JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kasus speech delay di era pandemi, tidak dipungkiri cukup meningkat. Hal itu disebabkan pemakaian gawai yang berlebihan, sehingga interaksi dan aktivitas sosial anak berkurang. Dokter Spesialis Anak, dr Ajeng Indriastari, memaparkan ciri anak yang mengalami speech delay.
Anak-anak ini biasanya jarang mengeluarkan dan merespons suara, tidak mengerti gestur orang sekitar, dan tidak memiliki kemampuan konsonan sesuai usia. Sayangnya, orang tua baru menyadari itu saat usia anak 18-24 bulan, ketika anak tidak menyaut saat dipanggil orang tua. Sementara pada umumnya anak usia 2 tahun sudah menguasai 50 kosa kata.
“Bahasa ini kan menjadi trending karena fenomena telat bicara lagi tinggi. Kalau kita tahu dari awal, kita akan cari tahu penyebabnya apa. Kalau tahu penyebabnya apa, solusinya berdasarkan si penyebab,” ungkap dr Ajeng dalam Simposium Nasional bertajuk ‘Membaca Fenomena Speech Delay: Pendekatan Multi Pihak’ yang diselenggarakan Yayasan Akses Sehat bersama Generos.
Speech delay terbagi menjadi fungsional dan non fungsional. Sebagian besar anak dengan speech delay saat ini masuk dalam kategori fungsional, artinya kurang stimulasi dan pola asuh yang salah. Sementara non fungsional adalah anak-anak yang memiliki gangguan bahasa reseptif, seperti autism ataupun Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
“Yang jadi problem anak speech delay ini, banyak dari mereka nggak punya kelainan loh. Fungsi pendengarannya bagus, tidak ada kelainan organ oromotor, masalah bibir sumbing nggak ada. Terus yang salah dimana? Ternyata pola pengasuhan,” ujar dokter yang juga membuka praktik di Bekasi lewat keterangan tertulisnya, Senin (23/5).
Ada 3 langkah kewaspadaan yang harus diperhatikan:
Billingual
Ini bukan berarti ayah berasal dari Eropa dan ibu dari Indonesia, sehingga bahasa maupun culture yang digunakan bercampur. Tetapi lebih kepada tontonan dari gadget, dengan bahasa dan kata beragam, sehingga menyebabkan kebingungan pada anak.
Gawai
Anjuran dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merujuk pada American Academy of Pediatrics (AAP), idealnya anak berusia di bawah 2 tahun tidak boleh diperkenalkan dengan gadget sama sekali. Hanya boleh videocall, itu pun karena kondisi pandemi yang tidak bisa kemana-mana.
“Kita harus bersikap di sini bagaimana bijak menggunakan gawai. Bukan berarti dikasih begitu saja lalu ditinggal. Tapi ada pendampingan di situ dan interaksi. Karena ibarat pedang bermata dua ya, sesuatu itu bisa bermanfaat tergantung si pemakai,” papar dr Ajeng.
Di era serba digitalisasi sekarang ini, kita memang tidak bisa 100 persen antigadget dan kita tidak bisa melawan zaman. Tetapi jangan sampai menjadikan gadget ini sebagai electronic baby sitting, gadget diberi pada anak begitu saja lalu anak tidak diajak ngobrol.
Alarm
Alarm ini maksudnya deteksi dini, karena seringkali speech delay itu datang terlambat. Padahal dari umur 9 bulan sudah bisa dilihat tanda-tandanya, seperti belum bisa ngomong mama papa atau ketika diajak main cilukba orang tua sudah heboh tapi anaknya cuek.
Perlu ada tes dan screening juga untuk mencari tahu penyebab speech delay pada anak. Kemudian ini juga butuh kerja tim, artinya dari dokter, terapis, orang tua, bahkan psikolog pun harus bekerja sama. Karena banyak ibu yang stres ketika anaknya mengalami gangguan.
“Ada kasus, saya tinggal di Bekasi, Bekasi kan ibaratnya tetangga Jakarta, saya sebulan itu pasti mendapat satu pasien gizi buruk. Sudah usia 2 tahun beratnya 6,5 kilogram, jelas dong nggak bisa ngomong, jangankan ngomong, duduk sendiri aja nggak bisa. Kan nggak mungkin saya suruh terapi wicara, pasti dibenerin dulu nutrisinya. Nah Ini saya bilang kerja samanya harus dari berbagai pihak,” kata dia.
Peran berbagai pihak untuk mengatasi anak dengan speech delay, juga dipaparkan oleh Dokter Umum, dr Ramlan Zuhair Pulungan. Ia mengatakan orang tua seringkali tidak mempercayai anaknya untuk bercerita sendiri. Jadi ketika ia bertanya pada anak, yang menjawab justru orang tuanya.
“Saya melihat anak-anak di tempat saya praktik dan rumah sakit saya bekerja, dia memang sulit sekali berbicara. Ketika saya tanya anak, dia selalu melihat ke orang tua atau yang jawab selalu orang tuanya. Nah itu faktor sosial juga mempengaruhi anak bisa bicara apa nggak,” kata dr Ramlan dalam kesempatan yang sama.
Ketika anak jarang diajak bertemu lingkungan luar seperti ke taman bermain atau ke rumah keluarga, maka akan berpengaruh pada penyebab speech delay. Dan jangan pernah sengaja berbicara cadel pada anak, artinya ketika anak menyebut ‘susu’ dengan ‘cucu’, maka orang tua harus tetap selalu menggunakan bahasa yang benar saja.
Obrolan para ibu muda ketika berkumpul biasanya tidak jauh dengan membicarakan anak. Mereka biasanya fokus hanya pada satu perhatian, berat badan. Entah mengapa semua ibu muda tidak terlalu memperhatikan empat perkembangan dasar anak, motorik kasar, motorik halus, bahasa, dan sosial, yang seharusnya mereka pantau juga.
Padahal pertumbuhan anak seperti berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala, juga harus seimbang dengan perkembangan anak. Keduanya itu tercantum di buku KMS, dan hanya perlu memberi tanda ceklis untuk memantaunya. Ini menjadi akar mengapa speech delay luput dari pantauan.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman