PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Kehadiran Wakil Ketua DPRD Riau, Zukri Misran saat pelaksanaan eksekusi lahan sawit milik PT Peputra Supra Jaya (PSJ) oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau bersama Polres Pelalawan, Dinas Kehutanan serta instansi terkait di Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, seharusnya tidak perlu terjadi.
Proses eksekusi telah dilaksanakan sejak, Jumat (17/1/2020) lalu. Ini berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018 atas gugatan PT Nusa Wana Raya (NWR) yang telah berkuatan hukum tetap.
Pada pelaksananaannya, tim gabungan membabat habis tanaman sawit seluas 8 hektare. Sementara hingga kini dari total 3.323 hektare, sudah sekitar 300 hektare berhasil dieksekusi. Akan tetapi, ketika eksekusi yang dilakukan pada, Ahad (19/1/2020) lalu hadir pula Wakil Ketua DPRD Riau, Zukri Misran.
Menurut informasi kedatangannya bertujuan untuk menenangkan masyarakat dan petugas eksekusi meminta agar anggota legislatif meninggalkan lokasi.
Ahli hukum pidana DR Muhammad Nurul Huda, SH MH mengatakan bahwa kehadiran anggota dewan dalam proses eksekusi itu tidak dibenarkan. Sebab sudah ada plang dan petugas eksekusi. "Memang harus diusir. Sebab bisa dituduh menghasut masyarakat untuk menghalang-halangi eksekusi. Dan itu bisa dipidana menurut Pasal 53 Junto Pasal 160 Junto Pasal 216 KUHP,” ungkap Nurul Huda.
Ditambahkan dia, anggota DPRD Riau semestinya tidak perlu datang ke lokasi eksekusi. Karena menurut Nurul Huda, jika dinilai ada kesalahan dalam proses eksekusi, maka Ia bisa memanggil para petugas eksekusi. "Harusnya panggil saja, kenapa dieksekusi. Ngapain harus datang ke situ. Nanti kalau terjadi apa-apa emang mau anggota dewan itu bertanggungjawab?," jelasnya.
Lebih lanjut disampaikan Nurul Huda, pihaknya juga menyayangkan adanya aksi penolakan eksekusi itu. Menurutnya aksi penolakan eksekusi tidak terjadi, karena eksekusi tersebut adalah hal yang harus dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Kan sudah jelas putusannya itu hal yang legal kenapa masyarakat mengintervensi putusan tersebut. Seharusnya negara jangan mau kalah dari orang-orang yang tidak taat pada putusan pengadilan,” katanya.
Nurul Huda menegaskan, hal tersebut merupakan tindakan yang tidak baik, karena Indonesia adalah negara hukum maka sudah selayaknya masyarakat patuh dan tunduk pada mekanisme hukum yang telah ada, jika hal itu terus berlanjut maka akan ada konsekwensi hukum yang harus diterima bagi orang yang tidak taat hukum.
"Jangan lupa ada ancaman pidana bagi pihak-pihak yang menghalangi eksekusi putusan pengadilan, itu bisa dipenjara satu tahun atau empat bulan, hal ini tertuang dalam pasal 212 atau 216 KUHPidana," ucap dosen Pascasarjana UIR itu
Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Riau, DR Erdianto, putusan peradilan yang sudah in kracht van geweistge tidak dapat lagi diadakan perlawanan. Kalaupun ada upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali, upaya hukum tersebut tidak menunda dilaksakannya eksekusi.
Dia menyebutkan, anggota DPR atau DPRD melaksanakan fungsi pengawasan, budgeting dan legislasi, dalam hal ada keluhan masyarakat anggota legislatif dapat melakukan pengawasan tetapi tidak dalam bentuk menghalangi proses eksekusi.
“Sebab pelaksanaan eksekusi adalah kewajiban hukum yang harus dilaksanakan oleh penegak hukum,” imbuhnya.
Laporan: Riri Radam