Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Pemohon Legalisasi Ganja Minta RI Ikuti PBB

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Perjuangan tiga orang ibu melegalkan penggunaan ganja untuk terapi medis melalui gugatan Undang-Undang (UU) Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK) kembali berlanjut. Dalam sidang kemarin (21/4), para pemohon menyampaikan perbaikan dengan memperkuat dalil dan legal standing.

Seperti diketahui, tiga ibu yang tampil sebagai penggugat adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti. Mereka orang tua dari anak dengan kondisi cerebral palsy, yang membutuhkan ganja sebagai terapi.

Kuasa hukum pemohon Erasmus Napitupulu mengatakan, di berkas perbaikan, dipaparkan contoh penggunaan ganja di berbagai negara. Ada perubahan ketentuan di mana secara medis ganja dibutuhkan untuk penyakit tertentu. Komisi PBB untuk Narkotika dan Obat-obatan (UNODC) juga telah mengeluarkan ganja dari kategori narkotika berbahaya level 4. "Dan dinyatakan masih bisa digunakan untuk pengobatan," tuturnya.

Baca Juga:  Intimidasi Marak, Ganjar Minta Pendukung Tidak Takut

Selain itu, ada banyak kasus terkenal yang membuktikan efektivitas ganja sebagai pengobatan. Misalnya kasus seorang anak penderita Lennox-Gastaut syndrome di Ontario, Kanada, hingga kasus Mark Zartler pada 2017. Bahkan, anak dari pemohon I Dwi Pertiwi, yakni Musa Ibnu Hassan Pedersen, menjalani terapi yang sama di Australia. Hal itu terbukti membantu proses pengobatan. Namun, terapi tersebut dihentikan saat Musa pulang ke tanah air karena hukum di Indonesia melarang penggunaan ganja untuk obat.

Situasi itu kini berujung duka. Sebab, Musa telah wafat pada Desember 2020. "Pemohon I tidak bisa mengambil risiko itu (gugatan pidana, red), Yang Mulia. Sehingga dia menghentikan pengobatan kepada anaknya, almarhum Musa," ucapnya. Erasmus berharap yang dialami Musa tidak lagi terjadi hanya karena UU belum adaptif dengan perkembangan dunia medis. 

Baca Juga:  PDIP: Terlambat Demokrat Merapat ke Jokowi

Terkait perbaikan legal standing, pemohon memperkuat kedudukan hukum. Khususnya para ibu yang mewakili anak di bawah usia 12 tahun. Selain itu, legal standing LSM yang juga menjadi pemohon disertakan dengan AD/ART.

Panel hakim MK yang dipimpin Suhartoyo menerima perbaikan berkas permohonan yang disampaikan pemohon. "Kami selanjutnya akan menyampaikan naskah perbaikan ini ke rapat permusyawaratan hakim yang komposisinya terdiri dari sembilan hakim. Untuk selanjutnya akan dilakukan pembahasan bagaimana relevansi perkara ini," ujarnya.(far/bay/jrr)

Laporan : JPG (JAKARTA)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Perjuangan tiga orang ibu melegalkan penggunaan ganja untuk terapi medis melalui gugatan Undang-Undang (UU) Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK) kembali berlanjut. Dalam sidang kemarin (21/4), para pemohon menyampaikan perbaikan dengan memperkuat dalil dan legal standing.

Seperti diketahui, tiga ibu yang tampil sebagai penggugat adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti. Mereka orang tua dari anak dengan kondisi cerebral palsy, yang membutuhkan ganja sebagai terapi.

- Advertisement -

Kuasa hukum pemohon Erasmus Napitupulu mengatakan, di berkas perbaikan, dipaparkan contoh penggunaan ganja di berbagai negara. Ada perubahan ketentuan di mana secara medis ganja dibutuhkan untuk penyakit tertentu. Komisi PBB untuk Narkotika dan Obat-obatan (UNODC) juga telah mengeluarkan ganja dari kategori narkotika berbahaya level 4. "Dan dinyatakan masih bisa digunakan untuk pengobatan," tuturnya.

Baca Juga:  PDIP: Terlambat Demokrat Merapat ke Jokowi

Selain itu, ada banyak kasus terkenal yang membuktikan efektivitas ganja sebagai pengobatan. Misalnya kasus seorang anak penderita Lennox-Gastaut syndrome di Ontario, Kanada, hingga kasus Mark Zartler pada 2017. Bahkan, anak dari pemohon I Dwi Pertiwi, yakni Musa Ibnu Hassan Pedersen, menjalani terapi yang sama di Australia. Hal itu terbukti membantu proses pengobatan. Namun, terapi tersebut dihentikan saat Musa pulang ke tanah air karena hukum di Indonesia melarang penggunaan ganja untuk obat.

- Advertisement -

Situasi itu kini berujung duka. Sebab, Musa telah wafat pada Desember 2020. "Pemohon I tidak bisa mengambil risiko itu (gugatan pidana, red), Yang Mulia. Sehingga dia menghentikan pengobatan kepada anaknya, almarhum Musa," ucapnya. Erasmus berharap yang dialami Musa tidak lagi terjadi hanya karena UU belum adaptif dengan perkembangan dunia medis. 

Baca Juga:  Intimidasi Marak, Ganjar Minta Pendukung Tidak Takut

Terkait perbaikan legal standing, pemohon memperkuat kedudukan hukum. Khususnya para ibu yang mewakili anak di bawah usia 12 tahun. Selain itu, legal standing LSM yang juga menjadi pemohon disertakan dengan AD/ART.

Panel hakim MK yang dipimpin Suhartoyo menerima perbaikan berkas permohonan yang disampaikan pemohon. "Kami selanjutnya akan menyampaikan naskah perbaikan ini ke rapat permusyawaratan hakim yang komposisinya terdiri dari sembilan hakim. Untuk selanjutnya akan dilakukan pembahasan bagaimana relevansi perkara ini," ujarnya.(far/bay/jrr)

Laporan : JPG (JAKARTA)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari