Disebut Soekarno sebagai bagian dari mewujudkan cita-cita revolusi Indonesia, jejak Keramika Indonesia Assosiasi kini cuma tersisa di satu gedung. Bekas kompleksnya pun bukan lagi milik perusahaan tersebut atau pemerintah.
Laporan JPG, Tanjung Pandan
DIBA Mawarni bersemangat membuka buku album foto hasil jepretan kamera jadul (zaman dulu) itu. Dua bola mata perempuan berjilbab tersebut pelan-pelan menyusuri setiap lembar halaman.
Beberapa foto menggambarkan perayaan ulang tahun di dalam sebuah ruangan. Ada pula hasil jepretan aktivitas buruh dengan latar belakang bangunan pabrik. Diba kemudian mengambil sebuah peta. Di dalamnya terdapat gambar denah pabrik dan perumahan. Dalam peta skala 1:1.000 itu tercantum keterangan waktu 20/08/1992. Juga tulisan PT Keramika Indonesia Assosiasi (KIA) Tanjung Pandan di pojok kanan bawah. "Di depan situ ada pabrik lama," kata Diba kepada Jawa Pos (JPG) sembari menunjuk ke arah dua cerobong asap yang tampak terbengkalai.
Pabrik keramik yang dimaksud Diba berada di Tanjung Pandan, Belitung. Cerobong tinggi menjulang tersebut berada tak jauh dari pos penjagaan. Di belakang cerobong terdapat fondasi bangunan tua yang ditumbuhi tanaman liar. Dulu bangunan yang terbuat dari batu bata berukuran besar itu merupakan tempat pembakaran keramik tradisional atau tanur.
"Kiln (mesin pembakaran keramik, red) yang besar dulu berada di belakang," terang Diba.
Dari lokasi cerobong itu, jarak oven keramik yang dimaksud Diba tak terlalu jauh. Hanya, bangunannya tak utuh lagi. Bekas bangunan pabrik utama itu nyaris rata dengan tanah. Sisa fondasi ditumbuhi semak belukar. "(Bangunan pabrik utama) sudah dipereteli semua. Jadi, nggak ada yang tersisa," ungkap perempuan 47 tahun tersebut.
Area bekas pabrik KIA di Jalan Ahmad Yani, Tanjung Pandan, tak beroperasi sejak 1998. Padahal, ada sejarah besar di balik sisa-sisa bangunan tersebut. Mengutip buku Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia karya Sam Setyautama yang terbit pada 2008, adalah Oei Jong Tjioe yang berperan dalam pembangunan industri keramik di Belitung tersebut. Pada 1953, Oei diminta Mohammad Hatta, wakil presiden kala itu, mengembangkan industri bahan bangunan tersebut.
Dalam perjalanannya, eksistensi industri keramik itu mendapat perhatian Presiden Soekarno. Pada 1964, Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 92 yang memutuskan Keramika Indonesia di Tanjung Pandan –yang masih berbadan hukum CV waktu itu– sebagai salah satu perusahaan vital yang melayani keperluan masyarakat dan proyek-proyek pembangunan pemerintah.
Keppres itu juga menyebutkan bahwa Keramika Indonesia adalah bagian dari usaha mewujudkan cita-cita revolusi Indonesia. Jadi, pemerintah perlu melindungi perusahaan tersebut dari mogok kerja dan penutupan. Perlindungan itu juga diperlukan karena perusahaan tersebut terletak di daerah perbatasan Indonesia–Malaysia. Kedua negara terlibat dalam konfrontasi ketika itu.
Diba masih ingat ketika ayahnya, Djamaludin Hamid, bekerja di pabrik tersebut. Djamaludin yang menjadi pegawai KIA sejak 1963 bertugas di bagian hubungan masyarakat pada 1990-an. Juga sempat menjadi manajer personalia.
"Dulu, waktu kecil, banyak anak pekerja (pabrik) yang sering main ke sini," kenang anak kelima Djamaludin itu.
Sejak pabrik ditutup, ayah Diba dipercaya sebagai penanggung jawab aset bekas kompleks pabrik seluas 18 hektare tersebut. Tanggung jawab itu kemudian beralih ke Diba sepeninggal Djamaludin pada 2001.
Di kompleks bekas pabrik KIA itu, tak banyak bangunan lawas yang tersisa. Sejak ditutup permanen pada krisis moneter 1998, hanya satu gedung yang masih layak pakai: gedung bekas kantor personalia. Sekarang gedung tersebut digunakan untuk pos penjagaan. Ada empat petugas keamanan yang bergantian menjaga kompleks tersebut.
Tak banyak dokumen jadul yang bisa menggambarkan sejarah awal pembangunan pabrik keramik tersebut. Hanya ada salinan brosur lawas pada 1994 yang tersisa. Isinya, cerita singkat pabrik tersebut. Juga panduan proses produksi keramik dan data umum struktur organisasi hingga capaian produksi pabrik sejak 1970 hingga 1993.
Dari brosur itu diketahui, pabrik tersebut mulai dibangun pada 1953 atau delapan tahun setelah kemerdekaan. Belitung dipilih sebagai lokasi pabrik lantaran bahan baku keramik berlimpah. Misalnya, pasir kuarsa, kaolin, dan tanah liat. Letak geografis Belitung yang berada di antara tiga pulau besar, yakni Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, juga menjadi dasar pertimbangan.
Pada 1956, pabrik itu disebut berada di bawah naungan Tjioe Mo Tjiang, pengusaha Tionghoa asal Padang Sidempuan, Tapanuli, Sumatera Utara. Pada saat bersamaan, tokoh yang punya nama lain Eugene Trismitro tersebut juga mendirikan N.V. Bitco. Perusahaan yang berkedudukan di Jakarta itu seperti agen penjualan atau pemasaran produk-produk KIA.
Geliat penjualan keramik itu dapat dilihat dari beberapa arsip koran Merdeka pada 1961–1963. Pada rentang waktu itu, N.V. Bitco beberapa kali memasang advertorial. Di koran Merdeka edisi Senin, 27 Februari 1961, misalnya. N.V. Bitco mempromosikan tegel porselen berwarna produksi Keramika Indonesia dalam bentuk iklan kolom berukuran kecil.
Dalam rentang waktu 1950 hingga 1960-an itu, Keramika Indonesia mengembangkan industri dengan memperluas pabrik. Jenis keramik yang diproduksi pun ditambah. Dari sebelumnya hanya memproduksi keramik ubin, ditambah tegel (keramik dinding) berglasir dan saniter. Perusahaan pun mendatangkan beberapa tenaga ahli dari Jepang dan Jerman.
Seiring dengan berjalannya waktu, eksistensi pabrik KIA terus dikembangkan. Pada 1968, KIA menjalin kerja sama dengan N.V. Sphinx Ceramique, perusahaan keramik terbesar di Belanda. Koran De Volkskrant edisi Kamis, 17 April 1969, memberitakan kabar tersebut. Di berita itu juga disebutkan bahwa Sphinx membekali pengetahuan teknis seputar keramik halus kepada Keramika Indonesia.
Diba menyatakan, eksistensi pabrik keramik tempat ayahnya bekerja memang tersohor hingga ke luar negeri. Pada tahun-tahun awal berdiri, produk pabrik tersebut merambah pasar dalam negeri hingga mancanegara. Misalnya, Australia dan Tiongkok. "Hampir semua bahan baku diambil dari sini (Belitung)," ujarnya.
Sayangnya, tonggak industri keramik di Indonesia pasca kemerdekaan itu kini tinggal riwayat. Kompleks bekas pabriknya pun sekarang bukan milik PT KIA atau pemerintah. Melainkan milik pengusaha asal Belitung.
Diba berharap area bersejarah yang lokasinya tak jauh dari rumah dinas bupati Belitung itu kembali hidup. "Karena banyak kenangan kami di sini sewaktu orang tua kami bekerja. Ada sejarah besar pula di dalamnya," ucap Diba.(*/c14/ttg/jpg)