PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Sekdaprov Riau nonaktif Yan Prana Jaya Indra Rasyid kembali menjalani sidang lanjutan dugaan korupsi di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak. Sidang dipimpin hakim ketua Lilin Herlina di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Jumat (25/6).
Kali ini, penasihat hukum terdakwa Deni Azani SH MH dan kawan-kawan menghadirkan satu saksi ahli. Yakni Prof Elwi Danil SH MH yang merupakan ahli hukum pidana. Dalam keterangannya Elwi Danil menjelaskan, apakah jaksa penuntut umum (JPU) memiliki kewenangan meminta Inspektorat Kota Pekanbaru melakukan audit dalam perkara ini. Ia menuturkan di dalam undang-undang korupsi sudah dijelaskan lembaga mana yang berwenang melakukan penghitungan kerugian negara.
"Di dalam praktik berdasarkan pemahaman saya atau berdasarkan penelusuran saya yang cenderung digunakan sebagai dasar untuk menentukan kewenangan melakukan penghitungan kerugian negara di antaranya adalah undang-undang BPK," ujar Elwi Danil.
Diungkapkannya, kalau dalam undang-undang BPK itu sudah jelas bahwa BPK adalah lembaga konstitusional yang diberi kewenangan oleh UUD untuk melakukan penghitungan kerugian negara dan menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara. "Tetapi di dalam praktik, mengenai kewenangan itu saya mengamati ada kecenderungan perbedaan pandangan. Karena pada sisi lain, lembaga-lembaga lain seperti BPKP dan Inspektorat bahkan atau juga akuntan publik juga dimintakan pendapatnya dan dimintakan untuk menghitung kerugian uang negara tersebut," ungkapnya.
Lanjutnya, karena ada perbedaan padangan yang demikian tersebut. Maka pada akhirnya bermuara pada adanya sebuah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara atau putusan No 32 tahun 2012. Ini berkaitan terhadap pengujian ketentuan Pasal 6 ayat 1 dan kejelasan Pasal 6 UU KPK. "Di tengah adanya perbedaan pandangan tersebut akhirnya Makamah Agung RI mengeluarkan surat edaran No 4 tahun 2016. Dalam surat edaran tersebut berisi disebutkan bahwa yang berwenang menghitung kerugian negara adalah BPK," terangnya.
Kemudian, penasehat hukum terdakwa Deni Azani SH MH dan kawan-kawan menanyakan bagaimana kewenangan jaksa yang memintakan inspektorat melakukan audit ke daerah/kabupaten lain yang bukan menjadi wilayahnya. Dijelaskan Elwi Danil, lembaga selain BPK sebenarnya boleh melakukan audit apakah itu audit keuangan. Akan tetapi yang tidak boleh berdasarkan surat Makamah Agung adalah lembaga audit tersebut (Inspektorat, BPKP) menyatakan ada tidaknya kerugian uang negara. Yang boleh menyatakan adanya kerugian uang negara itu adalah BPK.
"Institusi yang lain atau institusi selain BPK itu hanya boleh melakukan audit atau pemeriksaan. Dan tidak boleh menyatakan adanya kerugian uang negara. Yang boleh menyatakan adanya kerugian uang negara adalah BPK," terangnya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh penasehat hukum terdakwa Deni Azani SH MH bahwa inspektorat Kota Pekanbaru tidak bisa dijadikan sebagai acuan untuk audit kerugian negara pada Bapedda Siak. Menurutnya, sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Siak tidak berada di bawah Kota Pekanbaru, itu bertentangan dengan peraturan Walikota Pekanbaru No 9 Tahun 2016.
Selain itu, ketika ditanya JPU Himawan Syahputra terkait soal pemotongan uang perjalanan dinas, pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan makan minum sesuai dengan yang disangkakan kepada terdakwa, Elwi Danil menjelaskan ketika seseorang melaksanakan perjalanan dinas, tentu ada hak seorang pegawai. Haknya adalah adanya biaya perjalanan dinas yang harus dia terima. Mengingat kondisi keuangan negara maka uang perjalan tersebut bisa terlebih dahulu mengunakan uang pribadi yang melakukan perjalanan dinas.
Kemudian, ketika yang melakukan perjalanan dinas tersebut pulang dan menagih uang perjalanan dinas yang dia lakukan dan ketika semua persyaratan yang diajukan untuk pencairan uang perjalan dinas itu diselesaikan dan ditandatangani maka secara legal uang yang diterimanya (pegawai yang melakukan perjalanan dinas) dan telah "dipotong" tersebut tidak lagi dalam posisi sebagai uang negara.
JPU juga menanyakan kepada saksi ahli terkait adanya pembuatan kwitansi kosong yang digunakan untuk disesuaikan dengan uang yang akan dikeluarkan negara. Elwi Danil menegaskan itu adalah perbuatan yang salah. Kemudian terkait uang makan yang seharusnya ditransfer ke masing-masing pegawai tetapi pada kenyataan atau d idalam praktiknya malah dibelikan makanan yang tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya diterima (ditransfer), tentu itu suatu hal yang tidak benar atau hal salah.
"Tetapi perlu juga ditelusuri apakah ini telah diuji secara administratif atau belum. Apakah hasil audit ada temuan atau tidak," sebutnya.
Hakim Ketua Lilin Herlina yang memimpin sidang memutuskan sidang akan kembali digelar pada pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli yang akan dihadirkan oleh penasihat hukum terdakwa.
"Sidang akan kembali digelar pekan depan dalam agenda pemeriksaan terdakwa,"ucapnya.
Untuk diketahui dalam dakwaan oleh JPU Himawan Syahputra dan kawan-kawan mengungkap sejumlah nama yang bersama-sama dengan Yan Prana melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum dalam perkara dugaan korupsi anggaran rutin di Bappeda Siak tahun anggaran (TA) 2013 sampai dengan TA 2017.
Terdakwa Yan Prana disebut melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa. Sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut melawan hukum yaitu menggunakan anggaran perjalanan dinas pada Bapedda Siak TA 2013-TA 2017.
Kemudian, mengelola anggaran atas kegiatan pengadaan alat tulis kantor (ATK) pada Bapedda Siak TA 2015 sampai TA 2017. Selanjutnya melakukan pengelolaan makan minum pada Bapedda Siak TA 2013 sampai TA 2017 yang tidak sesuai dengan ketentuan. Sehingga Yan Prana dinilai telah merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian negara sebanyak Rp2.896.349.844,37 (sekitar Rp2,8 miliar). "Terdakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Sehingga telah merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian negara sebanyak Rp2.896.349.844,37," ujar JPU.
Atas perjalanan anggaran dinas 2013-2017, terdakwa disebut melakukan pemotongan anggaran sebesar 10 persen. Realisasi anggaran 2013 sebesar Rp2.757.426.500, anggaran 2014 sebesar Rp4.860.007.800, anggaran 2015 Rp3.518.677.750, anggaran 2016 Rp1.958.718.000, dan anggaran 2017 Rp2.473.280.300. Di mana terdakwa secara bersama-sama Donna Fitria, Ade Kusendang dan Erita Diduga melakukan mark-up pada anggaran perjalanan dinas pada Bappeda Siak Tahun Anggaran (TA) 2013 sampai dengan TA 2017.(dof)