Senin, 25 November 2024
spot_img

Humas di Era Disrupsi

Bermula dari munculnya teknologi komunikasi berbasis internet kini terjadi paradigm (perubahan paradigma) sosial, ekonomi dan politik di seluruh penjuru dunia. Setidaknya ada lima fenomena baru yang mempengaruhi setiap derap kehidupan manusia hampir di seluruh negara, yaitu 1) keterbukaan informasi, 2) media sosial, 3) post-truth, 4) data mining dan 5) big data.

Kelima fenomena tersebut mau tidak mau akhirnya juga akan mempengaruhi kinerja ASN. ASN tidak mungkin bergerak dengan konsep dan pemikiran lama sementara situasi masyarakat sudah jauh berubah.

Keterbukaan informasi menjadi sejenis ideologi baru yang dikumandangkan ke seluruh penjuru dunia dalam konteks demokratisasi. Argumen utamanya, keterbukaan informasi dapat memperbaiki kualitas demokrasi dan mereduksi penyalahgunaan kekuasaan setiap kebijakan.

Media sosial menjadi tren dunia sejak dua dekade terakhir karena sukses menghubungkan jutaan manusia. Dengan media sosial orang-orang yang tinggal di benua berbeda dapat berkomunikasi, bahkan secara real-time. Kini, karena aplikasi media sosial terus mengalami perbaikan, orang bisa melakukan video call dengan mudah dan murah.

Namun sejak media sosial menjadi tren itu pulalah banyak terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan jumlah orang yang masuk penjara makin bertambah. Mereka tersangkut kasus ujaran kebencian, cyberbullying, sampai cybercrime.

Kehadiran media sosial berkaitan dengan keterbukaan informasi, sekalipun bermula dari pemikiran yang sama sekali berbeda. Keterbukaan informasi beranjak dari keinginan memperbaiki kualitas demokrasi, sementara media sosial hampir tidak bersentuhan dengan konsep demokrasi. Media sosial murni lahir dari kreativitas orang-orang yang mendalami IT dan menginginkan tumbuhnya jaringan komunikasi baru di tengah masyarakat.

Post-truth sebuah definisi dari fenomena kontemporer yang menunjukan ‘hilangnya standar objektif untuk kebenaran’. Dalam fenomena ini fakta objektif tidak mampu lagi mempengaruhi sikap orang.

Sebaliknya, narasi-narasi yang bersifat subjektif dan emosional lebih berperan dalam mempengaruhi opini publik. Fenomena ini tampak dari kasus Brexit yang menyebabkan Inggris keluar dari Uni Eropa serta pemilihan presiden AS yang memenangkan Donald Trump.

Baca Juga:  Menilik Perdagangan Rusia dan Ukraina

Data mining merupakan aktivitas pengumpulan, pengolahan dan perdagangan data yang baru muncul beberapa tahun belakangan. Data menjadi komoditas dari data miner (perusahaan penambang data) yang mampu menghasilkan uang dalam jumlah luar biasa besar.

6 Mei 2017 the economist.com merilis sebuah tulisan yang sangat menarik, berjudul The world’s most valuable resource is no longer oil, but data. Data lebih penting dari pada minyak. Dulu minyak yang membuat orang jadi kaya raya, sekarang berganti jadi data.

Big data merupakan konsep pengelolaan data yang padat teknologi digital, mengoptimalisasi jaringan internet dan menggunakan kecanggihan algoritma untuk mengolah data berskala global yang datang dari berbagai sumber. Media sosial adalah sumber data yang sangat banyak mengalirinya, sehingga big data dapat dikatakan tempat berkumpulnya informasi tentang aneka prilaku manusia.

Dengan adanya big data kini sangat mudah mendapatkan informasi yang selanjutnya digunakan untuk kepentingan bisnis, politik dan pemerintahan. Big data mampu mengurangi biaya riset yang sangat besar, tapi dalam skala terbatas.

Tak perlu heran bila sekarang muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang hendak dicapai oleh GPR atau Humas Pemerintah? Apakah hanya sekadar menaikkan citra pemerintah di mata publik, meningkatkan reputasi instansi atau ada tujuan lain?

Ketika pencitraan tak lagi bernilai positif di mata publik, tentu ada konsekuensi serius yang akan muncul. Upaya peningkatan reputasi pun akan mendapat pengaruh negatif. Sebab di balik ketidakpercayaan kepada pencitraan sesungguhnya terdapat ketidakpercayaan kepada komunikator massa. Manakala publik tak lagi percaya kepada komunikator massa, maka publik akan selalu meragukan apa saja yang disampaikan kepada publik.

Menurunnya kepercayaan publik kepada pencitraan sudah pasti menjadi beban berat bagi GPR. Pencitraan yang seharusnya tidak meninggalkan aspek kejujuran adalah modal dasar yang sangat penting bagi GPR.

Baca Juga:  Mampukah UMKM Riau Menembus Pasar Ekspor?

Di era komunikasi digital sekarang ini aspek kejujuran merupakan isu yang banyak sekali didiskusikan. Apakah kita bisa percaya begitu saja kepada sebuah foto sementara aplikasi untuk mengubah foto begitu mudah diperoleh? Jangankan foto yang statis, video pun sekarang dapat diubah sesuai dengan keinginan dan tujuan yang ingin dicapai.

Akibatnya, beribu foto palsu dan video-video hasil rekayasa dapat kita temukan di media-media sosial, sesuatu yang langsung atau tidak akan mempengaruhi kepercayaan publik kepada apa yang disampaikan GPR. GPR menerima risiko yang berat padahal berbagai manipulasi citra yang menghiasi media sosial belum tentu dilakukan oleh orang-orang PR profesional. Boleh jadi mereka hanya fotografer, videografer, atau anak sekolah yang sedang mempelajari disain visual.

Kalau foto dapat diubah dengan mudah, bagaimana nasib data digital lainnya? Apakah data digital akan memperoleh kredibilitas dari publik dengan mudah, sementara teknik pemalsuan data sama majunya dengan perkembangan teknologi digital? Lantas, bagaimana GPR menghadapi ancaman ketidakpercayaan publik yang makin menguat?

Dalam pelaksana tugasnya GPR perlu memosisikan diri seperti pendaki gunung yang harus berjalan menuju puncak yang sedang dilanda cuaca ekstrim. Sebagaimana halnya perubahan paradigma sosial, ekonomi, politik maupun pemerintahan adalah cuaca ekstrim yang menyulitkan, bahkan membahayakan posisi Instansi. Bila tidak disikapi dengan pikiran jernih peran dan fungsi GPR dapat dipertanyakan secara kritis oleh masyarakat.

Sebagai ‘pendaki gunung’ tentu GPR tidak mungkin meredakan cuaca ekstrim yang menerpa. Satu-satunya jalan yang dapat dipikirkan GPR adalah menemukan cara-cara yang efektif dalam menghadapi ‘cuaca ekstrim’ itu. Kadang perlu penyesuaian yang terkesan keras, kadang penegasan kembali terhadap apa yang pernah dilaksanakan, kadang perlu pula menghapus aturan-aturan yang dianggap membuat GPR menjadi lebih sulit bergerak.***

Bermula dari munculnya teknologi komunikasi berbasis internet kini terjadi paradigm (perubahan paradigma) sosial, ekonomi dan politik di seluruh penjuru dunia. Setidaknya ada lima fenomena baru yang mempengaruhi setiap derap kehidupan manusia hampir di seluruh negara, yaitu 1) keterbukaan informasi, 2) media sosial, 3) post-truth, 4) data mining dan 5) big data.

Kelima fenomena tersebut mau tidak mau akhirnya juga akan mempengaruhi kinerja ASN. ASN tidak mungkin bergerak dengan konsep dan pemikiran lama sementara situasi masyarakat sudah jauh berubah.

- Advertisement -

Keterbukaan informasi menjadi sejenis ideologi baru yang dikumandangkan ke seluruh penjuru dunia dalam konteks demokratisasi. Argumen utamanya, keterbukaan informasi dapat memperbaiki kualitas demokrasi dan mereduksi penyalahgunaan kekuasaan setiap kebijakan.

Media sosial menjadi tren dunia sejak dua dekade terakhir karena sukses menghubungkan jutaan manusia. Dengan media sosial orang-orang yang tinggal di benua berbeda dapat berkomunikasi, bahkan secara real-time. Kini, karena aplikasi media sosial terus mengalami perbaikan, orang bisa melakukan video call dengan mudah dan murah.

- Advertisement -

Namun sejak media sosial menjadi tren itu pulalah banyak terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan jumlah orang yang masuk penjara makin bertambah. Mereka tersangkut kasus ujaran kebencian, cyberbullying, sampai cybercrime.

Kehadiran media sosial berkaitan dengan keterbukaan informasi, sekalipun bermula dari pemikiran yang sama sekali berbeda. Keterbukaan informasi beranjak dari keinginan memperbaiki kualitas demokrasi, sementara media sosial hampir tidak bersentuhan dengan konsep demokrasi. Media sosial murni lahir dari kreativitas orang-orang yang mendalami IT dan menginginkan tumbuhnya jaringan komunikasi baru di tengah masyarakat.

Post-truth sebuah definisi dari fenomena kontemporer yang menunjukan ‘hilangnya standar objektif untuk kebenaran’. Dalam fenomena ini fakta objektif tidak mampu lagi mempengaruhi sikap orang.

Sebaliknya, narasi-narasi yang bersifat subjektif dan emosional lebih berperan dalam mempengaruhi opini publik. Fenomena ini tampak dari kasus Brexit yang menyebabkan Inggris keluar dari Uni Eropa serta pemilihan presiden AS yang memenangkan Donald Trump.

Baca Juga:  Membunuh Rasa Ego

Data mining merupakan aktivitas pengumpulan, pengolahan dan perdagangan data yang baru muncul beberapa tahun belakangan. Data menjadi komoditas dari data miner (perusahaan penambang data) yang mampu menghasilkan uang dalam jumlah luar biasa besar.

6 Mei 2017 the economist.com merilis sebuah tulisan yang sangat menarik, berjudul The world’s most valuable resource is no longer oil, but data. Data lebih penting dari pada minyak. Dulu minyak yang membuat orang jadi kaya raya, sekarang berganti jadi data.

Big data merupakan konsep pengelolaan data yang padat teknologi digital, mengoptimalisasi jaringan internet dan menggunakan kecanggihan algoritma untuk mengolah data berskala global yang datang dari berbagai sumber. Media sosial adalah sumber data yang sangat banyak mengalirinya, sehingga big data dapat dikatakan tempat berkumpulnya informasi tentang aneka prilaku manusia.

Dengan adanya big data kini sangat mudah mendapatkan informasi yang selanjutnya digunakan untuk kepentingan bisnis, politik dan pemerintahan. Big data mampu mengurangi biaya riset yang sangat besar, tapi dalam skala terbatas.

Tak perlu heran bila sekarang muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang hendak dicapai oleh GPR atau Humas Pemerintah? Apakah hanya sekadar menaikkan citra pemerintah di mata publik, meningkatkan reputasi instansi atau ada tujuan lain?

Ketika pencitraan tak lagi bernilai positif di mata publik, tentu ada konsekuensi serius yang akan muncul. Upaya peningkatan reputasi pun akan mendapat pengaruh negatif. Sebab di balik ketidakpercayaan kepada pencitraan sesungguhnya terdapat ketidakpercayaan kepada komunikator massa. Manakala publik tak lagi percaya kepada komunikator massa, maka publik akan selalu meragukan apa saja yang disampaikan kepada publik.

Menurunnya kepercayaan publik kepada pencitraan sudah pasti menjadi beban berat bagi GPR. Pencitraan yang seharusnya tidak meninggalkan aspek kejujuran adalah modal dasar yang sangat penting bagi GPR.

Baca Juga:  Mendesain Ulang SDM

Di era komunikasi digital sekarang ini aspek kejujuran merupakan isu yang banyak sekali didiskusikan. Apakah kita bisa percaya begitu saja kepada sebuah foto sementara aplikasi untuk mengubah foto begitu mudah diperoleh? Jangankan foto yang statis, video pun sekarang dapat diubah sesuai dengan keinginan dan tujuan yang ingin dicapai.

Akibatnya, beribu foto palsu dan video-video hasil rekayasa dapat kita temukan di media-media sosial, sesuatu yang langsung atau tidak akan mempengaruhi kepercayaan publik kepada apa yang disampaikan GPR. GPR menerima risiko yang berat padahal berbagai manipulasi citra yang menghiasi media sosial belum tentu dilakukan oleh orang-orang PR profesional. Boleh jadi mereka hanya fotografer, videografer, atau anak sekolah yang sedang mempelajari disain visual.

Kalau foto dapat diubah dengan mudah, bagaimana nasib data digital lainnya? Apakah data digital akan memperoleh kredibilitas dari publik dengan mudah, sementara teknik pemalsuan data sama majunya dengan perkembangan teknologi digital? Lantas, bagaimana GPR menghadapi ancaman ketidakpercayaan publik yang makin menguat?

Dalam pelaksana tugasnya GPR perlu memosisikan diri seperti pendaki gunung yang harus berjalan menuju puncak yang sedang dilanda cuaca ekstrim. Sebagaimana halnya perubahan paradigma sosial, ekonomi, politik maupun pemerintahan adalah cuaca ekstrim yang menyulitkan, bahkan membahayakan posisi Instansi. Bila tidak disikapi dengan pikiran jernih peran dan fungsi GPR dapat dipertanyakan secara kritis oleh masyarakat.

Sebagai ‘pendaki gunung’ tentu GPR tidak mungkin meredakan cuaca ekstrim yang menerpa. Satu-satunya jalan yang dapat dipikirkan GPR adalah menemukan cara-cara yang efektif dalam menghadapi ‘cuaca ekstrim’ itu. Kadang perlu penyesuaian yang terkesan keras, kadang penegasan kembali terhadap apa yang pernah dilaksanakan, kadang perlu pula menghapus aturan-aturan yang dianggap membuat GPR menjadi lebih sulit bergerak.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari