Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Negara Besar Lindungi Kepentingan Sendiri

MADRID (RIAUPOS.CO) — Perwakilan 196 negara datang ke Madrid, Spanyol, sejak 2 Desember untuk membahas langkah pencegahan perubahan iklim. Sayang,  Ahad (15/12) Menteri Lingkungan Hidup Cili Carolina Schmidt menunjukkan rasa frustrasi. Seharusnya rapat final COP 25 berakhir Jumat lalu. Namun, karena cekcok antarkubu, kesepakatan masih belum dicapai sampai Minggu dini hari waktu setempat.

"Saya meminta Anda semua mengerahkan seluruh kekuatan dan toleransi agar kesepakatan ini bisa tercapai. Rakyat negara Anda membutuhkan ini," ungkap sang ketua konferensi seperti yang dilansir BBC.

Konferensi perubahan iklim tahun ini semestinya membicarakan tiga isu besar. Pertama, komitmen baru pemangkasan emisi karbon sebelum dekade 2010–2020 berakhir. Kedua, komitmen untuk membantu negara yang terkena dampak perubahan iklim. Ketiga, merampungkan mekanisme pasar karbon yang diawali COP 21 di Paris empat tahun lalu.

Setelah perdebatan panjang, peserta perundingan hanya setuju untuk menyerahkan komitmen baru mereka di COP 26 Glasgow tahun depan. Sementara itu, mekanisme pasar karbon kembali tertunda. 

Baca Juga:  Alfedri Kagumi Penampilan Polisi Cilik

Sejak awal, jalannya konferensi memang mengecewakan. Negara anggota, terutama negara besar, sibuk membahas kepentingan sendiri. Mereka sibuk memperdebatkan istilah kerugian dan kerusakan dalam sistem bantuan terhadap negara yang terdampak perubahan iklim.

"Ini adalah ulah AS. Mereka berusaha menghalangi upaya dunia untuk membantu kehidupan yang dihancurkan perubahan iklim," ujar Harjeet Singh, ketua bagian iklim di LSM Action Ad, kepada Agence France-Presse. AS sudah memutuskan untuk keluar dari perjanjian Paris tahun depan. 

Selain itu, Alliance of Small Island States (AOSIS) juga menuding Australia, Kanada, Rusia, India, Brasil, dan Cina sebagai kelompok anti pencegahan perubahan iklim. Perkumpulan negara kepulauan kecil itu mengatakan, negara-negara besar tersebut tak menyerahkan rencana untuk membahas kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius abad ini. ”Saya seharusnya pulang dan berkata kepada anak-anak saya bahwa kami sudah sepakat untuk menyelamatkan masa depan mereka,” ujar Tina Stege, perwakilan dari Marshall Islands.

Brasil ingin menghitung hutan penyerap karbon mereka sebagai target pengurangan emisi. Di saat yang sama, mereka juga ingin menjual hutan sebagai kredit karbon ke negara lain. Hal tersebut tentu ditolak negara lain karena dianggap penghitungan ganda. Di pihak lain, India dan Cina bersikeras bahwa kesepakatan sebelum COP 21 harus dikembalikan. Sebelum COP 21, hanya negara-negara maju yang diwajibkan untuk mengurangi emisi. 

Baca Juga:  Oleng, Mobil Pembawa Air Mineral Terguling di Simpang Garuda Sakti

"Negara-negara yang bertanggung jawab atas 80 persen emisi global terus diam. Sebaliknya, negara-negara kecil justru berusaha membuat perubahan," ungkap Direktur Natural Resource Defense Council Jake Schmidt.

Hasil COP 25 membuat ilmuwan dan aktivis semakin khawatir. Kesempatan untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius semakin tipis. Alden Meyer, aktivis dari Union of Concerned Scientists, mengatakan bahwa saat ini bumi ada di jalur pemanasan 3–4 derajat Celsius di akhir abad ke-21. Menurut dia, target COP 21 tak akan tercapai jika konferensi Glasgow gagal meminta negara anggota mengurangi emisi secara besar.(bil/c10/sof/jpg)

MADRID (RIAUPOS.CO) — Perwakilan 196 negara datang ke Madrid, Spanyol, sejak 2 Desember untuk membahas langkah pencegahan perubahan iklim. Sayang,  Ahad (15/12) Menteri Lingkungan Hidup Cili Carolina Schmidt menunjukkan rasa frustrasi. Seharusnya rapat final COP 25 berakhir Jumat lalu. Namun, karena cekcok antarkubu, kesepakatan masih belum dicapai sampai Minggu dini hari waktu setempat.

"Saya meminta Anda semua mengerahkan seluruh kekuatan dan toleransi agar kesepakatan ini bisa tercapai. Rakyat negara Anda membutuhkan ini," ungkap sang ketua konferensi seperti yang dilansir BBC.

- Advertisement -

Konferensi perubahan iklim tahun ini semestinya membicarakan tiga isu besar. Pertama, komitmen baru pemangkasan emisi karbon sebelum dekade 2010–2020 berakhir. Kedua, komitmen untuk membantu negara yang terkena dampak perubahan iklim. Ketiga, merampungkan mekanisme pasar karbon yang diawali COP 21 di Paris empat tahun lalu.

Setelah perdebatan panjang, peserta perundingan hanya setuju untuk menyerahkan komitmen baru mereka di COP 26 Glasgow tahun depan. Sementara itu, mekanisme pasar karbon kembali tertunda. 

- Advertisement -
Baca Juga:  Fahd El Fouz Siap Bongkar Korupsi di Kemenag

Sejak awal, jalannya konferensi memang mengecewakan. Negara anggota, terutama negara besar, sibuk membahas kepentingan sendiri. Mereka sibuk memperdebatkan istilah kerugian dan kerusakan dalam sistem bantuan terhadap negara yang terdampak perubahan iklim.

"Ini adalah ulah AS. Mereka berusaha menghalangi upaya dunia untuk membantu kehidupan yang dihancurkan perubahan iklim," ujar Harjeet Singh, ketua bagian iklim di LSM Action Ad, kepada Agence France-Presse. AS sudah memutuskan untuk keluar dari perjanjian Paris tahun depan. 

Selain itu, Alliance of Small Island States (AOSIS) juga menuding Australia, Kanada, Rusia, India, Brasil, dan Cina sebagai kelompok anti pencegahan perubahan iklim. Perkumpulan negara kepulauan kecil itu mengatakan, negara-negara besar tersebut tak menyerahkan rencana untuk membahas kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius abad ini. ”Saya seharusnya pulang dan berkata kepada anak-anak saya bahwa kami sudah sepakat untuk menyelamatkan masa depan mereka,” ujar Tina Stege, perwakilan dari Marshall Islands.

Brasil ingin menghitung hutan penyerap karbon mereka sebagai target pengurangan emisi. Di saat yang sama, mereka juga ingin menjual hutan sebagai kredit karbon ke negara lain. Hal tersebut tentu ditolak negara lain karena dianggap penghitungan ganda. Di pihak lain, India dan Cina bersikeras bahwa kesepakatan sebelum COP 21 harus dikembalikan. Sebelum COP 21, hanya negara-negara maju yang diwajibkan untuk mengurangi emisi. 

Baca Juga:  70 Tahun Jawa Pos dan Hidup Koran setelah Itu

"Negara-negara yang bertanggung jawab atas 80 persen emisi global terus diam. Sebaliknya, negara-negara kecil justru berusaha membuat perubahan," ungkap Direktur Natural Resource Defense Council Jake Schmidt.

Hasil COP 25 membuat ilmuwan dan aktivis semakin khawatir. Kesempatan untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius semakin tipis. Alden Meyer, aktivis dari Union of Concerned Scientists, mengatakan bahwa saat ini bumi ada di jalur pemanasan 3–4 derajat Celsius di akhir abad ke-21. Menurut dia, target COP 21 tak akan tercapai jika konferensi Glasgow gagal meminta negara anggota mengurangi emisi secara besar.(bil/c10/sof/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari