Jakarta (RIAUPOS.CO) – Pembahasan revisi UU Pilkada hampir pasti tidak bisa dilakukan di sisa periode DPR saat ini. Meski demikian, Bawaslu optimistis revisi akan terlaksana untuk memberi kepastian hukum atas sejumlah dinamika yang terjadi belakangan ini. Revisi juga diperlukan agar regulasi pilkada dan pemilu bisa sinkron.
Hingga kemarin, Bawaslu belum menyerahkan naskah akademik usulan revisi UU Pilkada kepada DPR. Mereka masih menunggu jadwal pimpinan DPR longgar. “Kami sudah mengirim surat ke ketua DPR untuk meminta waktu menyerahkan secara langsung,” terang anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar saat dikonfirmasi kemarin.
Sejauh ini, baru Presiden Joko Widodo yang sudah diserahi naskah akademik revisi UU Pilkada. Namun secara informal, Bawaslu sudah berdiskusi dengan pimpinan Komisi II DPR tentang sejumlah substansi yang perlu direvisi. Tiga UU Pilkada yang ada, baik UU 1/2015, UU 8/2015, maupun UU 10/2016, dinilai belum mampu mengakomodasi perkembangan saat ini.
Misalnya, soal kelembagaan panwaslu kabupaten/kota yang sudah permanen pada pelaksanaan Pemilu 2019. Tentu beserta berbagai wewenang yang melekat pada lembaga tersebut. Kemudian, Bawaslu maupun KPU sepakat mengusulkan agar ada larangan eks koruptor mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Menurut Fritz, komisi II sudah mengetahui persoalan-persoalan yang akan diusulkan. Khususnya yang terkait dengan Bawaslu. Komisi II juga siap membahasnya. “Tapi, berdasarkan diskusi Mendagri dengan komisi II, ini akan dibahas pada saat DPR yang baru,” lanjutnya.
Kalaupun revisi tidak bisa dilakukan, Bawaslu tetap akan melakukan pengawasan lewat UU yang sudah ada. Namun, dia enggan berandai-andai terlalu jauh. ”Kami akan menyurati jajaran di kabupaten/kota untuk melaksanakan fungsi pengawasan,” tambahnya.
Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa secara umum Bawaslu sudah menyampaikan dengan detail kendala-kendala yang dihadapi. Baik pada pilkada 2018 maupun saat Pemilu 2019. ”Secara prinsip, kami juga sudah menginventarisasi berbagai aturan yang berkaitan dengan PKPU yang merujuk pada undang-undang,” terangnya.
Misalnya, durasi kampanye pada pemilu yang terlampau lama hingga mencapai tujuh bulan. Durasi yang lama itu terjadi karena memang merujuk UU. ”Seharusnya, yang semacam ini perlu direvisi,” lanjut menteri kelahiran Semarang tersebut.
Untuk itu, pelaksanaan pemilihan berikutnya bisa lebih efektif dan efisien. Juga meningkatkan partisipasi masyarakat. Saat ini, dia mempersilakan berbagai pihak mengusulkan revisi UU Pilkada. Nanti pemerintah membahasnya bersama DPR yang baru. ”Kan nggak mungkin DPR yang sekarang,” tuturnya.
Setelah DPR baru nanti dilantik, masing-masing partai juga membawa cetak biru untuk UU Pilkada maupun pemilu. Sebab, pada saat bersamaan, ada tuntutan pula untuk merevisi UU Pemilu.(jpg/egp)