PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Sejumlah masyarakat sipil yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) menyesalkan buruknya keterbukaan informasi soal pembahasan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja. Termasuk juga hak akses masyarakat atas informasi publik yang utuh, cepat dan akurat.
Salah seorang koordinator FOINI Taufik mengatakan Presiden RI dan Pimpinan DPR RI harus bertanggung jawab atas kondisi yang disebabkan oleh buruknya praktik keterbukaan informasi publik yang mereka lakukan tersebut.
Berbagai disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan tuduhan hoaks sebagaimana Presiden RI sampaikan adalah salah satu dampak dari buruknya keterbukaan informasi mengenai proses pembahasan UU Cipta Kerja.
“Padahal paripurna untuk memutuskan UU Cipta Kerja sudah digelar beberapa hari lalu. Pemerintah dan DPR RI seharusnya dapat melihat dan memahami bahwa UU Cipta Kerja tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak, terlebih menyangkut banyak sektor kehidupan, bukan hanya sekedar memenuhi target mereka sebagai penyusun UU,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakannya, berdasarkan temuan FOINI, terdapat 58 kali rapat pembahasan UU Cipta Kerja dan ada enam kali rapat DPR RI dan pemerintah yang tidak terpublikasikan kepada publik mengenai jalannya pembahasan UU Cipta Kerja.
Padahal, sebelumnya Ketua Baleg DPR RI Supratman Ali Atgas mengatakan terdapat 64 kali rapat yang dijalankan oleh DPR RI yang terdiri dari dua kali rapat kerja, 56 kali rapat panja dan sisanya enam kali rapat dengan tim perumus.
“Sangat disayangkan, negara melalui aparatnya justru melakukan tindakan-tindakan represif terhadap warga atas tuduhan hoaks. Padahal semua ini terjadi karena kontribusi dari kelalaian Pemerintah dan DPR RI sendiri dalam memenuhi hak atas informasi bagi publik secara tepat,” sebutnya.
Laporan: Soleh Saputra (Pekanbaru)
Editor: Afiat Ananda
PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Sejumlah masyarakat sipil yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) menyesalkan buruknya keterbukaan informasi soal pembahasan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja. Termasuk juga hak akses masyarakat atas informasi publik yang utuh, cepat dan akurat.
Salah seorang koordinator FOINI Taufik mengatakan Presiden RI dan Pimpinan DPR RI harus bertanggung jawab atas kondisi yang disebabkan oleh buruknya praktik keterbukaan informasi publik yang mereka lakukan tersebut.
- Advertisement -
Berbagai disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan tuduhan hoaks sebagaimana Presiden RI sampaikan adalah salah satu dampak dari buruknya keterbukaan informasi mengenai proses pembahasan UU Cipta Kerja.
“Padahal paripurna untuk memutuskan UU Cipta Kerja sudah digelar beberapa hari lalu. Pemerintah dan DPR RI seharusnya dapat melihat dan memahami bahwa UU Cipta Kerja tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak, terlebih menyangkut banyak sektor kehidupan, bukan hanya sekedar memenuhi target mereka sebagai penyusun UU,” ujarnya.
- Advertisement -
Lebih lanjut dikatakannya, berdasarkan temuan FOINI, terdapat 58 kali rapat pembahasan UU Cipta Kerja dan ada enam kali rapat DPR RI dan pemerintah yang tidak terpublikasikan kepada publik mengenai jalannya pembahasan UU Cipta Kerja.
Padahal, sebelumnya Ketua Baleg DPR RI Supratman Ali Atgas mengatakan terdapat 64 kali rapat yang dijalankan oleh DPR RI yang terdiri dari dua kali rapat kerja, 56 kali rapat panja dan sisanya enam kali rapat dengan tim perumus.
“Sangat disayangkan, negara melalui aparatnya justru melakukan tindakan-tindakan represif terhadap warga atas tuduhan hoaks. Padahal semua ini terjadi karena kontribusi dari kelalaian Pemerintah dan DPR RI sendiri dalam memenuhi hak atas informasi bagi publik secara tepat,” sebutnya.
Laporan: Soleh Saputra (Pekanbaru)
Editor: Afiat Ananda