Tradisi pembuatan anyaman atau sarang ketupat berbahan daun kapau, khas Melayu Riau pesisir tak lekang oleh waktu. Secara turun temurun tradisi tersebut tetap lestari. Ketupat yang dihasilkan lebih putih dan bersih.
Laporan: MUSLIM NURDIN (Senapelan)
Di Jalan Meranti, Kampung Bandar, Kecamatan Senapelan tepatnya di areal tepian Sungai Siak, terdapat beberapa pengrajin ketupat berbahan baku daun kapau. Anyaman ketupat jenis ini diyakini lebih awet dan bisa tahan hingga satu tahun.
Asna (58), salah satu pengerajin ketupat daun kapau mengaku dalam sehari mampu memproduksi anyaman ketupat sekitar 400 keping. Dari situlah, kehidupannya dan masyarakat Melayu pesisir asli di kawasan Kampung Bandar tersebut ditopang.
"Ini tradisi turun temurun, dulu sejak zaman emak dan nenek-nenek saya sudah membuat ini. Sekarang turun ke saya dan anak saya," kata Gadih, sapaan akrabnya, Selasa (12/5).
Namun di tengah perkembangan zaman, anyaman ketupat daun kapau ini semakin sulit dijumpai. Sebab semakin sedikit orang yang melestarikannya serta sulitnya mendapatkan bahan baku daun kapau tersebut.
Biasanya, kata Gadih, daun kapau tersebut diambil di kawasan rawa gambut. Dia mencari bahan baku tersebut sampai daerah Minas, Kabupaten Siak. "Jadi ini bahannya anak saya yang cari, saya dirumah saja produksi," ujarnya.
Ketupat daun kapau sendiri kini menjadi ikon di pesisir Kota Pekanbaru, tepatnya di tepian Sungai Siak. Setiap menjelang hari raya Idulfitri, hasil kerajinan warga Melayu pesisir itu diserbu warga. Pembelinya pun beragam dan banyak berasal dari luar daerah, bukan hanya masyarakat Melayu saja.
Gadih menjelaskan, seminggu menjelang lebaran, produksi ketupat daun kapaunya itu diserbu dan hampir ludes diborong para pelancong. Dia pun menjualnya dengan harga yang terjangkau.
Masyarakat suka dengan anyaman ketupat tersebut lantaran isi lontong ketupat tidak berubah warna. Kalau ketupat daun kelapa, biasa lontong yang dihasilnya akan berwarna kehijauan. Dengan daun kapau ini, lontong tetap putih bersih. Wanginya juga khas dan menggugah selera.
"Yang terpenting lagi, anyaman ketupat daun kapau ini tahan. Bisa tahan satu tahun. Pembelinya banyak dari luar daerah, ada yang dari Dumai, Bengkalis, Siak, dan bahkan dari Padang. Biasa jelang lebaran puncaknya, gak tahu ya kalau lebaran kali ini karena sedang corona kan," kata Gadih.
Harga anyaman ketupat daun kapau itupun beragam, apabila membeli dengan jumlah besar tentunya warga setempat menjualnya lebih murah. Untuk satuan, Gadih dan para pedagang sekitar sepakat menjual dengan harga Rp500 dengan kondisi kosong. Apabila berisi sekalian dengan nasi atau pulut, mereka menjualnya seharga Rp2.000.
Dalam seikat, isi 100 ketupat daun kapau kosong dihargai sebesar Rp50.000. Gadih dan keluarga menjual ketupat tersebut sejak masih belia.
"Jadi dulu itu sejak jaman kerajaan Siak, ini sudah dilakukan oleh nenek-nenek dan para leluhur kami terdahulu, sekitar tahun-tahun sebelum Indonesia merdeka begitulah. Tradisi ini turun temurun, keluarga kami yang pertama buat di daerah ini," tuturnya.
Daun kapau, selain digunakan untuk pembuatan ketupat, diyakini Gadih juga bisa untuk obat tradisional. Dahulu, katanya, nenek-nenek dan para leluhurnya membuat daun tersebut sebagai campuran obat tradisional.
Menurut dia, daun kapau diyakini juga lebih tahan lama dibanding daun kelapa yang dipakai untuk ketupat pada umumnya. Apabila dipakai membuat ketupat, daun ini tak akan kering sebelum dianyam sampai tiga hari. "Kalau daun kelapa sehari aja udah layu," katanya.
Saat ini, keberadaan warga Melayu Riau pesisir yang memproduksi anyaman ketupat daun kapau hanya tinggal sedikit. Namun Gadih yakin, tradisi turun temurun itu tak akan lekang oleh waktu. (*1)