JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (21/9). Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur 2019.
Mengenakan baju dinas, Anies tiba di Gedung KPK pukul 10.00. Mantan Rektor Universitas Paramadina itu langsung masuk ke ruang pemeriksaan. Setelah lima jam menjalani pemeriksaan, Anies yang dikawal sejumlah ajudan tersebut keluar dari gedung KPK.
"Harapannya penjelasan tadi (di ruang pemeriksaan) bisa membantu KPK menjalankan tugas," ujarnya kepada awak media.
Anies menjelaskan, ada 8 pertanyaan yang diajukan penyidik. Pertanyaan itu terkait dengan program pengadaan rumah di Jakarta. Kebetulan, pengadaan tanah di Munjul merupakan bagian dari program tersebut.
"Pertanyaan (program pengadaan rumah, red) menyangkut landasan program dan seputar peraturan-peraturan yang ada di Jakarta," terangnya.
Anies juga mengaku ditanya terkait biografi formil. Total ada 9 pertanyaan terkait itu. Sejatinya, kata Anies, pemeriksaan selesai pukul 12.30. Namun, pihaknya harus me-review hasil pemeriksaan sebelum meninggalkan ruangan.
"Saya berharap penjelasan yang tadi disampaikan bisa bermanfaat bagi KPK untuk menegakkan hukum, menghadirkan keadilan dan memberantas korupsi," ujarnya.
Sementara terkait substansi pemeriksaan, Anies enggan menjelaskan secara detail. Sebab, itu merupakan kewenangan KPK memberikan penjelasan kepada publik. Dia menegaskan bahwa pemeriksaan kemarin hanya seputar program-program kerja di Jakarta. "Menyangkut subtansi biar KPK yang jelaskan," terangnya.
Seperti diberitakan, perkara dugaan korupsi itu bermula ketika Perumda Pembangunan Sarana Jaya (badan usaha milik daerah/BUMD DKI Jakarta) yang dipimpin Yoory Corneles Pinontoan bekerja sama dengan PT Adonara Propertindo untuk melakukan pengadaan tanah. Bentuk kegiatan dua perusahaan itu antara lain mencari tanah di wilayah Jakarta.
Pada 8 April 2019, Yoory menandatangani Pengikatan Akta Perjanjian Jual Beli dihadapan notaris dengan pihak penjual tanah di Munjul. Yakni Anja Runtutwene selaku wakil direktur PT Adonara Propertindo. Penandatanganan itu berlangsung di kantor Sarana Jaya. Di saat bersamaan, dilakukan pembayaran sebesar Rp 108,9 miliar (50 persen) ke rekening Runtuwene.
Kemudian, Sarana Jaya atas perintah Yoory kembali membayar kepada Runtuwene sebesar Rp 43,5 miliar. Dari kerjasama pengadaan tanah tersebut, KPK menduga tidak ada kajian kelayakan terhadap objek tanah dan persyaratan lain sesuai perundang-undangan. Bahkan, diduga kuat pengadaan tanah itu tidak dilakukan sesuai standar operasional prosedur (SOP).
Bukan hanya itu, KPK menemukan adanya dokumen yang dibuat dengan tanggal mundur (backdate). Juga ditengarai ada kesepakatan harga di awal antara Runtuwene dan Sarana Jaya sebelum proses negosiasi dilakukan. Atas perbuatan yang diduga melanggar hukum itu KPK menduga ada kerugian keuangan negara sebesar Rp 152,5 miliar.
Dalam perkara tersebut, KPK telah menetapkan Yoory, Runtuwene dan beberapa orang lainnya sebagai tersangka. Lembaga antirasuah tersebut juga menetapkan PT Adonara sebagai tersangka korporasi yang diduga mendapat keuntungan dari pengadaan tanah tersebut.
Selain Anies, KPK juga memeriksa Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi sebagai saksi untuk tersangka Yoory. Usai diperiksa, Pras – sapaan Prasetyo Edi – mengaku dimintai keterangan soal mekanisme penganggaran. Mulai dari rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), kebijakan umum anggaran (KUA) dan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD).
Pras menyebut ada sekitar 6 sampai 7 pertanyaan yang diajukan penyidik. Dia menjelaskan semua penganggaran dirapatkan di badan anggaran (banggar) DPRD. Dia menyebut dalam penganggaran itu memakai mekanisme yang sesuai dengan peraturan yang ada. "Pembahasan itu langsung sampai ke banggar besar dan di banggar besar kita mengetok palu," tuturnya. (tyo)