(RIAUPOS.CO) – GURU merupakan tulang punggung bangsa untuk menghasilkan sumber daya manusia sesuai Visi Indonesia Emas 2045. Guru madrasah adalah mereka yang membentuk karakter dan akhlak serta memberikan bekal pendidikan agama untuk menjalani kehidupan di dunia dan akhirat. Maka, menuju Indonesia Emas 2045, Madrasah perlu mempersiapkan siswa-siswi yang unggul dan berdaya saing global, selain itu memfasilitasi guru agar berani melakukan inovasi dan perubahan serta memiliki growth mindset. Yaitu cara pandang yang selalu ingin tumbuh, berkembang, adaptif mencari solusi dan terus melakukan pengembangan keprofesian.
Pengembangan profesionalisme guru madrasah menunjukkan kecenderungan meningkat setiap tahun, data di Direktorat Pendidikan Profesi Guru jumlah Universitas yang ikut dalam Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) sekitar 130 Kampus, program PPG sangat menentukan seorang guru layak disebut sebagai guru profesional dan layak mendapat perhatian pemerintah dengan berbagai tunjangan dan sertifikasi atau malah sebaliknya, bahwa PPG sebatas pemenuhan terhadap syarat dokumen dan sertifikasi. Seharusnya lebih dari sekedar syarat administrasi sehingga PPG dapat menyentuh sisi batiniyah guru dan betul-betul membangkitkan citra guru madrasah profesional ke depan.
Tentangan era 4.0 atau 5.0 terkadang menyisihkan sisi batiniyah tersebut, padahal guru madrasah tidak dapat terlepas dari kemulian nilai ajaran Islam (makarim syariah), kesan guru profesional tidak hanya dibuktikan dengan lengkapnya administrasi dan sekedar sudah lulus dari program PPG, guru profesional dilengkapi dengan makarim syariah yang terus mewarnai citra guru madrasah dimanapun. Setidaknya pengembangan profesionalisme guru madrasah diarahkan pada pemaknaan mendalam tentang hakikat guru profesional, berbasis makarim syariah dan mencari arah baru pengembangan profesionalisme guru Madrasah ke depan.
Hakikat Guru Profesional
Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Khusus untuk guru madrasah, berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 Pasal 16 ditambah dengan kompetensi kepemimpinan (Tambak & Sukenti, 2020).
Guru profesional merupakan satu situasi yang terbuka, penuh kebebasan bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran secara efektif dalam standar yang lebih tinggi dengan rasa tanggung jawab, dan mengarahkan diri sendiri secara terus menerus untuk berkembang (Tambak et al., 2020; Fazio, 2018; Kohli, 2019). Keberhasilan guru dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran tidak terlepas dari kompetensi yang dimilikinya, semangat dan motivasi tinggi, bahwa kinerja guru tidak dapat maksimal, tanpa diimbangi dengan penguasaan kompetensi profesional mencakup substansi keilmuan, menguasai konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari, menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan/materi bidang studi, tampak pada bagian ini guru profesional tidak boleh melupakan penguasaan terhadap langkah-langkah penelitian dan kajian kritis pada bidang keilmuan tertentu.
Berbasis Makarim Syari’ah
Makarim syari’ah merupakan “suatu ungkapan terhadap sesuatu yang tidak akan menjauhkan diri dari sifat-sifat Tuhan yang terpuji seperti kebijaksanaan, kebaikan, murah hati, pengetahuan dan kepemaafan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, berbudi baik, dan keuatamaan. Makarim al-syari’ah berisi ungkapan yang ditujukan kepada siapa saja yang memiliki sifat-sifat Tuhan yang terpuji, seperti hikmah, jud, hilm. ‘ilm dan ‘awf. Dengan mengusahakan makarim syari’ah ini, manusia pantas mendapat khalifah Allah SWT. Makarim al-syari’ah dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi di akhirat (Rahman, 2022).
Di sisi lain terungkap pula, bahwa sifat-sifat makarim syari’ah ini dikelompokkan ke dalam cakupan daya-daya ruhaniyah yang dapat menghantarkan manusia ke dimensi malaikat (Amril, 2021). Makarim syari’ah sebagai hasil penyucian jiwa diidentikkan dengan segala bentuk perilaku yang baik, termasuk perbuatan baik untuk orang lain di luar diri sendiri tidak hanya peningkatan kualtias personal, tapi juga membawa peningkatan kebaikan pada orang lain (Amril, 2002). Menurut al-Isfahani (2007), makarim syariah tidak hanya sebatas untuk mendapat predikat khalifah Allah SWT atau ibadah dan immarah fi al-ard, sebagai tiga fungsi manusia di bumi ini, melianka menyangkut akhlak yang terpuji dan menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela. Bahwa, penyatuan antara makarim syari’ah dan daya-daya ruhaniyah menjadi modal atau basis penting untuk pengembangan keprofesionalan guru.
Profesionalisme Guru Madrasah Masa Depan
Pertama, penerapan nilai ilahiah. Guru madrasah profesional Islam adalah mereka yang mengajar berdasarkan nilai-nilai Islam, mampu menghubungkan antara pembelajaran dan profesi di masa depan, menyiapkan perencanaan, pelaksanaan, penilaian pembelajaran agama Islam serta diyakinkan profesional keislaman terbuka terhadap pengembangan keilmuan Islam. Guru profesional Islam mampu mengembangkan kompetensi berbasis Islam, seperti kemampuan mengajar berdasarkan nilai-nilai Islam, berdasarkan nilai-nilai keikhlasan/moral, nilai akidah, tauhid, akhlak dalam pembelajaran. Hal yang semakin jelas terungkap dalam pandangan guru madrasah, bahwa guru Islam profesional adalah mereka yang menerapkan kompetensi tambahan, yaitu kompetensi muaddib, kompetensi muallim, dan kompetensi murabbi. Guru tidak hanya mengajarkan ilmu kepada siswa, tetapi juga menampilkan diri sebagai uswah hasanah yang dapat diteladani oleh siswa. Guru memiliki kemampuan menggerakkan perasaan siswa untuk mempraktikkan ilmu yang dimilikinya.
Kedua, perkuat paradigma makarim syari’ah. Makarim syariah bagi guru profesional Islam sebagai perbuatan yang mendekatkan diri pada sifat-sifat Allah SWT seperti hikmah, jud, hilm. ‘ilm dan ‘afwu, Makarim syari’ah merupakan hasil penyucian jiwa identik dengan segala bentuk perilaku yang baik, baik untuk orang lain di luar diri sendiri, ada peningkatan kualitas personal membawa peningkatan pada kebaikan pada orang lain. Sifat-sifat makarim syari’ah dikelompokkan juga ke dalam cakupan daya-daya ruhaniah yang dapat mengantarkan manusia ke dimensi malaikat (Amril, 2002). Dengan Makarim syari’ah guru akan memperoleh daya-daya jiwa/ruhaniah seperti dengan membaikkan daya berpikir akan menghasilkan kemampuan membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam masalah akidah, juga dapat membedakan antara yang benar dan yang bohong dalam ucapan, serta elok dari yang jelek dalam tindakan. Daya shahwiya (syahwat) dengan iffah (sederhana), akan terpimpin oleh jud (murah hati) dan kedermawanan. Daya hamiyya (gelora marah) melalui mengekangnya, akan menghasilkan hilm (santun) yang pada gilirannya dapat pula menghasilkan syaja’ah (berani). Dengan tiga daya ini, jiwa akan menghasilkan adalah (adil) dan ihsan (baik budi).
Ketiga, intensitas makarim syari’ah dan ahkam syari’ah. Ahkam syari’ah adalah ibadah-ibadah fardhu yang telah ditentukan dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan, meninggalkannya termasuk zalim yang disengaja berbeda dengan Makarim syari’ah ibadah selain tidak ditentukan, juga tidak membawa kezaliman bagi orang yang meninggalkannya (al-Isfahani, 2007; Muhmidayeli, 2019; Amril, 2002; al-Isfahani, 1908; Tambak, 2020).
Dari konsep dasar makarim syari’ah dapat dikatakan bergerak pada tataran perilaku moral etis, sedangkan ahkam syari’ah bergerak pada tataran perilaku moral dogmatis. Perilaku moral pada makarim syari’ah bersifat terbuka menuju peraihan kebaikan dan kebajikan, sedangkan perilaku moral pada ahkam syari’ah bersifat tertutup dan ditentukan oleh legalitas agama. Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa makarim syari’ah adalah kelanjutan dari ahkam syari’ah dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan kewajiban-kewajibannya tanpa mengharapkan imbalan.
Keempat, kepemilikan makarim syari’ah. Makrim syari’ah itu diawali dengan penyucian tiga daya jiwa yaitu daya mufakkara, daya syahwiya, dan daya hamiyya. Penyucian tiga daya ini adalah tahapan awal untuk meraih makarim syari’ah, karena melalui penyucian tiga daya jiwa inilah niscaya makarim syari’ah dapat diraih. Penyucian jiwa secara spesifik dilakukan dengan cara mendidik, mengendalikan dan mengekang tiga daya seperti disebutkan, yang pada gilirannya dapat melahirkan perilaku moral, atau sebalikanya perilaku amoral akan lahir bila ketiga daya jiwa tersebut tidak disucikan (al-Isfahani, 2007; Tambak, 2020). Penyucian daya mufakkara dilakukan dengan mendidiknya melalui belajar, sehingga dengan demikian dapat melahirkan hikma dan ilmu. Penyucian daya shahwiya dengan cara mengekangnya, sehingga dapat melahirkan ‘iffa dan jud. Sementara untuk daya hamiyya dilakukan dengan memimpin daya ini, sehingga tunduk kepada akal, selanjutnya akan melahirkan syaja’a dan hilm. Guru professional berbasis makarim syri’ah mesti melakukan tazkiyatun nafs yang merupakan suatu proses penyucian jiwa manusia dari kotoran kotoran lahir maupun batin, bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yaitu fitrah tauhid, fitrah iman, Islam, dan ihsan.***