Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Kartun sebagai Ruang Kritik, Masa Depan Dunia Kartun Riau

Oleh sebagian orang, dunia kartun dianggap hal yang sepele karena hanya menjadi sarana hiburan. Padahal kartun bisa menjadi ruang kritik sosial.

RIAUPOS.CO – DUNIA kartun Riau terlihat mulai menggeliat kembali dengan terbitnya buku kartun opini berjudul Pemilu Lalu: Kartun Opini 2014-2019 karya Furqon Elwe. Kartun-kartun yang ada dalam buku tersebut khusus menyoroti Pemilu 2014 dan 2019 yang gaduh dan sempat menimbulkan polarisasi dalam masyarakat Indonesia. Menurut Furqon, buku tersebut sengaja diterbitkannya menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 ini agar menjadi refleksi bagi masyarakat Indonesia.

Pada Sabtu (3/2/2024) lalu, buku ini dibedah dan didiskusikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru di Begawi Institut, Anjungan Kampar, Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), Pekanbaru. Tampil sebagai pembicara adalah mantan Ketua AJI Pekanbaru yang kini menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Riau Ilham Muhammad Yasir; akademisi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska, M Badri; dan Ketua AJI Pekanbaru, Eko Faizin. Hadir dalam kegiatan tersebut budayawan Rida K Liamsi, jurnalis dan ahli pers Hasan Basril, mantan Ketua Ombudsman Riau Ahmad Fitri, kartunis Dhany Pramata, wartawan senior Kazzaini Ks, Mosthamir Thalib, Siti Salmah, dan beberapa wartawan dan seniman lainnya.

Ada hal penting yang bisa ditarik benang merahnya dalam diskusi tersebut. Yang pertama, bagaimana seorang kartunis yang membuat kartun opini terlindungi secara hukum bila kartunnya menimbulkan ekses di masyarakat. Karakteristik kartun opini yang bermuatan kritik berpotensi menimbulkan respon yang bisa saja negatif bagi pihak yg dikritik. Sayangnya UU pers hanya mengkaver kartun opini yang terbit di media resmi (berbadan hukum) sehingga bisa dikategorikan produk jurnalistik.

Jadi bukan kartun opini yang terbit di media sosial karena dianggap sebagai ungkapan kebebasan berekspresi sehingga menjadi tanggung jawab pribadi pemilik akun. Dengan kondisi ini, kartunis opini dituntut betul-betul memahami Undang-Undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), paham rambu-rambu SARA, hingga memiliki self cencorship yang bisa saja berbeda pada setiap kartunisnya.

Furqon juga berharap apa yang dilakukannya itu –dengan menerbitkan buku kartun— akan membuat para kartunis Riau terus berkarya, juga menerbitkannya dalam bentuk buku meski dia tahu dunia yang berbau cetak sekarang sedang mengalami penurunan.

“Harapannya memang begitu. Kita tau disrupsi media sekarang seperti apa. Yang cetak berangsur punah atau beradaptasi ke online. Sementara yang online juga masih terus mencari bentuk ideal. Buku Pemilu Lalu itu dicetak dengan alasan yg beda. Lebih ditujukan sebagai buku koleksi, karena sudah terbit sebelumnya di medsos dan website saya. Apakah bentuk hybrid seperti ini: buku koleksi kartun dan tayang di online, ke depan bisa survive? Ya tak tahu juga. Tapi celah ke sana sepertinya masih ada,” kata Furqon, Jumat (9/2/2024).

Dijelaskan Furqon, secara umum perkartunan di Riau berkembang lumayan. Kartunis muda masih bermunculan dan ini berbanding lurus dengan karya. Cuma memang tidak hiruk-pikuk dengan kegiatan luring seperti pameran, misalnya. Mereka lebih banyak berkarya di dunia maya dengan beragam style dan genre, dansebagian besar berbentuk komik. Dikatakannya, perkartunan di Riau juga mengalami disrupsi, trutama media tayangnya. Hampir 99,9 persen online di berbagai platform. Ada juga yang mencoba menembus Webtoon atau yangg lokal seperti KaryaKarsa. Yang paling banyak masih terbit di medsos sendiri –kebanyakan di Instagram dan TikTok– sambil terus mencari peluang cuan di sana.

Baca Juga:  Melihat Kartun Opini sebagai Produk Pers

Menurut Furqon, kartun bisa menjadi sarana kritik. Selain dengan teks seperti artikel, atau audiovisual seperti komika (standup commedy), kartun juga medium kritik yang lazim. Kartun-kartun atau pun komik strip kerap dibumbui kritik sosial dalam pesan-pesan humornya. Khusus kritik dunia perpolitikan, masyarakat lebih mengenal kartun editorial atau kartun opini. Karena kartun jenis inilah yang selalu bermuatan kritik sosial-politik sejak pertama kali muncul di media cetak.

“Yang juga menggembirakan adalah semakin banyak yang menjadikan kartunis/komikus sebagai profesi utama. Artinya mereka mencari nafkah memang dengan membuat kartun, komik, atau seni turunannya. Ini dimungkinkan karena sektor ekonomi kreatif kini menjadi salah satu sendi perekonomian negara yg diperhatikan,” jelas lelaki yang sudah menerbitkan beberapa buku kartun opini ini.

Furqon menjelaskan, ada perbedaan antara kartun-kartun yang dibuat oleh kartunis Barat yang mendewakan kebebasan berekspresi dengan para kartunis Indonesia yang masih memiliki batas-batas moral dalam berkarya. Dia menjelaskan tentang teori humor klasik oleh Henri Bergson (1859-1941), filsuf Perancis, bahwa “tawa kita adalah selalu tawa suatu kelompok”. Menurutnya, hal itu benar adanya. Selalu ada pihak yang ditertawakan oleh kelompok lain ketika kartunis mengkritik dengan kartun. Dalam beberapa konteks, menertawakan satu hal itu berjarak setipis kulit bawang dengan menghina atau melecehkan.

“Itulah kenapa sebagai kartunis saya selalu berusaha menetapkan self cencorship yang berpedoman pada regulasi –misalnya UU ITE– maupun ‘kearifan lokal’, seperti jangan menyinggung SARA. Walaupun kebebasan berekpresi dijamin UUD 45 pasal 28, kebebasan kita tetap dibatasi kebebasan orang lain. Ini yang beda dengan kartunis di Barat sana. Kebablasan kebebasan berekpresi mereka lengkap sudah bablasnya karena selain karakter kritik mereka yang to the point ditambah tak memiliki rambu-rambu ‘kearifan lokal’ itu,” jelasnya lagi.

Furqon punya dua harapan terhadap dunia perkartunan di Riau. Pertama, ekosistem ekonomi kreatif bisa terus membaik, karena kartun dan seni turunannya seperti komik, karikatur, ilustrasi, mural kartun, hingga konten-konten kreatif berbasis gambar, ada di sana. Ini perlu dukungan pemerintah dalam hal regulasi dan infrastruktur pendukung yang mengarah kepada terbangunnya industri kreatif.

Yang kedua, katanya, media-media daring lokal mau membuka ruang kartun editorial/kartun opini sehingga bermunculan kartunis opini muda. Media-media resmi tadi diperlukan sebagai “laman bermain” yang lebih “aman” bagi kartunis pemula. Menjadi kartunis opini itu seperti menempuh jalan sunyi, sementara kartunnya ibarat sebuah kamar tersendiri dalam rumah besar bernama kartun. Karena muatan kritiknya, menjadi kartunis opini itu selain bisa mnggambar dengan baik dan tentu saja mesti punya selera humor yang bagus, juga berwawasan luas.

“Wawasan ini adalah proses sepanjang hidup sang kartunis. Ia harus rutin melihat, mendengar, membaca informasi faktual dan kemudian direnung dan diolah untuk mendapatkan sudut pandang yang pas dikartunkan. Berdasarkan fungsinya, kartun opini pun lebih dekat sebagai produk jurnalistik, bukan ke karya seninya. Ini yang membedakannya dengan kartunis humor dan hiburan yang lebih mudah ‘dijual’ dalam dunia industri kreatif,” katanya mengakhiri.

