Rabu, 18 September 2024

Pilih Habiskan Waktu atau Uang

Zimbabwe sudah kekurangan sumber daya air sejak lama. Namun, kemarau panjang membuat penduduk makin frustrasi. Terutama, keluarga miskin yang tak punya banyak pilihan.

(RIAUPOS.CO) — RUTINITAS pagi Florence Kaseke selalu sama. Setiap subuh tiba, warga Kota Chitungwiza, 30 kilometer dari ibu kota Harare, itu bakal bersua dengan tetangganya di sumur kampung. Bukan untuk nongkrong dan bergosip. Melainkan antre jatah air hari itu.

"Pagi ini saya bangun pukul 04.00 dan masuk ke antrean pompa air," ujarnya kepada Al Jazeera.

Aktivitas harian Kaseke berputar di pompa kampung. Pukul 06.00, perempuan berusia 34 tahun itu bakal keluar dari antrean untuk mempersiapkan keperluan anaknya sebelum berangkat sekolah. Pukul 08.00, dia kembali datang untuk mengecek posisi antrean yang sudah dipesan. Satu jam kemudian, ibu dua anak itu baru mendapatkan jatah airnya.

- Advertisement -

Bagi warga Chitungwiza, antre air sudah menyedot sebagian besar waktu mereka. Banyak penduduk yang menunggu semalam suntuk untuk mendapatkan air. Terkadang mereka harus bergantian dengan anggota keluarga lain agar antrean tak diserobot. "Hampir setiap waktu kami harus berjaga di sumur. Sedangkan saya terus menua," ujar Sarah Zanga, penduduk lokal yang berusia 75 tahun.

Rakyat Zimbabwe terpaksa menjalani rutinitas tersebut. Persediaan air yang seharusnya dipenuhi pemerintah tak bisa diandalkan. Dari keran leding pemerintah, air hanya mengalir beberapa jam pada Sabtu. Hari lainnya, keran itu kering kerontang. "Bahkan, adakalanya air tak keluar pada Sabtu," ungkap Fortune Magaya, penduduk Chitungwiza yang berusia 21 tahun.

- Advertisement -
Baca Juga:  Pelajar Berprestasi dan Kurang Mampu di Sekitar Tol Permai Dibantu Beasiswa

Tentu ada cara lain untuk memperoleh air. Yakni, membeli air yang dipompa keluarga yang lebih mampu. Namun, harganya mencekik dompet. Zimbabwe Peace Project melaporkan, air dijual seharga 1,5 dolar Zimbabwe (Rp 57) per ember di Chitungwiza.

Namun, harga bisa melonjak hingga dua kali lipat saat kota dilanda pemadaman listrik. Kebanyakan penjual air menggunakan pompa listrik. Sedangkan pemadaman listrik bisa bertahan hingga 18 jam. Keluarga Magaya biasanya membeli 40 liter air dalam seminggu. Namun, air tersebut hanya digunakan untuk memasak. "Rasanya sakit setiap kali kami harus membeli air," ungkapnya.

Masalah air akhirnya merembet ke isu lain. Kekurangan sarana untuk membersihkan diri dan lingkungan membuat risiko wabah makin tinggi. Kaseke mengatakan, satu rumah biasanya dihuni empat sampai lima keluarga. Setiap keluarga punya anak. "Pada akhirnya, tanpa air, penduduk bakal rentan kolera," imbuhnya.

Kaseke juga khawatir dengan masa depan generasi muda. Sebab, banyak pemuda-pemudi yang diminta untuk menjaga antrean pada malam hari. Mereka berada di tempat itu tanpa pengawasan orang tua. "Banyak juga suami istri yang bertengkar karena antrean itu. Mereka menuduh pasangan mereka berselingkuh dengan alasan mengantre," papar Kaseke.

Masalah persediaan air di Zimbabwe bukan hal asing. Namun, kemarau panjang sudah melanda Zimbabwe sejak 2018. Di Kota Harare, 1 juta jiwa hidup tanpa air leding. Dua di antara empat kolam persediaan air kosong. Sedangkan satu fasilitas pengelolaan air kota, Morton Jaffray, tak beroperasi sejak September.

Baca Juga:  DKPP Dumai Vaksin Hewan Ternak

Memang tak semua wilayah kering tanpa hujan dua tahun terakhir ini. Namun, hujan juga belum tentu jadi solusi yang tepat. Tahun lalu penduduk Kota Buhera kebagian hujan. Yang jadi masalah, hujan itu datang karena badai Idai. Pada akhirnya, banjir menyapu rata kota tersebut. Salah satunya rumah Alice Posha. Hunian itu terseret banjir.

Tahun ini rumah perempuan yang berusia 60 tahun itu sudah kembali berdiri. Masalahnya, efek banjir tahun lalu sudah berakhir dan kampungnya juga dilanda kemarau ekstrem. Tanaman jagung di ladangnya layu. "Saya khawatir panen tahun ini akan jelek," ungkapnya kepada Agence France-Presse.

Meski sempat diguyur hujan dalam dua tahun terakhir, banyak wilayah bernasib seperti Buhera. Peneliti mengatakan bahwa itu adalah dampak perubahan iklim. Musim hujan yang biasanya tiba pada periode Oktober–Mei kini hanya bertahan pada Desember–April.

"Kami masih melakukan tradisi memohon hujan meski tanpa hasil. Kini rawa dan sungai yang biasanya mengalir sepanjang tahun ikut mengering," ungkap Janson Neshava, tokoh masyarakat di Buhera.(*/c11/dos/das)

Laporan MOCHAMAD SALSABYL ADN, Harare

 

Zimbabwe sudah kekurangan sumber daya air sejak lama. Namun, kemarau panjang membuat penduduk makin frustrasi. Terutama, keluarga miskin yang tak punya banyak pilihan.

(RIAUPOS.CO) — RUTINITAS pagi Florence Kaseke selalu sama. Setiap subuh tiba, warga Kota Chitungwiza, 30 kilometer dari ibu kota Harare, itu bakal bersua dengan tetangganya di sumur kampung. Bukan untuk nongkrong dan bergosip. Melainkan antre jatah air hari itu.

"Pagi ini saya bangun pukul 04.00 dan masuk ke antrean pompa air," ujarnya kepada Al Jazeera.

Aktivitas harian Kaseke berputar di pompa kampung. Pukul 06.00, perempuan berusia 34 tahun itu bakal keluar dari antrean untuk mempersiapkan keperluan anaknya sebelum berangkat sekolah. Pukul 08.00, dia kembali datang untuk mengecek posisi antrean yang sudah dipesan. Satu jam kemudian, ibu dua anak itu baru mendapatkan jatah airnya.

Bagi warga Chitungwiza, antre air sudah menyedot sebagian besar waktu mereka. Banyak penduduk yang menunggu semalam suntuk untuk mendapatkan air. Terkadang mereka harus bergantian dengan anggota keluarga lain agar antrean tak diserobot. "Hampir setiap waktu kami harus berjaga di sumur. Sedangkan saya terus menua," ujar Sarah Zanga, penduduk lokal yang berusia 75 tahun.

Rakyat Zimbabwe terpaksa menjalani rutinitas tersebut. Persediaan air yang seharusnya dipenuhi pemerintah tak bisa diandalkan. Dari keran leding pemerintah, air hanya mengalir beberapa jam pada Sabtu. Hari lainnya, keran itu kering kerontang. "Bahkan, adakalanya air tak keluar pada Sabtu," ungkap Fortune Magaya, penduduk Chitungwiza yang berusia 21 tahun.

Baca Juga:  Menparekraf Ancam Tutup Tempat Wisata Bandel

Tentu ada cara lain untuk memperoleh air. Yakni, membeli air yang dipompa keluarga yang lebih mampu. Namun, harganya mencekik dompet. Zimbabwe Peace Project melaporkan, air dijual seharga 1,5 dolar Zimbabwe (Rp 57) per ember di Chitungwiza.

Namun, harga bisa melonjak hingga dua kali lipat saat kota dilanda pemadaman listrik. Kebanyakan penjual air menggunakan pompa listrik. Sedangkan pemadaman listrik bisa bertahan hingga 18 jam. Keluarga Magaya biasanya membeli 40 liter air dalam seminggu. Namun, air tersebut hanya digunakan untuk memasak. "Rasanya sakit setiap kali kami harus membeli air," ungkapnya.

Masalah air akhirnya merembet ke isu lain. Kekurangan sarana untuk membersihkan diri dan lingkungan membuat risiko wabah makin tinggi. Kaseke mengatakan, satu rumah biasanya dihuni empat sampai lima keluarga. Setiap keluarga punya anak. "Pada akhirnya, tanpa air, penduduk bakal rentan kolera," imbuhnya.

Kaseke juga khawatir dengan masa depan generasi muda. Sebab, banyak pemuda-pemudi yang diminta untuk menjaga antrean pada malam hari. Mereka berada di tempat itu tanpa pengawasan orang tua. "Banyak juga suami istri yang bertengkar karena antrean itu. Mereka menuduh pasangan mereka berselingkuh dengan alasan mengantre," papar Kaseke.

Masalah persediaan air di Zimbabwe bukan hal asing. Namun, kemarau panjang sudah melanda Zimbabwe sejak 2018. Di Kota Harare, 1 juta jiwa hidup tanpa air leding. Dua di antara empat kolam persediaan air kosong. Sedangkan satu fasilitas pengelolaan air kota, Morton Jaffray, tak beroperasi sejak September.

Baca Juga:  Merantau dari Jogja ke Pekanbaru Mencari Anak, Kini jadi Pemulung

Memang tak semua wilayah kering tanpa hujan dua tahun terakhir ini. Namun, hujan juga belum tentu jadi solusi yang tepat. Tahun lalu penduduk Kota Buhera kebagian hujan. Yang jadi masalah, hujan itu datang karena badai Idai. Pada akhirnya, banjir menyapu rata kota tersebut. Salah satunya rumah Alice Posha. Hunian itu terseret banjir.

Tahun ini rumah perempuan yang berusia 60 tahun itu sudah kembali berdiri. Masalahnya, efek banjir tahun lalu sudah berakhir dan kampungnya juga dilanda kemarau ekstrem. Tanaman jagung di ladangnya layu. "Saya khawatir panen tahun ini akan jelek," ungkapnya kepada Agence France-Presse.

Meski sempat diguyur hujan dalam dua tahun terakhir, banyak wilayah bernasib seperti Buhera. Peneliti mengatakan bahwa itu adalah dampak perubahan iklim. Musim hujan yang biasanya tiba pada periode Oktober–Mei kini hanya bertahan pada Desember–April.

"Kami masih melakukan tradisi memohon hujan meski tanpa hasil. Kini rawa dan sungai yang biasanya mengalir sepanjang tahun ikut mengering," ungkap Janson Neshava, tokoh masyarakat di Buhera.(*/c11/dos/das)

Laporan MOCHAMAD SALSABYL ADN, Harare

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari