Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Sepakat Tak Ada Subsidi Iuran BPJS

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Meski mendapat kritikan dari DPR, pemerintah bersikukuh menjalankan Peraturan Presiden no 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menegaskan, yang harus dipersiapkan adalah mitigasi risiko atas pemberlakukan perpres tersebut. Misalnya saja soal cleansing data peserta penerima bantuan iuran (PBI).

Kemarin (6/1) rapat tingkat menteri (RTM) dilakukan di Kemenko PMK. Rapat tersebut membahas tentang keberlanjutan JKN. Termasuk wacana pemberian subsidi bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas III yang tidak mampu. Usulan subsidi itu sempat diutarakan oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat rapat dengan Komisi IX DPR.

Dalam rapat kemarin, pemerintah akhirnya memutuskan tak ada subsidi. Sebab, subsidi dianggap tidak sesuai dengan PP 87 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan dan Undang-Undang BPJS. “Sudah diambil kesepakatan, Perpres 75/2019 dilaksanakan apa adanya,” terang Muhadjir.

Menurut mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu, perpres tersebut sudah dipertimbangkan dalam waktu lama, termasuk soal risiko. Salah satu risiko yang diprediksi pemerintah adalah adanya peserta yang turun kelas. 

Menurut data BPJS Kesehatan, hingga Desember lalu jumlah PBPU kelas I sebanyak 153.466 orang dan PBPU kelas II ada 219.458 orang. Dia justru mendorong agar penurunan kelas dipermudah. Selain itu, dia juga menyatakan bahwa tempat tidur untuk kelas 3 yang diprediksi membeludak juga harus ditingkatkan.

Baca Juga:  Kadis TPH Panen Bersama Padi Gogo

Bagi mereka yang tidak mampu, disarankan melapor ke dinas sosial untuk pindah kepesertaan menjadi PBI. Pemerintah mengalokasikan 96,8 juta peserta yang dibiayai APBN. Untuk mempermudah, dilakukan cleansing data. Tujuannya menyaring siapa yang sudah tidak berhak menjadi peserta PBI. "Cleansing data dari 30 juta, sekarang tinggal enam juta peserta," ungkapnya.

Sementara itu, Sekjen Kemenkes Oscar Primadi menyatakan, kementeriannya telah menyurati seluruh rumah sakit agar mengantisipasi kemungkinan membeludaknya peserta kelas 3. Menurut dia, dalam surat tersebut,  tertera ketentuan bahwa tempat tidur kelas 3 di rumah sakit setidaknya ada 60 persen. "Rata-rata rumah sakit sudah melakukan itu," ujarnya.

Ditemui seusai rapat, Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan, ada 9,8 juta PBPU yang menunggak iuran. Petugas akan melakukan verifikasi apakah peserta tersebut terlambat karena tidak mampu atau sengaja tidak mau bayar. "Jika tidak mampu, akan kami usulkan ke Kemensos agar didaftar sebagai PBI," ungkapnya.

Sekjen Kemensos Hartono Laras menambahkan, instansinya akan terus melakukan update data warga miskin. Mereka yang dinyatakan miskin akan masuk dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). "Kami usulkan beberapa bentuk upaya kita memperbaiki dan membersihkan data yang belum ada dalam DTKS," ungkapnya. 

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memandang, masyarakat akan makin terbebani jika iuran BPJS naik, namun tidak dibarengi dengan subsidi dari pemerintah. "Terasa juga kenaikannya (bebannya) akan signifikan, yang kelas I saja terasa, apalagi kelas III," ujarnya kepada JPG, kemarin (6/1).

Baca Juga:  Bikin Bangga Singapura, Namanya Disejajarkan Joseph Schooling 

Menurut Bhima, kenaikan iuran itu akan membuat masyarakat mengorbankan konsumsi untuk kebutuhan pokok yang lain. Hal itu akan berdampak pada daya beli masyarakat. Secara umum, dia menyebut bahwa kenaikan iuran untuk menambal defisit masih belum cukup menjadi salah satu kunci keberlangsungan kinerja BPJS. "Karena selain iuran, juga ada masalah kepatuhan. Iuran naik tapi kepatuhan rendah justru nggak jadi solusi. Saya nggak sepakat adanya kenaikan iuran," jelasnya. 

Bhima menuturkan, kenaikan iuran hanya menjadi solusi temporer. Nantinya, pada 2021 pun pemerintah akan menghadapi problem yang sama jika tak mengambil solusi yang tepat. Menurut Bhima, solusi terbaik yang dapat ditempuh adalah tetap memberi subsidi. Kucuran subsidi itu bisa didapat dari realokasi anggaran cukai maupun alkohol. 

"Yang namanya cukai rokok itu anggarannya relatif besar, sekitar Rp100 triliunan lebih. Kalau digunakan untuk menutup defisit BPJS juga nggak akan terasa. Jangan dibebankan pada masyarakat, karena beban hidup 2020 ini akan lebih besar," jelasnya.

Hadi Rianto, warga Purwokerto, mengaku keberatan dengan naiknya iuran BPJS Kesehatan kelas 3 mandiri. Meski begitu, dia memilih pasrah mengikuti aturan pemerintah. "Kalau dipikir berat ya berat. Tapi apa mau dikata. Saya ngikutin saja," ujarnya. (lyn/dee/han/oni/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Meski mendapat kritikan dari DPR, pemerintah bersikukuh menjalankan Peraturan Presiden no 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menegaskan, yang harus dipersiapkan adalah mitigasi risiko atas pemberlakukan perpres tersebut. Misalnya saja soal cleansing data peserta penerima bantuan iuran (PBI).

Kemarin (6/1) rapat tingkat menteri (RTM) dilakukan di Kemenko PMK. Rapat tersebut membahas tentang keberlanjutan JKN. Termasuk wacana pemberian subsidi bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas III yang tidak mampu. Usulan subsidi itu sempat diutarakan oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat rapat dengan Komisi IX DPR.

- Advertisement -

Dalam rapat kemarin, pemerintah akhirnya memutuskan tak ada subsidi. Sebab, subsidi dianggap tidak sesuai dengan PP 87 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan dan Undang-Undang BPJS. “Sudah diambil kesepakatan, Perpres 75/2019 dilaksanakan apa adanya,” terang Muhadjir.

Menurut mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu, perpres tersebut sudah dipertimbangkan dalam waktu lama, termasuk soal risiko. Salah satu risiko yang diprediksi pemerintah adalah adanya peserta yang turun kelas. 

- Advertisement -

Menurut data BPJS Kesehatan, hingga Desember lalu jumlah PBPU kelas I sebanyak 153.466 orang dan PBPU kelas II ada 219.458 orang. Dia justru mendorong agar penurunan kelas dipermudah. Selain itu, dia juga menyatakan bahwa tempat tidur untuk kelas 3 yang diprediksi membeludak juga harus ditingkatkan.

Baca Juga:  Negara di Eropa Berangsur Normal

Bagi mereka yang tidak mampu, disarankan melapor ke dinas sosial untuk pindah kepesertaan menjadi PBI. Pemerintah mengalokasikan 96,8 juta peserta yang dibiayai APBN. Untuk mempermudah, dilakukan cleansing data. Tujuannya menyaring siapa yang sudah tidak berhak menjadi peserta PBI. "Cleansing data dari 30 juta, sekarang tinggal enam juta peserta," ungkapnya.

Sementara itu, Sekjen Kemenkes Oscar Primadi menyatakan, kementeriannya telah menyurati seluruh rumah sakit agar mengantisipasi kemungkinan membeludaknya peserta kelas 3. Menurut dia, dalam surat tersebut,  tertera ketentuan bahwa tempat tidur kelas 3 di rumah sakit setidaknya ada 60 persen. "Rata-rata rumah sakit sudah melakukan itu," ujarnya.

Ditemui seusai rapat, Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan, ada 9,8 juta PBPU yang menunggak iuran. Petugas akan melakukan verifikasi apakah peserta tersebut terlambat karena tidak mampu atau sengaja tidak mau bayar. "Jika tidak mampu, akan kami usulkan ke Kemensos agar didaftar sebagai PBI," ungkapnya.

Sekjen Kemensos Hartono Laras menambahkan, instansinya akan terus melakukan update data warga miskin. Mereka yang dinyatakan miskin akan masuk dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). "Kami usulkan beberapa bentuk upaya kita memperbaiki dan membersihkan data yang belum ada dalam DTKS," ungkapnya. 

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memandang, masyarakat akan makin terbebani jika iuran BPJS naik, namun tidak dibarengi dengan subsidi dari pemerintah. "Terasa juga kenaikannya (bebannya) akan signifikan, yang kelas I saja terasa, apalagi kelas III," ujarnya kepada JPG, kemarin (6/1).

Baca Juga:  Tiga Tahun Lalu Gisel Kehilangan HP, Nah Lho...

Menurut Bhima, kenaikan iuran itu akan membuat masyarakat mengorbankan konsumsi untuk kebutuhan pokok yang lain. Hal itu akan berdampak pada daya beli masyarakat. Secara umum, dia menyebut bahwa kenaikan iuran untuk menambal defisit masih belum cukup menjadi salah satu kunci keberlangsungan kinerja BPJS. "Karena selain iuran, juga ada masalah kepatuhan. Iuran naik tapi kepatuhan rendah justru nggak jadi solusi. Saya nggak sepakat adanya kenaikan iuran," jelasnya. 

Bhima menuturkan, kenaikan iuran hanya menjadi solusi temporer. Nantinya, pada 2021 pun pemerintah akan menghadapi problem yang sama jika tak mengambil solusi yang tepat. Menurut Bhima, solusi terbaik yang dapat ditempuh adalah tetap memberi subsidi. Kucuran subsidi itu bisa didapat dari realokasi anggaran cukai maupun alkohol. 

"Yang namanya cukai rokok itu anggarannya relatif besar, sekitar Rp100 triliunan lebih. Kalau digunakan untuk menutup defisit BPJS juga nggak akan terasa. Jangan dibebankan pada masyarakat, karena beban hidup 2020 ini akan lebih besar," jelasnya.

Hadi Rianto, warga Purwokerto, mengaku keberatan dengan naiknya iuran BPJS Kesehatan kelas 3 mandiri. Meski begitu, dia memilih pasrah mengikuti aturan pemerintah. "Kalau dipikir berat ya berat. Tapi apa mau dikata. Saya ngikutin saja," ujarnya. (lyn/dee/han/oni/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari