Nadiem Makarim Ingin Guru Lebih Kreatif

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Hari ini, tepat saat peringatan Hari Guru Nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim akan membacakan pidato yang naskahnya sudah di-share ke mana-mana itu. Pidato tersebut dianggap sebagai resep untuk membuat pendidikan lebih baik. Meski begitu, bukan hanya guru yang dituntut berubah. Dibutuhkan bantuan dan dorongan pemerintah untuk mewujudkan itu semua.

Pakar pendidikan Totok Amin Soefijanto menjelaskan, saat ini pendidikan sekolah menerapkan Kurikulum 2013. Di situ diatur aktivitas kegiatan belajar-mengajar (KBM), cakupan materi, hingga referensi buku yang digunakan. Secara tidak sadar, guru dipandu kurikulum itu.

- Advertisement -

Namun, kurikulum tersebut justru membuat guru kurang kreatif. Mengajar hanya terpaku pada template. Terkadang malah tidak sesuai dengan kebutuhan guru maupun siswa. ”Yang saya tangkap dari pidato Mas Mendikbud adalah bagaimana supaya guru lebih kreatif lagi dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar di kelas,” kata Totok.

Belajar sudah tidak dilakukan dengan cara kuno yang sifatnya satu arah. Harus lebih melibatkan siswa di kelas. Misalnya, siswa diberi kesempatan untuk mengajar, melakukan presentasi, dan terlibat aktif dalam diskusi. ”Kalau siswanya lebih tahu, ya suruh ngajarin. Jangan terlalu kaku dalam berbagai ilmu pengetahuan,” tuturnya.

- Advertisement -

Untuk menciptakan suasana belajar yang ideal, guru harus sudah mumpuni secara kompetensi. Begitu juga siswa yang siap belajar. Sebab, proses belajar itu menuntut peran kedua pihak. Nah, kalau ditanya bagaimana kompetensi guru sekarang, Totok menerangkan, jika ukurannya hasil uji kompetensi, nilai rata-rata hanya 55 poin dalam skala 100. ”Artinya belum bagus,” ujar mantan wakil rektor deputi bidang akademik dan kemahasiswaan Universitas Paramadina tersebut.

Bagaimana siswanya? Jika hanya melihat hasil ujian nasional (UN) juga tidak terlalu impresif. UN hanya menilai output. Tidak bisa merepresentasikan proses belajar siswa bagus atau tidak. Karena itu, tutur Totok, dibutuhkan peran pemerintah pusat sampai daerah untuk membangun itu semua.

Dalam seminar yang digelar Bank Dunia bertajuk The Promise of Education in Indonesia Selasa (19/11) disebutkan, Indonesia kurang fokus ke pembelajaran. Seolah-olah dengan mengadakan kelas, kurikulum, ada guru, asumsinya sudah ada pembelajaran. Tapi, benar tidak terjadi pembelajaran? Jangan-jangan gurunya datang cuma untuk memberikan materi. Masa bodoh siswa mengerti atau tidak.

”Jadi, saya bilang pidato Mas Mendikbud adalah resep untuk menjadikan proses pendidikan lebih baik itu sudah tersedia. Tinggal bagaimana aplikasinya. Itu seluruh jajaran pusat Kemendikbud dan daerah se-Indonesia harus siap menjalankan,” beber Totok.

Peran Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud sangat sentral. Mereka mempunyai peta mengenai kesiapan daerah untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dari situ dipetakan mana daerah yang sudah siap. Untuk kemudian dijadikan contoh. Proses itu bisa berlangsung sambil menyempurnakan kurikulumnya.

Totok sangat setuju dengan pernyataan Nadiem untuk mengurangi beban administrasi guru. Sebenarnya urusan administrasi bisa diintervensi dengan teknologi. Harus sudah menggunakan sistem informasi dalam jaringan. ”Tapi, pertanyaannya, jika sudah tidak dibebani, gurunya siap nggak? Sudah diberi waktu, tapi tidak dibekali dengan cukup malah bingung. Loh, pekerjaan yang sudah diambil alih teknologi ini waktu luangnya diisi apa? Itu harus juga disiapkan. Malah bengong nanti gurunya,” seloroh dia.

Pengamat pendidikan sekaligus guru besar Institut Teknologi Bandung Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, guru sebenarnya tidak perlu diatur. Yang dibutuhkan adalah diberi kepercayaan penuh untuk mengajar siswa. ”Yang dimaksud belajar adalah berpikir, bernalar, dan berkomunikasi,” jelasnya.

Komunikasi berarti harus ada interaksi intensif antara guru dan siswa. Selama ini, selain mengajar, guru harus mengerjakan urusan administrasi. Misalnya terkait dengan sertifikasi dan kenaikan pangkat yang memengaruhi pendapatan. ”Yang selama ini membebani guru harus dihilangkan. Sehingga guru bisa fokus pada pembelajaran siswa,” tambahnya.

Selain itu, polemik guru honorer harus dituntaskan. Bersamaan dengan itu, guru-guru yang tidak aktif harus dibereskan. Begitu juga pola belajar. SMK harus menggunakan pola belajar sambil bekerja. SD berfokus pada belajar sambil bermain dan bersosialisasi. Sedangkan SMP dan SMA mempelajari dasar-dasar bidang ilmu yang merupakan landasan pengembangan kemampuan.

Sayang, Nadiem kemarin belum bisa dikonfirmasi. Para pejabat Kemendikbud juga belum mau menjelaskan program ke depan. Saat dikonfirmasi, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Supriano irit bicara. Dia berkilah, pidato baru akan dibacakan hari ini. ”Jadi, setelah upacara dan penyampaian pidato itu, baru mau ada rapat. Mungkin dari situ saya berani berbicara. Kalau sekarang terlalu cepat,” jelasnya.

Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Hari ini, tepat saat peringatan Hari Guru Nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim akan membacakan pidato yang naskahnya sudah di-share ke mana-mana itu. Pidato tersebut dianggap sebagai resep untuk membuat pendidikan lebih baik. Meski begitu, bukan hanya guru yang dituntut berubah. Dibutuhkan bantuan dan dorongan pemerintah untuk mewujudkan itu semua.

Pakar pendidikan Totok Amin Soefijanto menjelaskan, saat ini pendidikan sekolah menerapkan Kurikulum 2013. Di situ diatur aktivitas kegiatan belajar-mengajar (KBM), cakupan materi, hingga referensi buku yang digunakan. Secara tidak sadar, guru dipandu kurikulum itu.

Namun, kurikulum tersebut justru membuat guru kurang kreatif. Mengajar hanya terpaku pada template. Terkadang malah tidak sesuai dengan kebutuhan guru maupun siswa. ”Yang saya tangkap dari pidato Mas Mendikbud adalah bagaimana supaya guru lebih kreatif lagi dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar di kelas,” kata Totok.

Belajar sudah tidak dilakukan dengan cara kuno yang sifatnya satu arah. Harus lebih melibatkan siswa di kelas. Misalnya, siswa diberi kesempatan untuk mengajar, melakukan presentasi, dan terlibat aktif dalam diskusi. ”Kalau siswanya lebih tahu, ya suruh ngajarin. Jangan terlalu kaku dalam berbagai ilmu pengetahuan,” tuturnya.

Untuk menciptakan suasana belajar yang ideal, guru harus sudah mumpuni secara kompetensi. Begitu juga siswa yang siap belajar. Sebab, proses belajar itu menuntut peran kedua pihak. Nah, kalau ditanya bagaimana kompetensi guru sekarang, Totok menerangkan, jika ukurannya hasil uji kompetensi, nilai rata-rata hanya 55 poin dalam skala 100. ”Artinya belum bagus,” ujar mantan wakil rektor deputi bidang akademik dan kemahasiswaan Universitas Paramadina tersebut.

Bagaimana siswanya? Jika hanya melihat hasil ujian nasional (UN) juga tidak terlalu impresif. UN hanya menilai output. Tidak bisa merepresentasikan proses belajar siswa bagus atau tidak. Karena itu, tutur Totok, dibutuhkan peran pemerintah pusat sampai daerah untuk membangun itu semua.

Dalam seminar yang digelar Bank Dunia bertajuk The Promise of Education in Indonesia Selasa (19/11) disebutkan, Indonesia kurang fokus ke pembelajaran. Seolah-olah dengan mengadakan kelas, kurikulum, ada guru, asumsinya sudah ada pembelajaran. Tapi, benar tidak terjadi pembelajaran? Jangan-jangan gurunya datang cuma untuk memberikan materi. Masa bodoh siswa mengerti atau tidak.

”Jadi, saya bilang pidato Mas Mendikbud adalah resep untuk menjadikan proses pendidikan lebih baik itu sudah tersedia. Tinggal bagaimana aplikasinya. Itu seluruh jajaran pusat Kemendikbud dan daerah se-Indonesia harus siap menjalankan,” beber Totok.

Peran Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud sangat sentral. Mereka mempunyai peta mengenai kesiapan daerah untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dari situ dipetakan mana daerah yang sudah siap. Untuk kemudian dijadikan contoh. Proses itu bisa berlangsung sambil menyempurnakan kurikulumnya.

Totok sangat setuju dengan pernyataan Nadiem untuk mengurangi beban administrasi guru. Sebenarnya urusan administrasi bisa diintervensi dengan teknologi. Harus sudah menggunakan sistem informasi dalam jaringan. ”Tapi, pertanyaannya, jika sudah tidak dibebani, gurunya siap nggak? Sudah diberi waktu, tapi tidak dibekali dengan cukup malah bingung. Loh, pekerjaan yang sudah diambil alih teknologi ini waktu luangnya diisi apa? Itu harus juga disiapkan. Malah bengong nanti gurunya,” seloroh dia.

Pengamat pendidikan sekaligus guru besar Institut Teknologi Bandung Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, guru sebenarnya tidak perlu diatur. Yang dibutuhkan adalah diberi kepercayaan penuh untuk mengajar siswa. ”Yang dimaksud belajar adalah berpikir, bernalar, dan berkomunikasi,” jelasnya.

Komunikasi berarti harus ada interaksi intensif antara guru dan siswa. Selama ini, selain mengajar, guru harus mengerjakan urusan administrasi. Misalnya terkait dengan sertifikasi dan kenaikan pangkat yang memengaruhi pendapatan. ”Yang selama ini membebani guru harus dihilangkan. Sehingga guru bisa fokus pada pembelajaran siswa,” tambahnya.

Selain itu, polemik guru honorer harus dituntaskan. Bersamaan dengan itu, guru-guru yang tidak aktif harus dibereskan. Begitu juga pola belajar. SMK harus menggunakan pola belajar sambil bekerja. SD berfokus pada belajar sambil bermain dan bersosialisasi. Sedangkan SMP dan SMA mempelajari dasar-dasar bidang ilmu yang merupakan landasan pengembangan kemampuan.

Sayang, Nadiem kemarin belum bisa dikonfirmasi. Para pejabat Kemendikbud juga belum mau menjelaskan program ke depan. Saat dikonfirmasi, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Supriano irit bicara. Dia berkilah, pidato baru akan dibacakan hari ini. ”Jadi, setelah upacara dan penyampaian pidato itu, baru mau ada rapat. Mungkin dari situ saya berani berbicara. Kalau sekarang terlalu cepat,” jelasnya.

Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya