Jumat, 22 November 2024

Perpres TNI Tangani Terorisme Mendapat Penolakan dari Masyarakat

- Advertisement -

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Rancangan Peraturan Presiden (Perpres), tentang Tugas TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme, mendapatan tentangan dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Salah satunya dari sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat melalui Petisi Bersama Masyarakat Sipil,

Mereka menganggal hal itu berpotensi mengganggu criminal justice system, mengancam HAM dan demokrasi.
 
“Rancangan perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme mengganggu criminal justice system, mengancam HAM dan demokrasi,” kata Direktur Imparsial sekaligus juru bicara petisi, Al Araf, dalam keterangannya, Rabu (27/5/2020).

- Advertisement -

Al Araf menjelaskan pada 4 Mei 2020 lalu, pemerintah menyerahkan draf perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme kepada DPR. Selanjutnya DPR akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah.

Al Araf menilai bahwa hukum dalam masyarakat demokratik berfungsi untuk memberi, mendefinisikan, dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Yakni dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power.

“Dengan berpijak pada hal itu, maka produk kebijakan penanganan teorisme di Indonesia harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara perlindungan terhadap liberty of person dalam suatu titik dengan perlindungan terhadap security of person," lanjutnya.
 
Lebih jauh, Al Araf menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam draf perpres terlalu berlebihan sehingga  akan mengganggu mekanisme criminal justice sistem, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri.

- Advertisement -
Baca Juga:  Kementan Dorong Sertifikasi Organik

“Pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan peraturan presiden sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3 draft Perppres, red). Sementara itu, peraturan presiden ini tidak memberi penjelasan lebih terperinci terkait dengan ‘operasi lainnya’,” papar Al Araf.

Dengan pasal itu, kata Al Araf, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia.
 
Dalam kesempatan yang sama ia mengingatkan bahwa secara konsepsi, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tetapi hanya pencegahan. Berbeda halnya dengan rancangan perpres tersebut, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan penangkalan.
 
“Kami menilai bahwa pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum tentu membahayakan hak-hak warga," kata dia.

Baca Juga:  Sri Mulyani Curhat soal Naikkan Cukai Rokok

Menurutnya, bila terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar,  maka mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas.

"Karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum,” ungkapnya.
 
“Kami menilai rancangan perpres tersebut akan mengganggu mekanisme criminal justice system dalam penanganan terorisme di Indonesia,” tambahnya.

Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dikhawatirkan dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri.

Hal ini tidak sejalan dengan hakekat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara, yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum.

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Rancangan Peraturan Presiden (Perpres), tentang Tugas TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme, mendapatan tentangan dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Salah satunya dari sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat melalui Petisi Bersama Masyarakat Sipil,

Mereka menganggal hal itu berpotensi mengganggu criminal justice system, mengancam HAM dan demokrasi.
 
“Rancangan perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme mengganggu criminal justice system, mengancam HAM dan demokrasi,” kata Direktur Imparsial sekaligus juru bicara petisi, Al Araf, dalam keterangannya, Rabu (27/5/2020).

- Advertisement -

Al Araf menjelaskan pada 4 Mei 2020 lalu, pemerintah menyerahkan draf perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme kepada DPR. Selanjutnya DPR akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah.

Al Araf menilai bahwa hukum dalam masyarakat demokratik berfungsi untuk memberi, mendefinisikan, dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Yakni dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power.

- Advertisement -

“Dengan berpijak pada hal itu, maka produk kebijakan penanganan teorisme di Indonesia harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara perlindungan terhadap liberty of person dalam suatu titik dengan perlindungan terhadap security of person," lanjutnya.
 
Lebih jauh, Al Araf menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam draf perpres terlalu berlebihan sehingga  akan mengganggu mekanisme criminal justice sistem, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri.

Baca Juga:  Kementan Dorong Sertifikasi Organik

“Pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan peraturan presiden sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3 draft Perppres, red). Sementara itu, peraturan presiden ini tidak memberi penjelasan lebih terperinci terkait dengan ‘operasi lainnya’,” papar Al Araf.

Dengan pasal itu, kata Al Araf, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia.
 
Dalam kesempatan yang sama ia mengingatkan bahwa secara konsepsi, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tetapi hanya pencegahan. Berbeda halnya dengan rancangan perpres tersebut, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan penangkalan.
 
“Kami menilai bahwa pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum tentu membahayakan hak-hak warga," kata dia.

Baca Juga:  15 Dokter dan Perawat RSUD dr Mohamad Saleh Jadi ODR

Menurutnya, bila terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar,  maka mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas.

"Karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum,” ungkapnya.
 
“Kami menilai rancangan perpres tersebut akan mengganggu mekanisme criminal justice system dalam penanganan terorisme di Indonesia,” tambahnya.

Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dikhawatirkan dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri.

Hal ini tidak sejalan dengan hakekat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara, yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari