Tak sengaja terbaca sebuah berita yang berjudul ilmu ekonomi Islam termasuk kelompok jurusan yang sepi peminat pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2021 kemarin. Sayang sekali. Namun, begitulah adanya. Di negara dengan populasi muslim terbesar di dunia sistem ekonomi yang bagus itu dikalahkan oleh dominasi opini tentang tak menariknya jurusan itu. Baru sedikit yang melirik. Itulah inti pesannya.
Seketika terlintas di ingatan saya aktivitas di Hari Raya Kurban. Kadang bagi yang tidak biasa menangani sapi tersebut tak jaranga saya lihat belasan gelondong utuh jeroan sapi yang dibuang begitu saja. Sebab dipandang tak berharga. Padaha pengetahuan si pembuang jeroan sapi itu yang tak sampai tentang apa manfaatnya jeroan tersebut.
Kalau dikiaskan kedua hal di atas ada kemiripan. Sama-sama kurang diminati. Mungkin ini hanya penganalogian sekenanya. Jeroan dipersepsikan kelasnya jauh di bawah daging. Propagandanya; tak sebanding. Jadilah beda kasta. Padahal, bila jeroan itu diserahkan ke yang ahlinya seperti amai-amai di Ranah Minang yang paham cara memasaknya harganya jadi tinggi.
Oleh yang ahlinya jeroan itu akan disulap menjadi kalio babat. Gulai tambunsu yang enak tenan. Cicipilah, rasanya tak kalah enak dibandingkan wagyu. Jadi ketidaktahuan tentang sesuatu ternyata merugikan orang yang tidak tahu itu. Oleh karena itu Islam sangat mendorong dan mencintai kemajuan ilmu. Tanpa dikotomi ilmu dunia maupun ilmu agama.
Sejarah mencatat. Seabad silam Kekaisaran Usmaniyah runtuh. Kerajaan Ottoman itu menjadi Daulah Islamiah yang terakhir.
Wilayah kekuasaannya yang kala itu hampir separo dunia, dibagi-bagi oleh para pemenang perang. Terpecah menjadi puluhan negara. Dinasti Kekhalifahan Islam redup sejak masa itu. Lihat batas negara-negara pecahan Turki Usmani itu. Banyak yang berupa garis lurus. Mungkin, itu cara membaginya seperti memotong kue di atas nampan. Ketika komposisi penguasa berubah. Kiblat peradaban pun berubah. Cerita sejarah tentu berubah pula. Karena sejarah seringkali dikondisikan oleh pemenang.
Sebelumnya, selama kurang lebih 13 abad Kekhalifahan Islam yang menguasai dunia. Bermula dari masa Rasulullah di Madinah. Mulai tahun satu Hijriah yang bertepatan dengan 622 Masehi. Setelah Rasulullah wafat, pemimpin umat Islam dilanjutkan secara bergantian oleh empat sahabat khulafaur Rasyidin. Pemimpin yang cerdas. Masa Khalifah Umar bin Khatab perluasan wilayah Islam mulai signifikan. Penaklukkan Baitul Maqdis dan Persia terjadi di masa Khalifah Umar.
Pascamasa Khulafaur Rasyidin dilanjutkan Daulah Bani Ummayah. Lalu Daulah Bani Abbasiyah. Dan berakhir di Istanbul tahun 1922 dengan runtuhnya Turki Usmani itu. Digdaya memimpin peradaban dunia selama 1.300-an tahun, pastilah konsep pemerintahan Islam termasuk sistem perekonomiannya juga hebat.
Jejak kehebatan itu juga bisa dilihat dari sejarah di negeri kita sendiri. Kita berutang budi pada para raja-raja kerajaan Islam se-nusantara yang tak henti-henti melawan imperialisme barat. Dan itu karena terpatrinya falsafah jihad fi sabilillah yang diajarkan oleh agama Islam. Sebab perjuangan para syuhada itulah, kita tetap bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sampai hari ini.
Seandainya tidak ada perjuangan gigih dari raja-raja dan para ulama pahlawan itu boleh jadi nasib kita serupa suku Indian di Amerika. Atau orang Aborigin penduduk asli benua Australia. Yang keberadaan mereka sudah digantikan oleh bangsa lain–yang semula penjajah dari Eropa itu.
Ganasnya imperialisme barat telah mengubah semuanya di sana. Budaya, agama, bahasa, juga orangnya. Penduduk asli sudah setengah punah. Tersisa seadanya, dan tersingkir di tanah sendiri. Sering kita dengar narasi yang tidak positif. "Kita dijajah selama 350 tahun". Rasanya narasi ini perlu dikoreksi. Yang benar; bangsa ini tak pernah berhenti melawan penjajahan selama 350 tahun. Kolonialisme barat telah berhasil dikalahkan. Penjajahnya sudah pergi. Namun, sebagian warisannya tetap tertinggal. Satu di antaranya adalah; konsep ekonominya. Sistem ekonomi kapitalis. Padahal sistem ekonomi Islam pernah berjaya dan berkeadilan. Sistem itulah yang mesti dipakai dan diteruskan.***