PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Cipta Kerja Sektor Kehutanan dan Perkebunan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja akan segera disahkan, jika tidak ada perubahan draft maka nantinya akan berdampak luas pada perkebunan sawit terkhusus yang masih dalam kawasan hutan.
Bahkan, program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang menjadi andalan Presiden Joko Widodo guna mendorong produksi di sektor hulu sawit rakyat, juga terancam gagal akibat RPP tersebut.
''Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UU Cipta Kerja Bidang Kehutanan yang telah dibahas pemerintah mengandung banyak masalah. Hasil analisis yang kami lakukan sejumlah masalah mendasar yang harus menjadi perhatian karena berpotensi menganaktirikan dan merugikan petani sawit rakyat di berbagai daerah di seluruh Indonesia,’’ ucap Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat M.E. Manurung.
Hal yang paling mendasar yang menjadi permasalahan dalam RPP tersebut, menurut Gulat, adalah mengenai penetapan kawasan hutan adalah kawasan yang sudah ditetapkan. Sementara, mayoritas petani sawit swadaya justru ada di kawasan hutan yang masih dalam penunjukan, pemetaan dan penataan batas.
“Setelah saya pelajari statistik kehutanan sebetulnya sederhana solusinya. Ditetapkan saja “Luas Hutan = Luas Kawasan hutan” selesai persoalan. Sebagai catatan, saat ini Kawasan hutan 131.6 juta ha terdiri atas : Hutan = 93.9 juta Ha, Non Hutan = 34.7 juta Ha. Pada non hutan inilah kebun sawit rakyat berada yang diklaim dalam kawasan hutan. Jika luas kawasan hutan disamakan dengan luas hutan yakni 94.9 juta ha, maka klaim dalam kawasan hutan tidak ada lagi. Perlu dicatat, FAO hanya mengakui luas hutan dan tidak mengenal istilah kawasan hutan,'' tegasnya.
Luas kebun petani secara nasional dalam kawasan hutan yang mencapai seluas 2,73 juta hektare, menurutnya jika tidak diakomodir dalam RPP dalam bentuk pasal khusus, maka investasi petani dengan luas 2,73 juta ha tersebut akan hilang. Dan akan menimbulkan dampak sosial yang sangat besar bagi Indonesia.
Dikatakannya, menurut data KLHK pada Desember 2020, Riau merupakan provinsi terparah, dari total 4,02 juta ha sawit di Riau, sebanyak 2,7 juta hektare dikelola oleh petani dan dari 2,7 juta ha tersebut, 1,6 juta ha (61%) dalam kawasan hutan. Sedangkan luas perkebunan sawit korporasi di Riau mencapai 1,4 juta ha, hanya 33 ribu ha yang dalam kawasan hutan (2,24%).
“Jadi tidak benar isu yang beredar selama ini yang mengatakan bahwa 1,2 juta ha sawit di Riau dalam kawasan hutan milik korporasi, fakta dari data KLHK bahwa petani lah sesungguhnya. Lalu kenapa bisa begini? Jawaban sederhana bahwa selama ini tidak ada yang mengurusi legalitas petani sawit, sementara korporasi lengkap dengan tim legalnya. Lalu siapa yang mau disalahkan?” ujar Gulat.
Sementara di sisi lain, UU Cipta Kerja hanya memberikan batas waktu 3 tahun untuk menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan tadi. ‘’Kami pastikan waktu 3 tahun itu tidak akan cukup. Apabila tak terselesaikan maka petani sawit akan terus bermasalah dengan kawasan hutan,’’ tegasnya.
Prof Dr Budi Mulyanto, Akademisi dari IPB mengatakan "Petani sawit sudah melakukan apa yang tidak terjangkau oleh pemerintah, membangun dari pedesaaan jauh diujung keramaian dan tidak terjangkau oleh apapun yang namanya APBN dan APBD. Mereka adalah bagian semangat Jokowi dengan slogan Nawacita, jangan malah terpinggirkan oleh RPP UUCK ini," pintanya.
Oleh karena itu, dirinya mendukung supaya Apkasindo langsung saja menemui Presiden.
”'Ego sektor masing-masing kementerian masih sangat tinggi, lihat saja di pasal-pasal RPP tersebut, tidak saling berhubungan masih sendiri-sendiri, jauh dari roh UUCK yang dikenal dengan omnibuslaw, harapan Presiden di UUCK jauh dari apa yang ada dalam RPP UUCK. Ini persoalan hajat hidup Petani sawit di 134 kabupaten/kota se-Indonesia,'' ujar Prof Budi yang juga anghota Tim Serap Aspirasi RPP UUCK.
Sementara itu, pakar Perhutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo meminta agar pemerintah segera membuat pasal pengakuan sementara atas hak rakyat yang ada di dalam klaim kawasan hutan itu.
Pengakuan sementara tadi kata Sudarsono sangat penting biar rakyat bisa segera mengakses sumber daya. ‘’Biar petani bisa mengakses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),’’ katanya.
Sejumlah permasalahan dalam RPP Ciptaker Kehutanan, menurut Gulat Manurung dari Hasil analisis yang dilakukan timnya, ada sejumlah masalah mendasar yang harus menjadi perhatian karena berpotensi merugikan petani sawit rakyat di berbagai daerah.
Pertama, berkaitan dengan sanksi administratif. Pasalnya, dalam RPP yang sedang dibahas itu sanksi hanya dibuat untuk menyelesaikan persoalan klaim perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan yang sudah melalui proses penetapan. Sementara kebun yang ada dalam kawasan hutan dan masih dalam tahap penunjukan, penataan batas dan pemetaan, sanksi belum diatur.
“Padahal kawasan yang ditetapkan masih sangat sedikit. Waktu 3 tahun sangat singkat dan petani sawit akan terjebak selamanya dalam klaim kawasan hutan,’’ ucap Gulat.
Karena itu Apkasindo mengusulkan kebun yang diklaim dalam kawasan hutan tetapi dalam tahap penunjukan, penataan batas atau pemetaan dikeluarkan dari klaim kawasan hutan berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Beberapa bukti yang dapat digunakan antaranya Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
Selain itu, adanya batasan luas kepemilikan kebun bagi petani juga dibatasi, padahal ketentuan hukum di bidang perkebunan telah memberikan hak bagi petani sawit untuk mengelola lahannya maksimal 25 hektare.
Hal ini terjadi karena rpp tersebut telah mengunci definisi 'perizinan berusaha' terbatas pada izin lokasi dan izin usaha di bidang perkebunan. Dalam hal ini petani sawit tentu saja tidak memiliki izin-izin tersebut karena memang tidak diwajibkan oleh undang-undang.
‘’Juga ada denda administratif yang tak masuk akal bagi petani, juga adanya ketentuan peralihan pasal 55 rpp yang melanjutkan proses penyidikan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan yang kami minta untuk dihapus,’’ tegasnya.
Selain itu, adanya perlakuan diskriminasi terhadap petani sawit terkait kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan lindung yang sudah ditetapkan, juga dapat menimbulkan kecemburuan. Pasalnya RPP tersebut memberikan perlakuan yang berbeda terhadap perusahaan sawit, dimana, jika lahan perkebunan yang dimiliki perusahaan terindikasi berada dalam hutan lindung/hutan konservasi maka diberikan izin melanjutkan usaha selama 15 tahun.
Sebaliknya, jika lahan perkebunan yang terindikasi tersebut dimiliki oleh petani sawit harus segera dikembalikan kepada negara.
‘’Apkasindo mengusulkan kegiatan perkebunan petani sawit di dalam kawasan hutan lindung yang sudah ditetapkan diberikan izin melanjutkan usaha selama 15 tahun sama seperti perusahaan perkebunan," tegasnya.
Perihal tersebut, ia berharap supaya semua proses hukum yang terkait ke Petani sawit dalam kawasan hutan supaya dihentikan dahulu.
”Mari kita sama-sama menghormati proses bernegara, sampai disyahkannya RPP UUCK ini,” pungkas Gulat.
Laporan: M Erizal (Pekanbaru)
Editor: Afiat Ananda