Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Tes PCR Turun Jadi Rp300 Ribu

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah tetap menjadikan tes PCR sebagai syarat perjalanan transportasi udara. Menko Maritim dan Investasi sekaligus koordinator PPKM Jawa Bali Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa ketetapan PCR pada moda transportasi pesawat ditujukan sebagai penyeimbang dengan relaksasi yang dilakukan pada aktivitas masyarakat, terutama pada sektor pariwisata.

Luhut mengatakan, meskipun pertumbuhan kasus positif saat ini sudah rendah, namun kegiatan 3M dan 3T (testing, tracing dan treatment) harus tetap diperkuat agar kasus tidak kembali meningkat terutama menghadapi periode libur Natal dan Tahun Baru. 

Hal ini, kata Luhut, juga belajar dari pengalaman negara-negara lainnya.

"Secara bertahap penggunaan tes PCR akan juga diterapkan pada transportasi lainnya pada masa liburan Nataru untuk antisipasi," jelas Luhut, Senin (25/10).

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemerintah. Di antarnya selama periode Nataru tahun lalu, meskipun penerbangan ke Bali disyaratkan PCR, mobilitas tetap meningkat dan pada akhirnya mendorong kenaikan kasus. Meskipun varian delta belum menyerang. Luhut menyebut bahwa saat ini mobilitas di Bali sudah sama dengan Nataru tahun lalu. 

"Diperkirakan akan terus meningkat sampai akhir tahun ini, sehingga meningkatkan resiko kenaikan kasus," jelasnya.

Untuk mengakomodasi keluhan masyarakat, Luhut menyebut bahwa Presiden Jokowi telah memerintahkan agar harga tes PCR dapat diturunkan menjadi Rp300 ribuan dan berlaku selama 3×24 jam untuk perjalanan pesawat.

Luhut menyebut pihaknya mendapatkan banyak sekali masukan dan kritik dari masyarakat terkait dengan kebijakan PCR ini. Terutama pertanyaan mengapa kasus sudah turun dan level PPKM juga sudah turun, tapi justru diterapkan kebijakan PCR untuk pesawat.

Baca Juga:  RSUD Terima Sumbangan APD

Ia menegaskan bahwa kewajiban PCR ini diberlakukan karena pihaknya melihat risiko penyebaran yang semakin meningkat karena mobilitas penduduk yang meningkat pesat dalam beberapa minggu terakhir. 

"Sekali lagi saya tegaskan, kita belajar dari banyak negara yang melakukan 6 relaksasi aktivitas masyarakat dan protokol kesehatan, kemudian kasusnya meningkat pesat, meskipun tingkat vaksinasi mereka jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia," katanya.

Ia mencontohkan seperti Inggris, Belanda, Singapura dan beberapa negara Eropa lainnya. 

"Pemerintah hari ini terus memohon kepada masyarakat agar sekali lagi tidak bereuforia yang pada akhir mengabaikan segala bentuk protokol kesehatan yang ada," katanya.  

Epidemolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan kebijakan mewajibkan swab PCR untuk penumpang pesawat tidak didasari dengan kajian yang mendalam. Khususnya soal cost effective dan cost efficiency. Menurut dia harga PCR saat ini masih dinilai mahal oleh masyarakat. Sehingga akan terus memunculkan gelombang penolakan atau protes.

Dia mengatakan alasan pemerintah menerapkan kebijakan swab PCR untuk penumpang pesawat bertujuan mengurangi mobilitas tidak masuk akal. Sebab kalau memang pemerintah berniat mengurangi mobilitas, kebijakan serupa juga diterapkan untuk penumpang bus dan kereta api. 

"Berbicara mengurangi mobilitas, jauh lebih banyak penumpang di kereta dan bus. Jauh lebih berkerumun penumpang bus dan kereta api," tuturnya.

Dia berharap pemerintah tidak sekadar menurunkan harga tes PCR. Menurut Yunis patokan harga PCR bagi penumpang pesawat terbang Rp300 ribu masih mahal. Misalnya jika dihitung dengan harga tiket rute Jakarta–Jogjakarta yang sekitar Rp500 ribu. Dengan perhitungan seperti ini, harga swab PCR sudah lebih dari 50 persen harga tiket pesawat.

Baca Juga:  Anggota DPR Berstatus PDP Virus Corona Meninggal Dunia

Untuk itu Yunis berharap pemerintah bisa memberikan subsidi swab PCR penumpang pesawat terbang. Sehingga harga swab PCR tidak terlalu jomplang dengan harga tiket pesawatnya. Menurut dia harga yang wajar dan bisa diterima masyarakat sekitar 20 persen dari harga tiket pesawat. Menurut dia masyarakat saat ini membandingkan dengan kebijakan swab antigen yang hanya Rp100 ribu saja. Dengan tiket pesawat Rp500 ribu ditambah harga swab antigen Rp100 ribu, masih dinilai wajar oleh masyarakat.

Dia menegaskan pemerintah harus konsisten dalam membuat kebijakan. Jika memang tujuannya untuk mengurangi mobilitas, jangan hanya penumpang pesawat terbang saja yang disasar. Yunis menegaskan ketika kewajiban swab PCR dinilai efektif menekan mobilitas, seharusnya juga diterapkan di semua moda transportasi umum.

Kendati sudah diturunkan tarifnya, pemberlakuan wajib PCR masih menimbulkan pertanyaan dari sejumlah pihak. Misalnya apakah PCR seefektif itu untuk mencegah kenaikan kasus dari mobilitas masyarakat. Anggota Komisi IX DPR Netty Preasetiyani meminta pemerintah memberi penjelasan kepada masyarakat.

Bahkan, perlu disampaikan pula hasil penelitian ilmiahnya jika memang ada. Misalnya penelitian sampling terkait mobilitas masyarakat via udara dengan peningkatan angka kasus positif. "Ini penting agar masyarakat tahu bahwa kebijakan tersebut dibuat berdasarkan hasil penelitian ilmiah," jelas Netty kemarin (25/10).

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah tetap menjadikan tes PCR sebagai syarat perjalanan transportasi udara. Menko Maritim dan Investasi sekaligus koordinator PPKM Jawa Bali Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa ketetapan PCR pada moda transportasi pesawat ditujukan sebagai penyeimbang dengan relaksasi yang dilakukan pada aktivitas masyarakat, terutama pada sektor pariwisata.

Luhut mengatakan, meskipun pertumbuhan kasus positif saat ini sudah rendah, namun kegiatan 3M dan 3T (testing, tracing dan treatment) harus tetap diperkuat agar kasus tidak kembali meningkat terutama menghadapi periode libur Natal dan Tahun Baru. 

- Advertisement -

Hal ini, kata Luhut, juga belajar dari pengalaman negara-negara lainnya.

"Secara bertahap penggunaan tes PCR akan juga diterapkan pada transportasi lainnya pada masa liburan Nataru untuk antisipasi," jelas Luhut, Senin (25/10).

- Advertisement -

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemerintah. Di antarnya selama periode Nataru tahun lalu, meskipun penerbangan ke Bali disyaratkan PCR, mobilitas tetap meningkat dan pada akhirnya mendorong kenaikan kasus. Meskipun varian delta belum menyerang. Luhut menyebut bahwa saat ini mobilitas di Bali sudah sama dengan Nataru tahun lalu. 

"Diperkirakan akan terus meningkat sampai akhir tahun ini, sehingga meningkatkan resiko kenaikan kasus," jelasnya.

Untuk mengakomodasi keluhan masyarakat, Luhut menyebut bahwa Presiden Jokowi telah memerintahkan agar harga tes PCR dapat diturunkan menjadi Rp300 ribuan dan berlaku selama 3×24 jam untuk perjalanan pesawat.

Luhut menyebut pihaknya mendapatkan banyak sekali masukan dan kritik dari masyarakat terkait dengan kebijakan PCR ini. Terutama pertanyaan mengapa kasus sudah turun dan level PPKM juga sudah turun, tapi justru diterapkan kebijakan PCR untuk pesawat.

Baca Juga:  Sindikat Penipu asal Tiongkok Dibekuk, Uang Kejahatannya Rp 36 Miliar

Ia menegaskan bahwa kewajiban PCR ini diberlakukan karena pihaknya melihat risiko penyebaran yang semakin meningkat karena mobilitas penduduk yang meningkat pesat dalam beberapa minggu terakhir. 

"Sekali lagi saya tegaskan, kita belajar dari banyak negara yang melakukan 6 relaksasi aktivitas masyarakat dan protokol kesehatan, kemudian kasusnya meningkat pesat, meskipun tingkat vaksinasi mereka jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia," katanya.

Ia mencontohkan seperti Inggris, Belanda, Singapura dan beberapa negara Eropa lainnya. 

"Pemerintah hari ini terus memohon kepada masyarakat agar sekali lagi tidak bereuforia yang pada akhir mengabaikan segala bentuk protokol kesehatan yang ada," katanya.  

Epidemolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan kebijakan mewajibkan swab PCR untuk penumpang pesawat tidak didasari dengan kajian yang mendalam. Khususnya soal cost effective dan cost efficiency. Menurut dia harga PCR saat ini masih dinilai mahal oleh masyarakat. Sehingga akan terus memunculkan gelombang penolakan atau protes.

Dia mengatakan alasan pemerintah menerapkan kebijakan swab PCR untuk penumpang pesawat bertujuan mengurangi mobilitas tidak masuk akal. Sebab kalau memang pemerintah berniat mengurangi mobilitas, kebijakan serupa juga diterapkan untuk penumpang bus dan kereta api. 

"Berbicara mengurangi mobilitas, jauh lebih banyak penumpang di kereta dan bus. Jauh lebih berkerumun penumpang bus dan kereta api," tuturnya.

Dia berharap pemerintah tidak sekadar menurunkan harga tes PCR. Menurut Yunis patokan harga PCR bagi penumpang pesawat terbang Rp300 ribu masih mahal. Misalnya jika dihitung dengan harga tiket rute Jakarta–Jogjakarta yang sekitar Rp500 ribu. Dengan perhitungan seperti ini, harga swab PCR sudah lebih dari 50 persen harga tiket pesawat.

Baca Juga:  Tunda Jadwal Tayang di Bioskop

Untuk itu Yunis berharap pemerintah bisa memberikan subsidi swab PCR penumpang pesawat terbang. Sehingga harga swab PCR tidak terlalu jomplang dengan harga tiket pesawatnya. Menurut dia harga yang wajar dan bisa diterima masyarakat sekitar 20 persen dari harga tiket pesawat. Menurut dia masyarakat saat ini membandingkan dengan kebijakan swab antigen yang hanya Rp100 ribu saja. Dengan tiket pesawat Rp500 ribu ditambah harga swab antigen Rp100 ribu, masih dinilai wajar oleh masyarakat.

Dia menegaskan pemerintah harus konsisten dalam membuat kebijakan. Jika memang tujuannya untuk mengurangi mobilitas, jangan hanya penumpang pesawat terbang saja yang disasar. Yunis menegaskan ketika kewajiban swab PCR dinilai efektif menekan mobilitas, seharusnya juga diterapkan di semua moda transportasi umum.

Kendati sudah diturunkan tarifnya, pemberlakuan wajib PCR masih menimbulkan pertanyaan dari sejumlah pihak. Misalnya apakah PCR seefektif itu untuk mencegah kenaikan kasus dari mobilitas masyarakat. Anggota Komisi IX DPR Netty Preasetiyani meminta pemerintah memberi penjelasan kepada masyarakat.

Bahkan, perlu disampaikan pula hasil penelitian ilmiahnya jika memang ada. Misalnya penelitian sampling terkait mobilitas masyarakat via udara dengan peningkatan angka kasus positif. "Ini penting agar masyarakat tahu bahwa kebijakan tersebut dibuat berdasarkan hasil penelitian ilmiah," jelas Netty kemarin (25/10).

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari