novel: 1. Bako (1988) –novel ini menggambarkan perjuangan hidup masyarakat Padang. 2. Pulang (1992) –novel ini menceritakan pengalaman seorang pejuang kemerdekaan. 3. Merpati Putih (2005) –novel ini berlatar belakang peristiwa sejarah di Sumatera Barat. Kumpulan Cerpen: 1. Kenangan (1978). 2. Perempuan di Titik Nol (1981). 3. Bunga di Atas Batu (1984). Karya Lain: 1. Dalam Bayang-Bayang Senja (esai, 1982). 2. PuisiPuisi Cinta (puisi, 1983).

- Advertisement -

Sebelum Meta AI muncul di aplikasi WA, sudah muncul AI ChatGPT. Banyak orang yang kemudian seperti mendewakan aplikasi kecerdasan buatan ini dan digunakan dalam banyak hal. Ada yang menggunakannya dalam penulisan buku, terutama kalangan terpelajar seperti guru atau dosen di perguruan tinggi. Bahkan, ada yang menggunakannya untuk menulis karya kreatif sepert esai sastra, cerpen, novel, puisi, dan sebagainya. Dan, banyak pelatihan yang dilakukan oleh sebagian orang tentang AI ini. Kebanyakan malah di kalangan intelektual. Sekali lagi, mereka yang berprofesi sebagai guru maupun dosen. Hanya dalam itungan hari, bukunya sudah terbit. Dan sang pemilik buku itu dengan bangga menuliskan namanya dalam buku yang dibuat oleh kecerdasan buatan tersebut.

Baca Juga:  Marga Tjoa

Dalam pelatihan dan pendampingan penulisan cerpen di sebuah sekolah di Bengkalis, saya terkejut. Salah satu siswa berhasil menyelesaikan salah satu cerpennya dengan cepat. Ketika saya baca, sepertinya saya pernah membaca cerpen tersebut. Tapi tak ingat di mana. Lalu saya cari di Google. Tak ada situs atau laman yang secara spesifik menemukan letak cerpen tersebut. Saya ulang baca lagi cerpen itu. Lalu saya teringat beberapa judul cerpen yang sepertinya dikacuk dalam cerpen tersebut. Seperti dicomot dari beberapa judul cerpen dan ditulis ulang.

Lalu saya tanya ke siswa tersebut. “Betul kamu menulis cerpen ini?”

Awalnya siswa tersebut menjawab dengan tegas bahwa dia sendiri yang menulis cerpen itu.

“Mengambil dari Google?” tanya saya lagi. Dia menjawab tidak. Tapi saya tetap curiga. Baru belajar teori seorang pelajar bisa menulis cerpen yang lumayan bagus dan cepat?

Lalu saya tanya lagi: “Kamu pakai ChatGPT? Jujur ya!”

Setelah terdiam beberapa saat, dia menjawab: “Iya Pak. Saya pakai AI…”

Lalu saya katakan: “Di kelas saya, haram menggunakan AI atau ChatGPT atau kecerdasan buatan lainnya untuk menulis karya kreatif…”

Lalu, saya suruh dia menulis secara manual di laptop seperti siswa lainnya. Dan memang, kemampuannya ya seperti siswa lain yang baru belajar menulis cerpen.

Dunia kreatif, penting punya integritas. Integritas ini berbentuk kejujuran dengan menggunakan otak sendiri dalam berkarya. Termasuk tidak mengakui karya orang lain sebagai karya kita alias plagiat, atau menggunakan kecerdasan buatan. Ketika kita menggunakan kecerdasan buatan, tidak malukah kita mengakuinya sebagai karya kita sendiri, seolah berasal dari otak kita? Padahal kenyataannya: kita keluarkan otak kita dari kepala, ditarok di atas meja atau apa, lalu mengambil mesin yang menjelma sebagai AI ChatGPT, atau sejenisnya, dan berkarya dengan mesin itu. Apakah karya itu karya kita sendiri?

Baca Juga:  Saya San

Inilah pangkal masalah beberapa waktu lalu saat heboh dalam penyusunan reviu kanonisasi sastra Indonesia. Pilihan buku sastra oleh para kurator bisa debatebel, tapi reviu yang dilakukan oleh guru-guru yang dipilih Kemendikbud ketika itu yang kacau. Ada reviu yang menulis bahwa Sutardji Calzoum Bachri sudah meninggal dan menjelaskan karya-karyanya. Padahal sebenarnya semestinya reviu itu untuk Sapardi Djoko Damono. Dan banyak kesalahan mendasar lainnya. Dan ternyata, banyak hasil reviu itu menggunakan ChatGPT tanpa adanya penyuntingan secara benar.

Maka, menjadi lucu ketika membaca contoh di atas itu. Ketika saya bertanya siapa WS Djambak –seorang sastrawan muda Riau kelahiran Bukittinggi– Meta AI menjawabnya ngawur. Tak ada yang benar. Bayangkan, jika informasi itu digunakan karena dianggap benar oleh orang yang tak tahu, maka kacaulah dunia literasi kita. Makanya saya heran ketika banyak orang yang justru berkecimpung di dunia intelektual, misalnya pendidikan, justru gandrung dengan kecerdesan buatan.

Maka, saya bertanya lagi: tak malukah mengakui karya mesin sebagai karya otak kita? Padahal otaknya aslinya nggak dipakai?***

 

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Tragedi Amir (2)

Tragedi Amir

Masagung

The Boxer

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari