Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Kampus Perlu Permendikbud untuk Cegah Kekerasan Seksual

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK mengatakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi merupakan langkah maju mendorong kampus aktif menangani kekerasan seksual.

Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK, Khotimun Sutanti, mengatakan, aturan yang dikeluarkan Mendikbudristek Nadiem Makarim tersebut perlu didukung oleh semua pihak.

"Asosiasi LBH APIK telah mencermati Permendikbud No.30 tahun 2021 dan memandang bahwa Permendikbud tersebut merupakan salah satu langkah maju untuk mendorong kampus yang aktif mencegah dan menangani kekerasan seksual sehingga perlu didukung," kata Khotimun di Jakarta, Senin (8/11/2021).

Khotimun menyatakan banyak kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan tinggi tak dilaporkan karena tidak ada mekanisme pengaduan yang tersedia. Pihak kampus selama ini juga tak bisa menjamin bahwa laporan kasus kekerasan seksual bakal direspons.

Baca Juga:  LBP2AR Berikan Piagam Penghargaan kepada Polsek Bukit Raya

Selain itu, kata Khotimun, korban juga kerap merasa khawatir karena rahasianya tak terjamin, ada stigmatisasi yang menyudutkan korban, serta cenderung ada tekanan dari pelaku yang memiliki kuasa lebih di perguruan tinggi.

"Oleh karena itu, kebutuhan mekanisme untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus sangat dibutuhkan sebagai bagian akuntabilitas perguruan tinggi dalam membangun kampus yang tidak mentoleransi adanya kekerasan seksual di lingkungannya," ujar Khotimun.

Meski demikian, Khotimun menyampaikan LBH APIK memiliki rekomendasi atas Permendikbud Nomor 30 tersebut.

LBH APIK memandang pemerintah perlu menyediakan panduan teknis yang lebih detail sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman atau miskonsepsi dalam mengimplementasikan aturan tersebut.

"Salah satunya masih kurang penjelasan mengenai peran kampus terkait pendampingan, perlindungan, sanksi, pemulihan, termasuk kewajiban kampus menyediakan rehabilitasi, layanan kesehatan, dan bantuan hukum," katanya.

Menurut LBH APIK, kasus kekerasan seksual selama ini seringkali terjadi karena ada otoritas lebih tinggi sehingga menekan korban. Dalam lingkungan kampus, otoritas yang sering digunakan di antaranya memberikan nilai kuliah, atau akan dihambat dalam proses penyelesaian tugas akhir, sehingga korban tidak berdaya menolak.

Baca Juga:  KBR Binaan BPDASHL Indragiri Rokan Bagikan 20 Ribu Bibit Gratis

Pemerintah diminta melakukan sosialisasi lebih detail pada muatan poin-poin yang berpotensi menimbulkan multitafsir di masyarakat, terutama mengenai unsur relasi kuasa.

Sebelumnya Permendikbud Nomor 30/2021 mendapat kritik dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah karena dinilai melegalisasi seks bebas di lingkungan kampus.

Pernyataan tersebut langsung ditepis oleh Kemendikbudristek. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam, membantah telah menerbitkan aturan yang melegalkan perzinaan di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia.

"Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinahan. Tajuk di awal Permendikbudristek ini adalah 'pencegahan', bukan 'pelegalan'," kata Nizam.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK mengatakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi merupakan langkah maju mendorong kampus aktif menangani kekerasan seksual.

Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK, Khotimun Sutanti, mengatakan, aturan yang dikeluarkan Mendikbudristek Nadiem Makarim tersebut perlu didukung oleh semua pihak.

- Advertisement -

"Asosiasi LBH APIK telah mencermati Permendikbud No.30 tahun 2021 dan memandang bahwa Permendikbud tersebut merupakan salah satu langkah maju untuk mendorong kampus yang aktif mencegah dan menangani kekerasan seksual sehingga perlu didukung," kata Khotimun di Jakarta, Senin (8/11/2021).

Khotimun menyatakan banyak kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan tinggi tak dilaporkan karena tidak ada mekanisme pengaduan yang tersedia. Pihak kampus selama ini juga tak bisa menjamin bahwa laporan kasus kekerasan seksual bakal direspons.

- Advertisement -
Baca Juga:  KBR Binaan BPDASHL Indragiri Rokan Bagikan 20 Ribu Bibit Gratis

Selain itu, kata Khotimun, korban juga kerap merasa khawatir karena rahasianya tak terjamin, ada stigmatisasi yang menyudutkan korban, serta cenderung ada tekanan dari pelaku yang memiliki kuasa lebih di perguruan tinggi.

"Oleh karena itu, kebutuhan mekanisme untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus sangat dibutuhkan sebagai bagian akuntabilitas perguruan tinggi dalam membangun kampus yang tidak mentoleransi adanya kekerasan seksual di lingkungannya," ujar Khotimun.

Meski demikian, Khotimun menyampaikan LBH APIK memiliki rekomendasi atas Permendikbud Nomor 30 tersebut.

LBH APIK memandang pemerintah perlu menyediakan panduan teknis yang lebih detail sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman atau miskonsepsi dalam mengimplementasikan aturan tersebut.

"Salah satunya masih kurang penjelasan mengenai peran kampus terkait pendampingan, perlindungan, sanksi, pemulihan, termasuk kewajiban kampus menyediakan rehabilitasi, layanan kesehatan, dan bantuan hukum," katanya.

Menurut LBH APIK, kasus kekerasan seksual selama ini seringkali terjadi karena ada otoritas lebih tinggi sehingga menekan korban. Dalam lingkungan kampus, otoritas yang sering digunakan di antaranya memberikan nilai kuliah, atau akan dihambat dalam proses penyelesaian tugas akhir, sehingga korban tidak berdaya menolak.

Baca Juga:  3 Lagi Ditemukan Tewas dari Kebakaran Tangki PT SDO di Dumai

Pemerintah diminta melakukan sosialisasi lebih detail pada muatan poin-poin yang berpotensi menimbulkan multitafsir di masyarakat, terutama mengenai unsur relasi kuasa.

Sebelumnya Permendikbud Nomor 30/2021 mendapat kritik dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah karena dinilai melegalisasi seks bebas di lingkungan kampus.

Pernyataan tersebut langsung ditepis oleh Kemendikbudristek. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam, membantah telah menerbitkan aturan yang melegalkan perzinaan di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia.

"Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinahan. Tajuk di awal Permendikbudristek ini adalah 'pencegahan', bukan 'pelegalan'," kata Nizam.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari