PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Budaya Melayu memang sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Riau, salah satunya adalah keterampilan menenun. Bisa dibilang tenun Siak di Riau merupakan warisan budaya Melayu yang masih bertahan hingga kini.
Hal ini tak lepas dari kegigihan masyarakat Siak yang terus berupaya melestarikan kerajinan tenunnya dari kepunahan. Alasannya tenun Siak memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi.
Tenun Siak yang merupakan simbol keagungan nan eksotik hasil kreatifitas masyarakat Siak ini mulanya hanya dipakai oleh pembesar istana. Lama kelamaan, kerajinan tenun mulai menembus ke luar istana.
Tak heran, sebagai pusat tenun di Riau, kaum hawa di Siak, lihai dalam menenun. Uniknya mereka tak perlu sekolah untuk belajar tenun, keterampilan ini diwariskan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang.
Tak hanya itu keistimewaan tenun Siak. Tenun ini menyimpan kekhasan dalam menyimpan motif. Sampai saat ini tenun Siak masih bertahan untuk mengaplikasikan motif tradisional khas Melayu, yakni pucuk rebung, tabor manggis dan lainnya.
Memang sesekali motif ini dikombinasi dengan motif lain, namun motif Melayu tetaplah dominan. Seperti halnya dominasi motif dan warna benang sebagai bahan dasar tenunan.
Bagi masyarakat Siak menenun memang tak bisa dilakukan sembarangan. Sang penenun harus sanggup mengatur benang agar tidak kendor. Kaki pun harus dihentakkan dengan kuat agar hasil tenunan padat dan rapi. Ketekunan dan ketelatenan yang tinggi sangat diperlukan agar menghasilkan karya sempurna.
Oleh karena itu, wajar tenun Siak dihargai tinggi. Selembar kain sarung bisa mencapai Rp350 ribu, wanita lebih mahal sekitar Rp750 ribu, tergantung kesulitan dan benang yang dipakai.
Begitulah cerita dari Rosdiah Harlina yang akrab disapa Yati. Awalnya ia tidak berniat untuk meneruskan kerajinan tenun ibunya yang sudah ada sejak tahun 1980-an. Namun, sebagai perempuan satu-satunya di keluarga, Yati harus mengambil bisnis kerajinan ini.
“Ibu menginspirasi saya. Beliau adalah orang pertama yang mengenalkan, mengajari saya menenun. Itu yang bisa membuat saya tergerak untuk terus menjalankan kerajinan ini sampai sekarang. Pembeli dari berbagai kalangan datang, dari lokal sampai luar kota Siak,” tutur guru MAN 1 Siak ini.
Sejak 2011, Yati berusaha membangun bisnis tenun Siak ini. Perlu waktu tiga tahun baginya belajar untuk manajemen waktu, mendekati dan mengajarkan pengrajin tenun agar bisa menghasilkan karya tenun yang bagus. Hingga saat ini, ia telah memiliki 17 anggota yang seluruhnya adalah perempuan.
Baru-baru ini ia mencoba membuat tenun di mana bahannya terbuat dari viscose-rayon produksi PT Asia Pacific Rayon (APR). Viscose-rayon adalah bahan baku baku tekstil berkelanjutan yang sudah diproduksi yang berasal dari pohon akasia dan eukaliptus yang ditanam oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) bagian dari grup APRIL.
Bahan ini belum pernah Yati gunakan sebelumnya. Awalnya Yati khawatir dengan bahan baku yang baru ini. Namun demikian, setelah dicoba, selama dua pekan pembuatan, ia bisa membuat kain tenun berbahan viscose-rayon. Kain tersebut bisa dibuat berbagai macam kerajinan terutama baju.
“Jujur saya belum pernah menggunakan benang viscose-rayon. Awalnya saya penasaran dan semangat. Hasilnya pun indah, lembut disentuh dan bagus untuk ditenun,” tuturnya.
Koordinator Pengembangan Masyarakat APR, Metti Haryanti mengatakan, dukungan perusahaan terhadap rumah tenun yang dikelola Yati menjadi salah satu semangat APR dalam mendukung kelestarian tenun Siak sebagai warisan budaya dan sejarah negeri Melayu.(rls/kom)