JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Bank Indonesia (BI) semula mematok pertumbuhan kredit perbankan tahun ini pada angka 10–12 persen. Namun, target itu sulit dicapai. Sampai akhir tahun nanti, pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan berkisar 8 persen saja. Tahun depan target 10–12 persen menjadi lebih realistis karena otoritas moneter kini lebih optimistis.
Pada 2020 nanti kondisi ekonomi domestik lebih baik jika dibandingkan dengan tahun ini. Karena itu, permintaan kredit korporasi pun tidak akan lagi lesu.
Menurut Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah, target pertumbuhan kredit BI tahun depan itu realistis. Dampak pelonggaran moneter yang diterapkan BI tahun ini pun, menurut dia, mulai terasa tahun depan. "Apalagi BI juga masih akan melanjutkan pelonggaran moneter pada 2020," katanya saat dihubungi Ahad (22/12).
Omnibus law, lanjut Piter, juga akan berdampak pada investasi. Undang-undang ( UU) sapu jagat itu akan menumbuhkan investasi yang kemudian meningkatkan permintaan kredit korporasi. Baik dalam bentuk kredit modal kerja maupun kredit investasi. "Pertumbuhan kredit akan bisa mencapai level tertinggi jika pemerintah juga lebih melonggarkan fiskal. Khususnya dalam bentuk potongan pajak yang lebih besar," paparnya.
Eric Alexander Sugandi, peneliti ekonomi senior di Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI, tidak sependapat dengan Piter. Menurut dia, tahun depan pun pertumbuhan kredit belum bisa dua digit. "Saya perkirakan (pertumbuhan kredit) masih akan di kisaran 7–9 persen," katanya.
Namun, dia mengapresiasi kebijakan BI soal pelonggaran kebijakan moneter. Dia menilai kebijakan itu ekspansif dan akomodatif. "Pelonggaran kebijakan moneter ini bisa termasuk dengan penurunan GWM (giro wajib minimum) untuk bank umum konvensional dan syariah atau unit usaha syariah," jelasnya. Menurut dia, jika diperlukan, BI juga bisa menurunkan lagi suku bunga acuan.
Sejalan dengan itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto merancang tiga strategi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tahun depan. Pertama, penguatan neraca perdagangan. Kedua, penguatan permintaan domestik. Ketiga, transformasi struktural. ’’Selain merawat fundamental ekonomi agar tetap sehat, pemerintah akan menjaga sentimen,’’ terangnya akhir pekan.
Airlangga menjelaskan, penguatan neraca perdagangan akan dilakukan dengan berfokus pada peningkatan ekspor melalui pengembangan hortikultura dan percepatan perundingan internasional. Selain itu, pemerintah berkomitmen mengurangi ketergantungan impor melalui sinergi BUMN. Tepatnya melalui percepatan mandatori B30, restrukturisasi TPI/TPPI, serta pengembangan usaha gasifikasi batu bara.
Sementara itu, dari sisi penguatan permintaan domestik, pemerintah akan meningkatkan konsumsi masyarakat melalui kebijakan KUR, penerapan kartu prakerja, dan kemudahan sertifikasi halal. "Lalu, yang terpenting adalah peningkatan investasi. Kita akan mengejarnya dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja," tegasnya.
Airlangga menyadari, tantangan perekonomian tahun depan masih besar. Di sisi internal, Indonesia akan menghadapi defisit transaksi berjalan. Juga, ketergantungan impor bahan baku, daya saing, isu ketenagakerjaan, serta kesiapan menghadapi Industri 4.0. Di sisi eksternal, ada tantangan yang bersumber dari kebijakan moneter AS, perang dagang AS-Tiongkok, isu Brexit, fluktuasi harga komoditas, dan kebijakan proteksionisme.
"Namun, tantangan itu juga harus dilihat sebagai peluang yang bisa dimanfaatkan. Prospek atas perbaikan ekonomi global di 2020 yang dikeluarkan IMF maupun World Bank bisa memberikan peluang bagi prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia," ungkapnya. Menurut dia, perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,3 persen tahun depan.(ken/dee/c5/hep/jpg/egp)
Laporan JPG, Jakarta