Kamis, 19 September 2024

Panggung Sederhana, Toleransi yang Istimewa

Panggung sederhana dengan banyak karakter. Sedang penonton begitu dekat menyimak jalan cerita yang awalnya minim kata dan biasa-biasa saja.

(RIAUPOS.CO) — KEDAI kopi, musik dan pengunjung lalu lalang. Tidak banyak, hanya empat orang, barangkali sesuai dengan tuntutan peran dalam naskah. Seorang perempuan berambut pirang dengan bibir merah merona, jalan lenggak lenggok dan bagian-bagian tubuh yang terlihat jelas. Ia keluar masuk panggung. Berkali-kali, Kostumnya pun berganti-ganti. Duduk, pesan minum dan pergi. Begitu dan selalu begitu setiap hari.

Tidak ada yang menarik, monoton dan berulang serta sangat berani. Properti panggung yang muncul juga seperti tidak dirancang serius, termasuk hal-hal kecil seperti kertas menu makanan yang dibuat dari kardus ala kadar. Hal yang paling mengusik adalah, aktor rambut pirang berpakaian mini sedang ratusan penonton yang melihat dengan sangat dekat pertunjukan mayorias perempuan berhijab dan lelaki berkupiah. Anak-anak santri yang hari-hari menutup auratnya dengan sangat baik.

Pertunjukan ini memang bagian atau salah satu pertunjukan dalam Festival Teater Islam Dunia (FTID) yang digelar beberapa waktu lalu di gedung Suzianna Conventioan Hall atau Islamic Centre, sebuah Yayasan milik Keluarga Tabrani Rab, tokoh Riau atas ide dan gagasan Panggung Toktan di bawah komando Imam Toktan Aris Abeba. Awal pertunjukan terasa sangat tabu, risih karena sutaradara terlalu berani mengusung naskah ini di tengah santri. Tapi kemudian menjadi asyik dan cair ketika di panggung itu juga ada seorang ustaz atau lelaki yang faham dengan Islam. Antara keduanya yang awalnya hanya saling pandang, akhirnya berkomunikasi dengan lancar. Ditambah lagi kepiawaian pemain dalam improvisasi, termasuk si rambut pirang yang sempat mengipas lehernya dengan tangan karena panas dan menyebu AC ruangan kurang maksimal. Ini membuat penonton yang awalnya diam menjadi tertawa.  

- Advertisement -

Toleransi. Ada garis toleransi yang jelas dalam pertunjukan ini yang ingin disampaikan sutradara kepada penonton. Antara perempuan berambut pirang, seorang lelaki alim dan penghuni kedai kopi atau witer, juga seorang ilmuwan yang awalnya saling pandang bahkan saling mencurigai, akhirnya saling menyapa, berbicara dan akrab. Awalnya, mereka hanya membicarakan tentang identitas dan pilihan masing-masing serta konsekuensi kondisi lingkungan masyarakat yang melingkupi keduanya. Si ilmuwan kadang lancang nimbrung dan melontarkan komentar sarkastik Si waiter mempertanyakan keimanan si alim, karena mau berteman dengan si pirang yang ‘suka mempertontonkan tubuhnya’ itu. Entah bagaimana, akhirnya si pirang memecahkan kebekuan dengan si waiter yang teradikalisasi itu, melalui sepotong jengkol pai buatan sendiri. Bagian akhir cerita adalah saat perubahan nilai yang baru dialami si waiter itu, diuji. Cerita yang awalnya hanya terkesan biasa, ternyta mengandung pesan moral yang luar biasa: toleransi itu indah.

Baca Juga:  Presiden Palestina: Kemerdekaan Segera Datang!

Sangat terasa erita dalam pertujukan ini menggambarkan tentang masyarakat Indonesia yang majemuk sedang menghadapi persoalan besar mengenai toleransi. Perbedaan seringkali dimasukkan dalam kotak untuk dihakimi, dengan dalih agama. Perbedaan, termasuk perbedaan pola pikir berpotensi menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu bisa memecah belah. Akibatnya, yang muncul adalah kebencian, intoleransi dan penghakiman.Perspektif cerita ini menangkap persoalan intoleransi pada interaksisosial dan menunjukkan bagaimana bias kognitif muncul pada individu. Sedangkan, sebagai bentuk seni teater, pertunjukan ini hendak menyampaikan pesan perdamaian melalui empati, keterbukaan dan kemampuan mendengar, dan mengambil simbol yang dekat dengan orang Indonesia, yaitu jengkol. Tak heran jika judul pertunjukan ini Jengkol Jangan Jengkel.

- Advertisement -

Kerensa Dewantoro adalah penulis naskah, sutradara sekaligus pemain dalam pertunjukan ini.  Perempuan asal Australia ini sudah 30 tahun menetap di Indonesia. Fasih berbhasa Indonesia dan sangat ramah. Sebelum pertunjukan atau sesudah pertunjukan, ia terlihat selalu duduk, berbincang dengan siapa saja yang datang dalam acara tersebut. Perempuan yang juga dikenal dengan Darah Rouge ini menjadi fenomenal dan disenangi banyak orang.

Dikatakan Kerensa, ia turut berpartisipasi pada World Conference on Islamic Thought and Civilization, Juni 2018. Pada konferensi tersebut, isu yangmengemuka adalah kesalahan persepsi umat Islam, untuk hanya berfokus pada atribut. Kerensa yang tinggal di Indonesia dan juga merasakan keresahan itu, kemudian mulai mengeksplorasi permasalahan kebencian yang ditanamkan melalui ketidaktahuan serta terbentuknya stereotype yang mempengaruhi cara pandang terhadap orang lain. Hingga jadilah naskah “Jengkol”, yang awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris. Naskah ini mengambil sudut pandang pentingnya pendidikan.

Dalam penelitian yang ia lakukan sebelumnya sebelum mengusung naskah ini ke atas panggung, Kerensa menemukan banyak hal tabu yang dianggap tidak baik dibicarakan di tengah masyarakat, bahkan bisa menimbulkan konflik. Hal-hal tersebut antara lain, jangan membicarakan agama lain, karena itu adalah isu yang sensitif. Bisa-bisa menimbulkan kesadaran akan perbedaan. Perbedaan dianggap sebagai hal negatif dan harus dijaga agar jangan sampai muncul ke permukaan sebagai pemicu pertentangan.  Jangan menilai orang lain, karena kecenderungan membicarakan orang lain dan karakter yang berbeda adalah pergunjingan mengarah kepada gosip.Dalam ajaran agama, gosip itu dosa. Padahal sudut pandang dalam menilai orang lain bisa diambil sebagai observasi karakter. Dari pemikiran ini, ditemukan sebuah kesimpulan, bahwa, perbedaan itu menakutkan, perbedaan itu mengancam. Toleransilah yang akan menngurainya. Dan, dalam pertunjukan ini memperlihatkan, bahwa toleransi itu indah.

Baca Juga:  Upaya Berantas Narkoba, Polres Rohil Gandeng Berbagai Kalangan

Toleransi nilai ini ditekankan melalui tokoh pria beriman yang dengan dialog ia mampu menyampaikan karakter keterbukaan pikiran melawan praduga. Sementara empati dan keingintahuan tokoh si pirang membawa pengaruh empati, bahwa semua orang berkemungkinan mencapai empati dengan keingintahuan, kemampuanmendengar, dan kepekaan. Sementara antipati negative key message ini ada pada tokoh waiter, yang merepresentasikan bahwa perasaan ini kerap muncul pada seseorang dalam interaksi sosial. Perspektif keilmuantokoh ilmuwan kognitif memberikan perspektif bahwa ilmu pengetahuan menjadi sarana untuk menelaah bias dalam cerita.

‘’Indonesia itu unik. Sangat beragam dan toleransi yang hebat. 30 tahun saya di Indonesia, saya melihat dan merasakan ini. Maka, saya lahirkan dalam naskah dan pertunjukan,’’ katanya.

Kerensa Dewantoro adalah pendiri Darah Rouge dan fasilitator di Darahrouge Drama Club Kids. Dia adalah pemain teater, penulis naskah, dan sutradara. Pernah mewakili Indonesia di beberapa acara di luar negri, seperti World Conference on Islamic Thought and Civilization, Juni2018. Kerensa juga menguasai beberapa macam tarian tradisonal. Ia hanyamembuat pertunjukan teater buat penonton Indonesia.Karya terakhirnya adalah- Blue IsThe Colour of Love (penulis naskah & pemain, 2018), Voices of Children for Children Who Flee (sutradara, 2018), Dangerously Beautiful (pemain/penata artistik, 2019)

Santo Klingon yang berpera sebagai witer juga seorag sutradara dan Pemain, performance artist, aktivis dan pendidik di bidang seni. Kebanyakan karyanya bicara tentang opresi, pelanggaran HAM dan permasalahan masyarakat adat. Saat ini aktif mengajar dan mendampingi anak-anak dengan autism di sebuah yayasan.Karya terakhinya berjudul Tuhan Masih Sayang Padaku (pemain, 2018), Cinta (performance art, 2018), Dangerously Beautiful (sutradara, 2019).

Nursan Guntur yang berperan sebagai lelaki beriman adalah seorang pekerja seni yang sudah mendirikan Teater Tukang dan Teater Sarung. Ia sempat bekerjasama dengan LEMBAGA ETNIK KHSTULISTIWA INDONESIA.(CULTURAL DEVELOPMENT) sebagai aktor dalam Karya Ida Bagus Sudiasa koreografer THE BODY RUBBISH THE BODY TPST Bantar Gebang Bekasi (2009). Juara Favorit Festival Baca Puisi Islam Prof.Dr.HAMKA ke 3 tahun (2001). Juara 1 Cipta Baca Puisi HARI PANGAN SEDUNIA KE 23 (2003). Juara 3 lomba monolog INSTITUT KESENIAN JAKARTA (IKJ) (2010). Lima pemenang terbaik FESTIVAL MONOLOG RUANG PUBLIK (2012).

Sedangkan Maria Natasha (production manager/pemain) adalah seorang pemain teater sekaligus penulis review pertunjukan. Mengasuh jurnal review yang mengkhususkan konten pada teater. Karya terakhirnya berjudul Cinta (performance art, 2018), Dangerously Beautiful (manager produksi, 2019). ‘’Semoga persembahan kami menghibur masyarakat dan penonton Indonesia dan mancanegara, khususnya masyarakat Riau,’’ sambung Kerensa.*

 

Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru

 

Panggung sederhana dengan banyak karakter. Sedang penonton begitu dekat menyimak jalan cerita yang awalnya minim kata dan biasa-biasa saja.

(RIAUPOS.CO) — KEDAI kopi, musik dan pengunjung lalu lalang. Tidak banyak, hanya empat orang, barangkali sesuai dengan tuntutan peran dalam naskah. Seorang perempuan berambut pirang dengan bibir merah merona, jalan lenggak lenggok dan bagian-bagian tubuh yang terlihat jelas. Ia keluar masuk panggung. Berkali-kali, Kostumnya pun berganti-ganti. Duduk, pesan minum dan pergi. Begitu dan selalu begitu setiap hari.

Tidak ada yang menarik, monoton dan berulang serta sangat berani. Properti panggung yang muncul juga seperti tidak dirancang serius, termasuk hal-hal kecil seperti kertas menu makanan yang dibuat dari kardus ala kadar. Hal yang paling mengusik adalah, aktor rambut pirang berpakaian mini sedang ratusan penonton yang melihat dengan sangat dekat pertunjukan mayorias perempuan berhijab dan lelaki berkupiah. Anak-anak santri yang hari-hari menutup auratnya dengan sangat baik.

Pertunjukan ini memang bagian atau salah satu pertunjukan dalam Festival Teater Islam Dunia (FTID) yang digelar beberapa waktu lalu di gedung Suzianna Conventioan Hall atau Islamic Centre, sebuah Yayasan milik Keluarga Tabrani Rab, tokoh Riau atas ide dan gagasan Panggung Toktan di bawah komando Imam Toktan Aris Abeba. Awal pertunjukan terasa sangat tabu, risih karena sutaradara terlalu berani mengusung naskah ini di tengah santri. Tapi kemudian menjadi asyik dan cair ketika di panggung itu juga ada seorang ustaz atau lelaki yang faham dengan Islam. Antara keduanya yang awalnya hanya saling pandang, akhirnya berkomunikasi dengan lancar. Ditambah lagi kepiawaian pemain dalam improvisasi, termasuk si rambut pirang yang sempat mengipas lehernya dengan tangan karena panas dan menyebu AC ruangan kurang maksimal. Ini membuat penonton yang awalnya diam menjadi tertawa.  

Toleransi. Ada garis toleransi yang jelas dalam pertunjukan ini yang ingin disampaikan sutradara kepada penonton. Antara perempuan berambut pirang, seorang lelaki alim dan penghuni kedai kopi atau witer, juga seorang ilmuwan yang awalnya saling pandang bahkan saling mencurigai, akhirnya saling menyapa, berbicara dan akrab. Awalnya, mereka hanya membicarakan tentang identitas dan pilihan masing-masing serta konsekuensi kondisi lingkungan masyarakat yang melingkupi keduanya. Si ilmuwan kadang lancang nimbrung dan melontarkan komentar sarkastik Si waiter mempertanyakan keimanan si alim, karena mau berteman dengan si pirang yang ‘suka mempertontonkan tubuhnya’ itu. Entah bagaimana, akhirnya si pirang memecahkan kebekuan dengan si waiter yang teradikalisasi itu, melalui sepotong jengkol pai buatan sendiri. Bagian akhir cerita adalah saat perubahan nilai yang baru dialami si waiter itu, diuji. Cerita yang awalnya hanya terkesan biasa, ternyta mengandung pesan moral yang luar biasa: toleransi itu indah.

Baca Juga:  Upaya Berantas Narkoba, Polres Rohil Gandeng Berbagai Kalangan

Sangat terasa erita dalam pertujukan ini menggambarkan tentang masyarakat Indonesia yang majemuk sedang menghadapi persoalan besar mengenai toleransi. Perbedaan seringkali dimasukkan dalam kotak untuk dihakimi, dengan dalih agama. Perbedaan, termasuk perbedaan pola pikir berpotensi menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu bisa memecah belah. Akibatnya, yang muncul adalah kebencian, intoleransi dan penghakiman.Perspektif cerita ini menangkap persoalan intoleransi pada interaksisosial dan menunjukkan bagaimana bias kognitif muncul pada individu. Sedangkan, sebagai bentuk seni teater, pertunjukan ini hendak menyampaikan pesan perdamaian melalui empati, keterbukaan dan kemampuan mendengar, dan mengambil simbol yang dekat dengan orang Indonesia, yaitu jengkol. Tak heran jika judul pertunjukan ini Jengkol Jangan Jengkel.

Kerensa Dewantoro adalah penulis naskah, sutradara sekaligus pemain dalam pertunjukan ini.  Perempuan asal Australia ini sudah 30 tahun menetap di Indonesia. Fasih berbhasa Indonesia dan sangat ramah. Sebelum pertunjukan atau sesudah pertunjukan, ia terlihat selalu duduk, berbincang dengan siapa saja yang datang dalam acara tersebut. Perempuan yang juga dikenal dengan Darah Rouge ini menjadi fenomenal dan disenangi banyak orang.

Dikatakan Kerensa, ia turut berpartisipasi pada World Conference on Islamic Thought and Civilization, Juni 2018. Pada konferensi tersebut, isu yangmengemuka adalah kesalahan persepsi umat Islam, untuk hanya berfokus pada atribut. Kerensa yang tinggal di Indonesia dan juga merasakan keresahan itu, kemudian mulai mengeksplorasi permasalahan kebencian yang ditanamkan melalui ketidaktahuan serta terbentuknya stereotype yang mempengaruhi cara pandang terhadap orang lain. Hingga jadilah naskah “Jengkol”, yang awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris. Naskah ini mengambil sudut pandang pentingnya pendidikan.

Dalam penelitian yang ia lakukan sebelumnya sebelum mengusung naskah ini ke atas panggung, Kerensa menemukan banyak hal tabu yang dianggap tidak baik dibicarakan di tengah masyarakat, bahkan bisa menimbulkan konflik. Hal-hal tersebut antara lain, jangan membicarakan agama lain, karena itu adalah isu yang sensitif. Bisa-bisa menimbulkan kesadaran akan perbedaan. Perbedaan dianggap sebagai hal negatif dan harus dijaga agar jangan sampai muncul ke permukaan sebagai pemicu pertentangan.  Jangan menilai orang lain, karena kecenderungan membicarakan orang lain dan karakter yang berbeda adalah pergunjingan mengarah kepada gosip.Dalam ajaran agama, gosip itu dosa. Padahal sudut pandang dalam menilai orang lain bisa diambil sebagai observasi karakter. Dari pemikiran ini, ditemukan sebuah kesimpulan, bahwa, perbedaan itu menakutkan, perbedaan itu mengancam. Toleransilah yang akan menngurainya. Dan, dalam pertunjukan ini memperlihatkan, bahwa toleransi itu indah.

Baca Juga:  Kim Jong-un Lockdown Seluruh Korut

Toleransi nilai ini ditekankan melalui tokoh pria beriman yang dengan dialog ia mampu menyampaikan karakter keterbukaan pikiran melawan praduga. Sementara empati dan keingintahuan tokoh si pirang membawa pengaruh empati, bahwa semua orang berkemungkinan mencapai empati dengan keingintahuan, kemampuanmendengar, dan kepekaan. Sementara antipati negative key message ini ada pada tokoh waiter, yang merepresentasikan bahwa perasaan ini kerap muncul pada seseorang dalam interaksi sosial. Perspektif keilmuantokoh ilmuwan kognitif memberikan perspektif bahwa ilmu pengetahuan menjadi sarana untuk menelaah bias dalam cerita.

‘’Indonesia itu unik. Sangat beragam dan toleransi yang hebat. 30 tahun saya di Indonesia, saya melihat dan merasakan ini. Maka, saya lahirkan dalam naskah dan pertunjukan,’’ katanya.

Kerensa Dewantoro adalah pendiri Darah Rouge dan fasilitator di Darahrouge Drama Club Kids. Dia adalah pemain teater, penulis naskah, dan sutradara. Pernah mewakili Indonesia di beberapa acara di luar negri, seperti World Conference on Islamic Thought and Civilization, Juni2018. Kerensa juga menguasai beberapa macam tarian tradisonal. Ia hanyamembuat pertunjukan teater buat penonton Indonesia.Karya terakhirnya adalah- Blue IsThe Colour of Love (penulis naskah & pemain, 2018), Voices of Children for Children Who Flee (sutradara, 2018), Dangerously Beautiful (pemain/penata artistik, 2019)

Santo Klingon yang berpera sebagai witer juga seorag sutradara dan Pemain, performance artist, aktivis dan pendidik di bidang seni. Kebanyakan karyanya bicara tentang opresi, pelanggaran HAM dan permasalahan masyarakat adat. Saat ini aktif mengajar dan mendampingi anak-anak dengan autism di sebuah yayasan.Karya terakhinya berjudul Tuhan Masih Sayang Padaku (pemain, 2018), Cinta (performance art, 2018), Dangerously Beautiful (sutradara, 2019).

Nursan Guntur yang berperan sebagai lelaki beriman adalah seorang pekerja seni yang sudah mendirikan Teater Tukang dan Teater Sarung. Ia sempat bekerjasama dengan LEMBAGA ETNIK KHSTULISTIWA INDONESIA.(CULTURAL DEVELOPMENT) sebagai aktor dalam Karya Ida Bagus Sudiasa koreografer THE BODY RUBBISH THE BODY TPST Bantar Gebang Bekasi (2009). Juara Favorit Festival Baca Puisi Islam Prof.Dr.HAMKA ke 3 tahun (2001). Juara 1 Cipta Baca Puisi HARI PANGAN SEDUNIA KE 23 (2003). Juara 3 lomba monolog INSTITUT KESENIAN JAKARTA (IKJ) (2010). Lima pemenang terbaik FESTIVAL MONOLOG RUANG PUBLIK (2012).

Sedangkan Maria Natasha (production manager/pemain) adalah seorang pemain teater sekaligus penulis review pertunjukan. Mengasuh jurnal review yang mengkhususkan konten pada teater. Karya terakhirnya berjudul Cinta (performance art, 2018), Dangerously Beautiful (manager produksi, 2019). ‘’Semoga persembahan kami menghibur masyarakat dan penonton Indonesia dan mancanegara, khususnya masyarakat Riau,’’ sambung Kerensa.*

 

Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari