JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Riau merupakan salah satu provinsi penghasil crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit terbesar di Indoensia. Bahkan hingga saat ini kelapa sawit tidak hanya sebagai tanaman komoditas masyarakat menengah ke bawah saja, melainkan dimainkan oleh korporasi besar baik dalam maupun luar negeri.
Akibatnya, dampak negatif yang disumbangkan tidak sebanding dengan hasil yang diterima oleh daerah. Mulai dari kerusakan lingkungan hingga infrastruktur seperti jalan baik jalan kabupaten maupun provinsi.
"Dampak negatifnya lebih besar yang ditimbulkan oleh CPO ini. Mulai dari kerusakan lingkungan seperti kebakaran hutan. Dan kerusakan jalan yang belum hancur sebelum waktunya. Salah satu penyebabnya adalah ODOL (over dimensi, over load)," kata anggota DPR RI Abdul Wahid saat menjadi pembicara dalam acara koordinasi urusan daerah pada pemerintah pusat yang ditaja oleh Badan Penghubung Provinsi Riau di Jakarta, Ahad (24/11).
Untuk itu, kata Wahid sudah saatnya daerah penghasil CPO mendapatkan kompensasi dari pemerintah pusat dengan dana bagi hasil seperti sektor industri minyak dan gas (migas). Namun diperlukan regulasi seperti undang-undang khusus CPO atau memperkuat UU Pertanian yang diusulkan melalui Badan legislasi (Baleg).
"Saya sudah bahas dan sedang dibicarakan di Baleg. Namun hingga saat ini saya belum mendapatkan data yang pasti terkait CPO ini. Saya juga sudah mencoba meminta ke asosiasi kelapa sawit untuk memastikan data buat enak pula kita bahasnya," kata politisi PKB itu.
Wahid menyebut, saat ini dana perkebunan kelapa sawit dihimpun melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun badan ini dinilai tidak memiliki peran penting dan tidak berfungsi. "Ada pengelola dana kelapa sawit itu, tapi tidak ada gunanya. Tidak punya fungsi berfungsi," imbuhnya.
Untuk itu, ia menyarankan agar setiap daerah penghasil CPO, khususnya Riau untuk memastikan data agar tidak ada lagi kesimpangsiuran mengenai data.
Laporan: Yusnir
Editor: E Sulaiman
JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Riau merupakan salah satu provinsi penghasil crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit terbesar di Indoensia. Bahkan hingga saat ini kelapa sawit tidak hanya sebagai tanaman komoditas masyarakat menengah ke bawah saja, melainkan dimainkan oleh korporasi besar baik dalam maupun luar negeri.
Akibatnya, dampak negatif yang disumbangkan tidak sebanding dengan hasil yang diterima oleh daerah. Mulai dari kerusakan lingkungan hingga infrastruktur seperti jalan baik jalan kabupaten maupun provinsi.
- Advertisement -
"Dampak negatifnya lebih besar yang ditimbulkan oleh CPO ini. Mulai dari kerusakan lingkungan seperti kebakaran hutan. Dan kerusakan jalan yang belum hancur sebelum waktunya. Salah satu penyebabnya adalah ODOL (over dimensi, over load)," kata anggota DPR RI Abdul Wahid saat menjadi pembicara dalam acara koordinasi urusan daerah pada pemerintah pusat yang ditaja oleh Badan Penghubung Provinsi Riau di Jakarta, Ahad (24/11).
Untuk itu, kata Wahid sudah saatnya daerah penghasil CPO mendapatkan kompensasi dari pemerintah pusat dengan dana bagi hasil seperti sektor industri minyak dan gas (migas). Namun diperlukan regulasi seperti undang-undang khusus CPO atau memperkuat UU Pertanian yang diusulkan melalui Badan legislasi (Baleg).
- Advertisement -
"Saya sudah bahas dan sedang dibicarakan di Baleg. Namun hingga saat ini saya belum mendapatkan data yang pasti terkait CPO ini. Saya juga sudah mencoba meminta ke asosiasi kelapa sawit untuk memastikan data buat enak pula kita bahasnya," kata politisi PKB itu.
Wahid menyebut, saat ini dana perkebunan kelapa sawit dihimpun melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun badan ini dinilai tidak memiliki peran penting dan tidak berfungsi. "Ada pengelola dana kelapa sawit itu, tapi tidak ada gunanya. Tidak punya fungsi berfungsi," imbuhnya.
Untuk itu, ia menyarankan agar setiap daerah penghasil CPO, khususnya Riau untuk memastikan data agar tidak ada lagi kesimpangsiuran mengenai data.
Laporan: Yusnir
Editor: E Sulaiman