Kain tenun tradisional Sabu hingga kini masih dipakai oleh masyarakat, baik dalam acara-acara dan kegiatan tradisional maupun dalam kehidupan sehari-hari. Peran para penenun dan pasar sangat menentukan apakah hal ini akan mampu bertahan lama.
Oleh Hary B Koriun
Kerja keras Dorkas dan semua guru di SMP 1 Sabu Barat membuat sekolah tersebut mendapat predikat Sekolah Rujukan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk menjadi Sekolah Rujukan tidak mudah karena selain mengusulkan diri, juga harus memenuhi berbagai syarat. Selain dilihat dari kemampuan para siswanya dari nilai rata-rata ujian, baik ujian nasional maupun ujian kenaikan kelas, juga dilihat bagaimana kreativitas sekolah tersebut dalam ikut membangun karakter siswa-siswinya.
Ide memakai pakaian adat setiap tanggal 20 setiap bulannya dan upaya mereka ikut melestarikan kesenian tradisional dengan mendirikan dan mengaktifkan Sanggar Tari SMP N 1 Sabu Barat, masuk dalam kriteria penilaian ini. Untuk sekolah berlabel Sekolah Rujukan, satu kabupaten hanya satu sekolah untuk semua tingkatan.
Dorkas berharap, ke depan pendidikan di Sabu Raijua akan terus maju dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah lainnya di kota besar. Tetapi bukan itu tujuan utamanya. Menurut Dorkas, dengan tingkat kemampuan anak-anak yang levelnya sudah tinggi, mereka bisa bersaing di mana pun. Ketika tamat SMA, saat harus masuk perguruan tinggi, mereka bisa bersaing dengan lulusan dari kabupaten lain di NTT saat kuliah di perguruan tinggi di Kupang. Atau malah bisa bersaing di universitas-universitas favorit di Jawa.
“Banyak anak-anak pintar dari Sabu yang lulus kuliah di UGM, UI, IPB, dan yang lainnya. Tapi ya itu tadi, kebanyakan mereka memiliki orangtua yang mampu secara finansial. Tapi banyak juga yang mengandalkan beasiswa,” ungkap Dorkas.
Hanya saja, kebanyakan dari mereka yang bisa menembus universitas favorit di Jawa, kebanyakan ketika sudah lulus tidak mau kembali untuk mengabdi ke kampung halamannya di Sabu. Mereka banyak berpikir, untuk apa sekolah di universitas favorit kalau akhirnya tak menjadi apa-apa ketika pulang kampung. Kata Dorkas, mereka banyak yang bekerja dan tetap tinggal di berbagai kota di Jawa.
“Pernah suatu kali saya ketemu mantan siswa saya di SMP N 1 Sabu Barat di Jakarta. Dia sudah menjadi Polwan dengan dandanan cantik. Saya turut bangga. Lalu saya bilang ke dia, ‘Kamu sekarang sudah cantik begini, padahal dulu sekolah tak pernah mandi…’” kata Dorkas sambil tertawa.
***
MARIA Leo sedang menata peralatan tenunnya ketika kami –saya dan Bang Brother– sampai di depan tokonya di kawasan Seba, Kelurahan Mebba, Rabu, 15 Mei 2019. Toko itu seluruhnya terbuat dari kayu, kecuali atapnya yang berbahan seng. Luasnya kira-kira 6 x 7 meter. Di toko ini, banyak jenis tenun ikat yang didisplainya dengan menggantungnya di dinding kanan, kiri dan beberapa di belakang. Ada jenis ei (kain panjang untuk perempuan), heleda (syal/selendang kecil), higgi (selimut), ei ledo, ei radja, dan jenis-jenis lainnya dengan beraneka ragam warna dan corak.
Di toko ini juga Maria menenun maupun mengikat kain tenunnya. Ada beberapa peralatan yang terbuat dari kayu. Dengan mahir dia terlihat mengerjakan benang-benang tersebut menjadi lembaran kain. Meski memang sangat pelan-pelan.
Wanita berusia 58 tahun ini kemudian bercerita bahwa kain-kain tenun ikat yang dipajang di tokonya ini tidak semuanya hasil karyanya. Banyak yang diambilnya dari Mehara. Di Mehara, katanya, lebih banyak pengrajin tenun ikat. Mereka ada yang dibina oleh pemerintah maupun bekerja individu secara turun-temurun.
“Berapa hari untuk menyelesaikan satu tenun ikat ini?” tanya saya setelah berkenalan.
Bang Brother yang menjelaskan kepadanya tentang maksud tujuan saya ke tokonya. Juga tentang mengapa saya bisa berada di Pulau Sabu ini. Mereka ngobrol menggunakan bahasa Sabu sambil sesekali tertawa.
“Beta mau menjawab kalau Bapak mau membeli,” katanya sambil tertawa. “Bapak orang dari Jakarta, toh?” katanya lagi.
Saya hanya tersenyum, tidak menjawab atau menjelaskan. Dia sudah tahu tentang saya dari Bang Brother. Tapi, nampaknya dia serius agar saya membeli barang dagangannya.
Saya katakan kepadanya bahwa saya memang berniat membeli, tapi tidak kain besar, hanya beberapa helai heleda. Untuk oleh-oleh.
Dia lalu tersenyum. “Ah, beta cuma bercanda. Tapi kalau Bapak benar-benar mau membeli, saya akan sangat senang sekali,” katanya kemudian sambil tertawa ringan.