Jumat, 20 September 2024

MUI Haramkan Mata Uang Kripto

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ijtima ulama yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berakhir kemarin (11/11) menghasilkan sejumlah keputusan. Di antaranya terkait praktik pinjaman online (pinjol), penikahan online, serta cryptocurrency atau mata uang kripto. Hasil keputusan Ijtima Ulama itu disampaikan Ketua MUI bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh. 

"Untuk pinjol ada empat diktum," katanya. 

Pertama, adalah pada dasarnya perbuatan pinjam meminjam atau utang piutang adalah akat tabarru atau kebajikan. Akad ini didasarkan rasa saling tolong menolong selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Asrorun lantas menjelaskan sengaja menunda pembayaran utang bagi yang mampu, hukumnya haram. Kemudian dalam praktik pinjol yang kerap dikeluhkan masyarakat, seperti adanya ancaman fisik serta membuka aib atau rahasia seseorang yang tidak mampu membayar utang hukumnya haram. 

- Advertisement -

"Adapun memberikan penundaan atau keringanan dalam pembayaran utang bagi yang mengalami kesulitan, merupakan perbuatan yang dianjurkan," tuturnya. 

Asrorun menegaskan pinjaman baik online maupun offline yang mengandung riba, hukumnya haram. Meskipun dilakukan atas dasar kerelaan. Dia mengimbau umat Islam sebaiknya menggunakan jasa keuangan dengan prinsip syariah.

- Advertisement -
Baca Juga:  Azaly Johan: Roda Pemerintahan Bengkalis Harus Tetap Jalan

Dalam keputusannya MUI juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait praktik pinjol yang meresahkan masyarakat. Rekomendasi ini untuk Kominfo, Polri, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). MUI meminta lembaga-lembaga itu meningkatkan perlindungan kepada masyarakat.

"Selain itu juga menindak tegas penyalahgunaan praktik pinjaman online," tuturnya. 

Kemudian soal hukum pernikahan online dapat dilakukan dengan sejumlah ketentuan. Utamanya adalah para pihak mempelai tidak bisa hadir dan tidak mau mewakilkan (tawkil). Syarat pernikahan online dibolehkan adalah wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung melalui jaringan virtual meliputi suara dan gambar atau video. 

"Kemudian dalam waktu yang sama (real time, red) dan adanya jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak," tuturnya. 

Pernikahan online yang tidak memenuhi syarat tersebut, hukumnya tidak sah," katanya. Kemudian pernikahan yang dijalankan secara online, tetap harus dicatatkan pada pejabat pembuat akta nikah Kantor Urusan Agama (KUA).

Baca Juga:  PBNU: Pernyataan Sukmawati Tidak Ada Manfaatnya Sama Sekali

Isu kontemporer lainnya yang dibahas dalam Ijtima Ulama adalah cryptocurrency atau kripto. MUI menetapkan ada tiga ketentuan hukum tentang kripto. Pertama penggunaan kripto sebagai mata uang hukumnya haram. 

Karena mengandung gharar (ketidakpastian), dharar (bahaya), dan bertentangan dengan UU 7/2011 dan Peraturan Bank Indonesia 17/2015.

Kedua kripto sebagai sebuah komoditi atau aset digital tidak sah diperjualbelikan. Di antaranya karena tidak memenuhi syarat wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, dan hak milik yang bisa diserahkan ke pembeli.

"Ketika cryptocurrency sebagai komoditi atau aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan underlying serta mememiliki manfaat yang jelas, hukumnya sah untuk diperjualbelikan," tuturnya. Syarat sil’ah itu meliputi ada wujud fisiknya, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, dan bisa diserahkan kepada pembeli.(wan/jpg)
 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ijtima ulama yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berakhir kemarin (11/11) menghasilkan sejumlah keputusan. Di antaranya terkait praktik pinjaman online (pinjol), penikahan online, serta cryptocurrency atau mata uang kripto. Hasil keputusan Ijtima Ulama itu disampaikan Ketua MUI bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh. 

"Untuk pinjol ada empat diktum," katanya. 

Pertama, adalah pada dasarnya perbuatan pinjam meminjam atau utang piutang adalah akat tabarru atau kebajikan. Akad ini didasarkan rasa saling tolong menolong selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Asrorun lantas menjelaskan sengaja menunda pembayaran utang bagi yang mampu, hukumnya haram. Kemudian dalam praktik pinjol yang kerap dikeluhkan masyarakat, seperti adanya ancaman fisik serta membuka aib atau rahasia seseorang yang tidak mampu membayar utang hukumnya haram. 

"Adapun memberikan penundaan atau keringanan dalam pembayaran utang bagi yang mengalami kesulitan, merupakan perbuatan yang dianjurkan," tuturnya. 

Asrorun menegaskan pinjaman baik online maupun offline yang mengandung riba, hukumnya haram. Meskipun dilakukan atas dasar kerelaan. Dia mengimbau umat Islam sebaiknya menggunakan jasa keuangan dengan prinsip syariah.

Baca Juga:  PBNU: Pernyataan Sukmawati Tidak Ada Manfaatnya Sama Sekali

Dalam keputusannya MUI juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait praktik pinjol yang meresahkan masyarakat. Rekomendasi ini untuk Kominfo, Polri, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). MUI meminta lembaga-lembaga itu meningkatkan perlindungan kepada masyarakat.

"Selain itu juga menindak tegas penyalahgunaan praktik pinjaman online," tuturnya. 

Kemudian soal hukum pernikahan online dapat dilakukan dengan sejumlah ketentuan. Utamanya adalah para pihak mempelai tidak bisa hadir dan tidak mau mewakilkan (tawkil). Syarat pernikahan online dibolehkan adalah wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung melalui jaringan virtual meliputi suara dan gambar atau video. 

"Kemudian dalam waktu yang sama (real time, red) dan adanya jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak," tuturnya. 

Pernikahan online yang tidak memenuhi syarat tersebut, hukumnya tidak sah," katanya. Kemudian pernikahan yang dijalankan secara online, tetap harus dicatatkan pada pejabat pembuat akta nikah Kantor Urusan Agama (KUA).

Baca Juga:  KPK Mulai Lumpuh

Isu kontemporer lainnya yang dibahas dalam Ijtima Ulama adalah cryptocurrency atau kripto. MUI menetapkan ada tiga ketentuan hukum tentang kripto. Pertama penggunaan kripto sebagai mata uang hukumnya haram. 

Karena mengandung gharar (ketidakpastian), dharar (bahaya), dan bertentangan dengan UU 7/2011 dan Peraturan Bank Indonesia 17/2015.

Kedua kripto sebagai sebuah komoditi atau aset digital tidak sah diperjualbelikan. Di antaranya karena tidak memenuhi syarat wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, dan hak milik yang bisa diserahkan ke pembeli.

"Ketika cryptocurrency sebagai komoditi atau aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan underlying serta mememiliki manfaat yang jelas, hukumnya sah untuk diperjualbelikan," tuturnya. Syarat sil’ah itu meliputi ada wujud fisiknya, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, dan bisa diserahkan kepada pembeli.(wan/jpg)
 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari