Memiliki 718 bahasa daerah (per 2019) –nomor dua di dunia setelah Papua Nugini– Indonesia mempunyai kekayaan luar biasa yang harus disyukuri. Pada posisi itu, bahasa Indonesia menjadi sangat penting sebagai alat komunikasi antarbahasa daerah tersebut. Bayangkan jika bahasa persatuan itu tidak ada.
Laporan: Hary B Koriun (Pekanbaru)
BAHASA Indonesia –yang berasal dari bahasa Melayu Riau-Kepulauan Riau– sudah sejak lama menjadi alat komunikasi dan bahasa pergaulan (lingua franca). Bukan hanya di kawasan Nusantara (sebelum bernama Indonesia), tetapi lebih luas lagi, yakni kawasan Asia Tenggara. Tak heran, karena jumlah penuturnya yang banyak, bahasa Indonesia diusulkan menjadi bahasa resmi ASEAN.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang salah satu butirnya mengatakan adalah "menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia" adalah salah satu bukti kuat bahwa bahasa Indonesia sudah dipahami oleh masyarakat di hampir seluruh wilayah yang ketika itu masih dijajah Belanda. Bahasa Indonesia menjadi salah satu bangunan nasionalisme yang lahir jauh sebelum nama Indonesia ada.
Lalu, setelah setahun Indonesia merdeka, 1946, secara resmi bahasa Indonesia diputuskan sebagai bahasa negara. Banyak arti yang mengikat dengan keputusan tersebut, yakni bahasa Indonesia menjadi alat komunikasi antarpenduduk, antarsuku, antarpenutur bahasa ibu, dan yang penting lagi adalah bahasa Indonesia menjadi alat dan kekuatan yang menyatukan rakyat Indonesia.
Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, semakin menguatkan hal itu. Di dalam Bab III Pasal 25 Ayat 1-3 dijelaskan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara, sebagai bahasa persatuan, sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah, dan antarbudaya daerah.
Sebagai bahasa resmi negara, fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.
***
KEPALA Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPR) Drs Abdul Muis M Hum memaparkan hal tersebut ketika memberikan materi kepada peserta kegiatan "Sosialisasi Kemahiran Berbahasa Indonesia bagi Pemangku Kepentingan", yang diselenggarakan di Pekanbaru pada Kamis-Jumat, 25-26 Februari 2021.
Tujuan dari kegiatan tersebut adalah menyebarluaskan informasi dan pemanfaatan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) di tengah masyarakat, satu di antaranya di Riau. Cara tersebut merupakan kegiatan dari Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra melalui Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional (KKLP) UKBI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam kesempatan tersebut Abdul Muis menjelaskan bagaimana pentingnya bahasa Indonesia seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 yang kemudian dikuatkan dengan UU No 24 Tahun 2009 tersebut.
"Di dunia ini tak banyak sebuah negara yang baru merdeka langsung memiliki bahasa nasional dalam konstitusinya. Bahkan negara sebesar Amerika Serikat dan negara-negara besar lainnya tak mencantumkan bahasa negara/nasional dalam konstitusi mereka," jelas Abdul Muis.
Dijelaskan oleh Abdul Muis, banyak terjadi di dunia ini, konflik internal sebuah negara yang kemudian berakhir dengan separatisme/pemisahan diri, terjadi karena konflik bahasa. Muis mencontohkan India.
Ketika India merdeka dari Inggris pada 14 Agustus 1946, negara tersebut tak memiliki bahasa negara. Hal ini menjadikan konflik berkepanjangan karena banyaknya etnis besar yang memiliki bahasa masing-masing yang ingin dijadikan sebagai bahasa negara. Etnis Hindi dan Urdu adalah dua etnis dan bahasa besar di India, yang berebut pengaruh secara nasional. Etnis Bengali juga mempersoalkannya dikemudian hari.
"Yang terjadi kemudian, etnis Urdu di sebelah barat dan Bengali timur India memerdekakan dirinya dengan nama Pakistan (Pakistan Barat dan Pakistan Timur, red). Selain bahasa, faktor agama (Islam, red) juga menjadi alasan," jelas lelaki kelahiran Bangka-Belitung tersebut.
Lalu, kata Muis, perpecahan internal juga terjadi di Pakistan ketika etnis Bengali (Benggala) di timur dengan bahasa aslinya meminta agar mereka juga mendapatkan porsi lebih besar dalam bidang politik, salah satunya juga bahasa, yang selama ini banyak dikuasai Pakistan Barat.
Pakistan Timur kemudian memerdekakan diri pada 26 Maret 1971 dan berganti nama menjadi Bangladesh. Setelah itu terjadi serangkaian perang sipil antara Pakistan Barat yang selama ini berkuasa mayoritas, dan Pakistan Timur yang sering dimarjinalkan, yang kemudian mendapat bantuan dari India. Secara resmi, Bangladesh bebas dari Pakistan (Barat) pada 16 Desember 1971. Negara tersebut kemudian menjadikan bahasa Bengali sebagai bahasa resmi negara.