Baca Juga:  Melihat Perjalanan Pemilu dalam Kartun

Pada bagian lain, kartunis Dhany Pramata, mengaku, buku Pemilu Lalu, sangat penting bagi dunia kartun di Riau dan Indonesia. Saat ini, katanya, tidak banyak yang memilih menjadi kartunis opini seperti Furqon. Di indonesia sendiri, Furqon juga sudah terkenal dengan karya-karyanya. Secara tidak langsung, karya-karya Furqon juga berpengaruh di luar Riau, bahkan di kawasan Asia Tenggara seperti di Malaysia.
Menurut Dhany, buku tersebut juga menjadi pemantik menggeliatnya dunia kartun di Riau. Dia beropini, saat ini pergerakan regenerasi kartunis Riau agak lambat dan juga ruang ekpresi di media cetak mulai berkurang. Momentum ini bisa jadi memacu bangkitnya kembali dunia kartun cetak di Riau.

“Ini juga menjadi pemantik bagi saya pribadi,” ujar lelaki yang sering membuat kartun-kartun vintage di media sosial ini.

Sebagai kartunis yang banyak memanfaatkan media sosial (digital) sebagai medium untuk menyiarkan karya-karyanya, Dhany menilai kartun atau komik dengan di media cetak punya nilai tersendiri. Dia mengaku sejak dulu suka membaca dan koleksi buku kartun dan komik cetak. Hanya saja, memang, semenjak peralihan ke digital, buku-buku cetak mulai ditinggalkan. Fakta ini tidak bisa dipungkiri. Hal itu bisa dilihat dari sebagian besar masyarakat sekarang yang lebih suka membca komik di Weebtoon ketimbang buku-buku di toko buku. Dia menganggap perkembangan zaman memang tak bisa dibendung.

Pada sisi lain, Dhany menganggap dunia kartun Riau bisa dan akan terus berkembang. Menurutnya Sindikat Kartunis Riau (Sikari) yang didirikan oleh Furqon dan beberapa kartunis lainnya, menjadi salah satu komunitas di Riau yang berjasa melahirkan banyak kartunis level nasional. Hanya saja, menurutnya, dunia kartun Riau perlu regenerasi. Sikari yang memiliki andil penting dalam menghasilkan kartunis-kartunis hebat dan hal ini harus dilanjutkan agar dunia kartun Riau terus berkembang.

“Jika bisa kita arahkan ke industri agar profesi kartunis semakin banyak diminati,” jelas Dhany lagi.

Dhani juga menjelaskan bahwa muatan-muatan kritik dalam kartun juga diperlukan. Selain sebagai sarana hiburan, kartun yang mengandung kritik terhadap persoalan masyarakat juga punya nilai yang tinggi. Menurutnya, dari dulu kartun memang sudah menjadi sarana kritik dan opini seperti yang dilakukan Furqon di Riau. Karena kartun dapat menjadi media komunikasi yang bagus dan disukai banyak kalangan, kritik-kritik tersebut bisa sampai pada audiens.

Di bagian lain, Dhany melihat kebebasan yang sangat luas dunia kartun di Barat tidak bisa diterapkan di Indonesia. Ini karena perbedaan politik dan kebudayaan. Bagi masyarakat yang masih memegang nilai-nilai budaya dan agama tentunya ada pakem-pakem yang mesti dihormati. Tidak boleh menyinggung SARA salah satunya.

Sebagai kartunis, Dhany saat ini masih ini aktif berkarya. Sebagai juniornya Furqon, Dhany dkk masih sering melakukan pameran dan pelatihan-pelatihan tentang kartun. Saat ini dia juga mendirikan komunitas gambar yang targetnya anak-anak muda yang tertarik pada dunia digital.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Oleh sebagian orang, dunia kartun dianggap hal yang sepele karena hanya menjadi sarana hiburan. Padahal kartun bisa menjadi ruang kritik sosial.

RIAUPOS.CO – DUNIA kartun Riau terlihat mulai menggeliat kembali dengan terbitnya buku kartun opini berjudul Pemilu Lalu: Kartun Opini 2014-2019 karya Furqon Elwe. Kartun-kartun yang ada dalam buku tersebut khusus menyoroti Pemilu 2014 dan 2019 yang gaduh dan sempat menimbulkan polarisasi dalam masyarakat Indonesia. Menurut Furqon, buku tersebut sengaja diterbitkannya menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 ini agar menjadi refleksi bagi masyarakat Indonesia.

- Advertisement -

Pada Sabtu (3/2/2024) lalu, buku ini dibedah dan didiskusikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru di Begawi Institut, Anjungan Kampar, Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), Pekanbaru. Tampil sebagai pembicara adalah mantan Ketua AJI Pekanbaru yang kini menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Riau Ilham Muhammad Yasir; akademisi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska, M Badri; dan Ketua AJI Pekanbaru, Eko Faizin. Hadir dalam kegiatan tersebut budayawan Rida K Liamsi, jurnalis dan ahli pers Hasan Basril, mantan Ketua Ombudsman Riau Ahmad Fitri, kartunis Dhany Pramata, wartawan senior Kazzaini Ks, Mosthamir Thalib, Siti Salmah, dan beberapa wartawan dan seniman lainnya.

Ada hal penting yang bisa ditarik benang merahnya dalam diskusi tersebut. Yang pertama, bagaimana seorang kartunis yang membuat kartun opini terlindungi secara hukum bila kartunnya menimbulkan ekses di masyarakat. Karakteristik kartun opini yang bermuatan kritik berpotensi menimbulkan respon yang bisa saja negatif bagi pihak yg dikritik. Sayangnya UU pers hanya mengkaver kartun opini yang terbit di media resmi (berbadan hukum) sehingga bisa dikategorikan produk jurnalistik.

- Advertisement -

Jadi bukan kartun opini yang terbit di media sosial karena dianggap sebagai ungkapan kebebasan berekspresi sehingga menjadi tanggung jawab pribadi pemilik akun. Dengan kondisi ini, kartunis opini dituntut betul-betul memahami Undang-Undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), paham rambu-rambu SARA, hingga memiliki self cencorship yang bisa saja berbeda pada setiap kartunisnya.

Furqon juga berharap apa yang dilakukannya itu –dengan menerbitkan buku kartun— akan membuat para kartunis Riau terus berkarya, juga menerbitkannya dalam bentuk buku meski dia tahu dunia yang berbau cetak sekarang sedang mengalami penurunan.

“Harapannya memang begitu. Kita tau disrupsi media sekarang seperti apa. Yang cetak berangsur punah atau beradaptasi ke online. Sementara yang online juga masih terus mencari bentuk ideal. Buku Pemilu Lalu itu dicetak dengan alasan yg beda. Lebih ditujukan sebagai buku koleksi, karena sudah terbit sebelumnya di medsos dan website saya. Apakah bentuk hybrid seperti ini: buku koleksi kartun dan tayang di online, ke depan bisa survive? Ya tak tahu juga. Tapi celah ke sana sepertinya masih ada,” kata Furqon, Jumat (9/2/2024).

Dijelaskan Furqon, secara umum perkartunan di Riau berkembang lumayan. Kartunis muda masih bermunculan dan ini berbanding lurus dengan karya. Cuma memang tidak hiruk-pikuk dengan kegiatan luring seperti pameran, misalnya. Mereka lebih banyak berkarya di dunia maya dengan beragam style dan genre, dansebagian besar berbentuk komik. Dikatakannya, perkartunan di Riau juga mengalami disrupsi, trutama media tayangnya. Hampir 99,9 persen online di berbagai platform. Ada juga yang mencoba menembus Webtoon atau yangg lokal seperti KaryaKarsa. Yang paling banyak masih terbit di medsos sendiri –kebanyakan di Instagram dan TikTok– sambil terus mencari peluang cuan di sana.

Baca Juga:  Misnarni Syamsuar Tampilkan Batik Hasil Karyanya di Hari Ibu

Menurut Furqon, kartun bisa menjadi sarana kritik. Selain dengan teks seperti artikel, atau audiovisual seperti komika (standup commedy), kartun juga medium kritik yang lazim. Kartun-kartun atau pun komik strip kerap dibumbui kritik sosial dalam pesan-pesan humornya. Khusus kritik dunia perpolitikan, masyarakat lebih mengenal kartun editorial atau kartun opini. Karena kartun jenis inilah yang selalu bermuatan kritik sosial-politik sejak pertama kali muncul di media cetak.

“Yang juga menggembirakan adalah semakin banyak yang menjadikan kartunis/komikus sebagai profesi utama. Artinya mereka mencari nafkah memang dengan membuat kartun, komik, atau seni turunannya. Ini dimungkinkan karena sektor ekonomi kreatif kini menjadi salah satu sendi perekonomian negara yg diperhatikan,” jelas lelaki yang sudah menerbitkan beberapa buku kartun opini ini.

Furqon menjelaskan, ada perbedaan antara kartun-kartun yang dibuat oleh kartunis Barat yang mendewakan kebebasan berekspresi dengan para kartunis Indonesia yang masih memiliki batas-batas moral dalam berkarya. Dia menjelaskan tentang teori humor klasik oleh Henri Bergson (1859-1941), filsuf Perancis, bahwa “tawa kita adalah selalu tawa suatu kelompok”. Menurutnya, hal itu benar adanya. Selalu ada pihak yang ditertawakan oleh kelompok lain ketika kartunis mengkritik dengan kartun. Dalam beberapa konteks, menertawakan satu hal itu berjarak setipis kulit bawang dengan menghina atau melecehkan.

“Itulah kenapa sebagai kartunis saya selalu berusaha menetapkan self cencorship yang berpedoman pada regulasi –misalnya UU ITE– maupun ‘kearifan lokal’, seperti jangan menyinggung SARA. Walaupun kebebasan berekpresi dijamin UUD 45 pasal 28, kebebasan kita tetap dibatasi kebebasan orang lain. Ini yang beda dengan kartunis di Barat sana. Kebablasan kebebasan berekpresi mereka lengkap sudah bablasnya karena selain karakter kritik mereka yang to the point ditambah tak memiliki rambu-rambu ‘kearifan lokal’ itu,” jelasnya lagi.

Furqon punya dua harapan terhadap dunia perkartunan di Riau. Pertama, ekosistem ekonomi kreatif bisa terus membaik, karena kartun dan seni turunannya seperti komik, karikatur, ilustrasi, mural kartun, hingga konten-konten kreatif berbasis gambar, ada di sana. Ini perlu dukungan pemerintah dalam hal regulasi dan infrastruktur pendukung yang mengarah kepada terbangunnya industri kreatif.

Yang kedua, katanya, media-media daring lokal mau membuka ruang kartun editorial/kartun opini sehingga bermunculan kartunis opini muda. Media-media resmi tadi diperlukan sebagai “laman bermain” yang lebih “aman” bagi kartunis pemula. Menjadi kartunis opini itu seperti menempuh jalan sunyi, sementara kartunnya ibarat sebuah kamar tersendiri dalam rumah besar bernama kartun. Karena muatan kritiknya, menjadi kartunis opini itu selain bisa mnggambar dengan baik dan tentu saja mesti punya selera humor yang bagus, juga berwawasan luas.

“Wawasan ini adalah proses sepanjang hidup sang kartunis. Ia harus rutin melihat, mendengar, membaca informasi faktual dan kemudian direnung dan diolah untuk mendapatkan sudut pandang yang pas dikartunkan. Berdasarkan fungsinya, kartun opini pun lebih dekat sebagai produk jurnalistik, bukan ke karya seninya. Ini yang membedakannya dengan kartunis humor dan hiburan yang lebih mudah ‘dijual’ dalam dunia industri kreatif,” katanya mengakhiri.

