Kartosoewiryo

JIKA merunut sejarah awal pendidikannya, banyak yang tidak percaya kalau Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewiryo berubah menjadi penganut Islam yang begitu kukuh ingin mendirikan negara dengan dasar syariat Islam. Dan itu dilakukannya dengan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) yang diproklamirkannya pada 7 Agustus 1949. Hanya beberapa bulan sebelum pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada Desember 1949 dalam Perjanjian Meja Bundar di Den Haag.

Untuk mewujudkan cita-cita NII ini, SM Kartosoewiryo melancarkan pemberontakan dengan nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sejak 1949 hingga 1962. Pertemanannya dengan Presiden Soekarno tidak menyurutkan gerakannya itu. Yang menarik, DI/TII pimpinan SM Kartosoewiryo menjadi inspirasi gerakan serupa di beberapa daerah, yakni di Jawa Tengah (Jateng, DI/TII Amir Fatah), Sulawesi Selatan (Sulsel, DI/TII Kahar Muzakkar), Aceh (DI/TII Tengku Daud Beureueh), dan Kalimantan Selatan (Kalsel, DI/TII Ibnu Hajar).

- Advertisement -

Pemberontakan DI/TII di beberapa daerah ini sangat merepotkan Indonesia yang masih muda, yang baru lepas dari cengkeraman Belanda. Ini belum ditambah dengan beberapa pemberontakan lain di luar NII, misalnya Andi Azis, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), PKI 1948 dan 1965, hingga PRRI/Permesta di Sulawesi dan Sumatra. Yang menarik lagi, hingga saat ini, ide Negara Islam yang diproklamirkan SM Kartosoewiryo ini, masih menjadi ilham gerakan-gerakan serupa yang intensitasnya lebih kecil lagi pada kelompok-kelompok masyarakat yang cukup merepotkan.

Jika di masa SM Kartosuwiryo langsung angkat senjata secara terbuka melawan pemerintah, di masa setelah itu mereka “bergerilya” dengan melakukan praktik bom bunuh diri. Jamaah Islamiyah (JI) dengan semua organisasi diasporanya, melakukannya di banyak momen yang membuat masyarakat ketakutan. Banyak yang yakin, meski saat ini gerakan yang dianggap sebagai gerakan terorisme oleh pemerintah terlihat adem, keinginan untuk mendirikan NII masih tetap ada di bawah tanah. Mereka menjelma dan menyaru dalam berbagai organisasi yang ada dalam masyarakat.

- Advertisement -

Meski dikenal sebagai imam besar NII dengan DI/TII yang digerakkannya, lelaki kelahiran Cepu (Jateng), 7 Januari 1907, sebenarnya dianggap sosok yang tak terlalu islami. Ini jika dilihat dari pendidikan yang diterimanya sejak kecil, hingga pernah dianggap sebagai salah seorang penyuka sosialisme dan komunisme. Di Cepu, keluarga Kartosoewiryo –nama sang ayah— bukanlah pemeluk Islam yang taat. Bahkan mereka mengaku Islam Abangan –sebuah sebutan bagi penganut Islam yang tak menjalankan syariat Islam, salah satunya salat 5 waktu, dan masih mencampurkan ajaran Islam dengan praktik Jawa tradisional.

Nama lahirnya adalah Sekarmadji Maridjan, namun dia kenal sebagai Kartosoewiryo (dengan “j” atau “y”), yang merupakan nama ayahnya. Dia satu dari sepasang anak Kartosoewiryo senior (sr), seorang mantri candu. Kartosoewiryo salah satu dari 7 anak Kartodikromo, seorang lurah di Cepu. Salah satu adik Kartosoewirjo Marco Kartodikromo –dikenal dengan Mas Marco– adalah seorang penulis dan aktivis gerakan anti-Belanda berhaluan kiri yang menulis novel Student Hidjo. Ayah Kartodikromo sendiri adalah Lurah Merak, Panolan, Cepu, yang bernama Ronodikromo, yang masih keturunan Arya Penangsang, Adipati Jipang di abad ke-16.

Nah, di masa mudanya, SM Kartosoewiryo banyak membaca buku-buku sosialisme yang diperoleh dari sang paman, Mas Marco, sehingga dia dianggap lebih menyukai sosialisme (juga komunisme) ketimbang islamisme. Mas Marco juga yang membuatnya terjun ke politik. Teman-temannya yang pernah bersama dalam pergerakan kemerdekaan seperti Amir Syarifuddin dan yang lainnya sedikit tak percaya ketika kemudian SM Kartosoewiryo memproklamirkan NII. Mereka menganggap SM Kartosoewiryo hanya menjadikan Islam sebagai alat politik dan propagandanya agar mudah menarik pengikut.

Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewiryo adalah salah anak bumiputera yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu. Pada umur 8 tahun, Kartosoewiryo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera.

Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, SM Kartosoewiryo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiyah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewiryo. Pemikiran Notodiharjo ini yang dianggap mempengaruhi sikap SM Kartosoewiryo dalam merespon ajaran-ajaran Islam, namun tetap belum mengubah kesukaannya pada sosialisme.

Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, SM Kartosoewiryo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands-Indische Artsenschool. Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Syarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewiryo. Ketertarikan Kartosoewiryo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya, Mas Marco, yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika nanti Kartosoewiryo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas keislaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi. Tahun 1927, Kartosoewiryo dikeluarkan dari Nederlands-Indische Artsenschool karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis. Sesuatu yang mengherankan banyak orang.***

 

JIKA merunut sejarah awal pendidikannya, banyak yang tidak percaya kalau Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewiryo berubah menjadi penganut Islam yang begitu kukuh ingin mendirikan negara dengan dasar syariat Islam. Dan itu dilakukannya dengan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) yang diproklamirkannya pada 7 Agustus 1949. Hanya beberapa bulan sebelum pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada Desember 1949 dalam Perjanjian Meja Bundar di Den Haag.

Untuk mewujudkan cita-cita NII ini, SM Kartosoewiryo melancarkan pemberontakan dengan nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sejak 1949 hingga 1962. Pertemanannya dengan Presiden Soekarno tidak menyurutkan gerakannya itu. Yang menarik, DI/TII pimpinan SM Kartosoewiryo menjadi inspirasi gerakan serupa di beberapa daerah, yakni di Jawa Tengah (Jateng, DI/TII Amir Fatah), Sulawesi Selatan (Sulsel, DI/TII Kahar Muzakkar), Aceh (DI/TII Tengku Daud Beureueh), dan Kalimantan Selatan (Kalsel, DI/TII Ibnu Hajar).

Pemberontakan DI/TII di beberapa daerah ini sangat merepotkan Indonesia yang masih muda, yang baru lepas dari cengkeraman Belanda. Ini belum ditambah dengan beberapa pemberontakan lain di luar NII, misalnya Andi Azis, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), PKI 1948 dan 1965, hingga PRRI/Permesta di Sulawesi dan Sumatra. Yang menarik lagi, hingga saat ini, ide Negara Islam yang diproklamirkan SM Kartosoewiryo ini, masih menjadi ilham gerakan-gerakan serupa yang intensitasnya lebih kecil lagi pada kelompok-kelompok masyarakat yang cukup merepotkan.

Jika di masa SM Kartosuwiryo langsung angkat senjata secara terbuka melawan pemerintah, di masa setelah itu mereka “bergerilya” dengan melakukan praktik bom bunuh diri. Jamaah Islamiyah (JI) dengan semua organisasi diasporanya, melakukannya di banyak momen yang membuat masyarakat ketakutan. Banyak yang yakin, meski saat ini gerakan yang dianggap sebagai gerakan terorisme oleh pemerintah terlihat adem, keinginan untuk mendirikan NII masih tetap ada di bawah tanah. Mereka menjelma dan menyaru dalam berbagai organisasi yang ada dalam masyarakat.

Meski dikenal sebagai imam besar NII dengan DI/TII yang digerakkannya, lelaki kelahiran Cepu (Jateng), 7 Januari 1907, sebenarnya dianggap sosok yang tak terlalu islami. Ini jika dilihat dari pendidikan yang diterimanya sejak kecil, hingga pernah dianggap sebagai salah seorang penyuka sosialisme dan komunisme. Di Cepu, keluarga Kartosoewiryo –nama sang ayah— bukanlah pemeluk Islam yang taat. Bahkan mereka mengaku Islam Abangan –sebuah sebutan bagi penganut Islam yang tak menjalankan syariat Islam, salah satunya salat 5 waktu, dan masih mencampurkan ajaran Islam dengan praktik Jawa tradisional.

Nama lahirnya adalah Sekarmadji Maridjan, namun dia kenal sebagai Kartosoewiryo (dengan “j” atau “y”), yang merupakan nama ayahnya. Dia satu dari sepasang anak Kartosoewiryo senior (sr), seorang mantri candu. Kartosoewiryo salah satu dari 7 anak Kartodikromo, seorang lurah di Cepu. Salah satu adik Kartosoewirjo Marco Kartodikromo –dikenal dengan Mas Marco– adalah seorang penulis dan aktivis gerakan anti-Belanda berhaluan kiri yang menulis novel Student Hidjo. Ayah Kartodikromo sendiri adalah Lurah Merak, Panolan, Cepu, yang bernama Ronodikromo, yang masih keturunan Arya Penangsang, Adipati Jipang di abad ke-16.

Nah, di masa mudanya, SM Kartosoewiryo banyak membaca buku-buku sosialisme yang diperoleh dari sang paman, Mas Marco, sehingga dia dianggap lebih menyukai sosialisme (juga komunisme) ketimbang islamisme. Mas Marco juga yang membuatnya terjun ke politik. Teman-temannya yang pernah bersama dalam pergerakan kemerdekaan seperti Amir Syarifuddin dan yang lainnya sedikit tak percaya ketika kemudian SM Kartosoewiryo memproklamirkan NII. Mereka menganggap SM Kartosoewiryo hanya menjadikan Islam sebagai alat politik dan propagandanya agar mudah menarik pengikut.

Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewiryo adalah salah anak bumiputera yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu. Pada umur 8 tahun, Kartosoewiryo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera.

Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, SM Kartosoewiryo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiyah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewiryo. Pemikiran Notodiharjo ini yang dianggap mempengaruhi sikap SM Kartosoewiryo dalam merespon ajaran-ajaran Islam, namun tetap belum mengubah kesukaannya pada sosialisme.

Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, SM Kartosoewiryo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands-Indische Artsenschool. Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Syarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewiryo. Ketertarikan Kartosoewiryo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya, Mas Marco, yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika nanti Kartosoewiryo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas keislaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi. Tahun 1927, Kartosoewiryo dikeluarkan dari Nederlands-Indische Artsenschool karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis. Sesuatu yang mengherankan banyak orang.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

The Boxer

(Kurikulum) Sastra 3

(Kurikulum) Sastra 2

(Kurikulum) Sastra