Baca Juga:  Hari Ketiga di Pekanbaru, KPK: 90 Persen Aset di Riau Masih Bermasalah

Pada bagian lain, kartunis Dhany Pramata, mengaku, buku Pemilu Lalu, sangat penting bagi dunia kartun di Riau dan Indonesia. Saat ini, katanya, tidak banyak yang memilih menjadi kartunis opini seperti Furqon. Di indonesia sendiri, Furqon juga sudah terkenal dengan karya-karyanya. Secara tidak langsung, karya-karya Furqon juga berpengaruh di luar Riau, bahkan di kawasan Asia Tenggara seperti di Malaysia.
Menurut Dhany, buku tersebut juga menjadi pemantik menggeliatnya dunia kartun di Riau. Dia beropini, saat ini pergerakan regenerasi kartunis Riau agak lambat dan juga ruang ekpresi di media cetak mulai berkurang. Momentum ini bisa jadi memacu bangkitnya kembali dunia kartun cetak di Riau.

“Ini juga menjadi pemantik bagi saya pribadi,” ujar lelaki yang sering membuat kartun-kartun vintage di media sosial ini.

Sebagai kartunis yang banyak memanfaatkan media sosial (digital) sebagai medium untuk menyiarkan karya-karyanya, Dhany menilai kartun atau komik dengan di media cetak punya nilai tersendiri. Dia mengaku sejak dulu suka membaca dan koleksi buku kartun dan komik cetak. Hanya saja, memang, semenjak peralihan ke digital, buku-buku cetak mulai ditinggalkan. Fakta ini tidak bisa dipungkiri. Hal itu bisa dilihat dari sebagian besar masyarakat sekarang yang lebih suka membca komik di Weebtoon ketimbang buku-buku di toko buku. Dia menganggap perkembangan zaman memang tak bisa dibendung.

Pada sisi lain, Dhany menganggap dunia kartun Riau bisa dan akan terus berkembang. Menurutnya Sindikat Kartunis Riau (Sikari) yang didirikan oleh Furqon dan beberapa kartunis lainnya, menjadi salah satu komunitas di Riau yang berjasa melahirkan banyak kartunis level nasional. Hanya saja, menurutnya, dunia kartun Riau perlu regenerasi. Sikari yang memiliki andil penting dalam menghasilkan kartunis-kartunis hebat dan hal ini harus dilanjutkan agar dunia kartun Riau terus berkembang.

“Jika bisa kita arahkan ke industri agar profesi kartunis semakin banyak diminati,” jelas Dhany lagi.

Dhani juga menjelaskan bahwa muatan-muatan kritik dalam kartun juga diperlukan. Selain sebagai sarana hiburan, kartun yang mengandung kritik terhadap persoalan masyarakat juga punya nilai yang tinggi. Menurutnya, dari dulu kartun memang sudah menjadi sarana kritik dan opini seperti yang dilakukan Furqon di Riau. Karena kartun dapat menjadi media komunikasi yang bagus dan disukai banyak kalangan, kritik-kritik tersebut bisa sampai pada audiens.

Di bagian lain, Dhany melihat kebebasan yang sangat luas dunia kartun di Barat tidak bisa diterapkan di Indonesia. Ini karena perbedaan politik dan kebudayaan. Bagi masyarakat yang masih memegang nilai-nilai budaya dan agama tentunya ada pakem-pakem yang mesti dihormati. Tidak boleh menyinggung SARA salah satunya.

Sebagai kartunis, Dhany saat ini masih ini aktif berkarya. Sebagai juniornya Furqon, Dhany dkk masih sering melakukan pameran dan pelatihan-pelatihan tentang kartun. Saat ini dia juga mendirikan komunitas gambar yang targetnya anak-anak muda yang tertarik pada dunia digital.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari