Jakarta (RIAUPOS.CO) – Langkah pemerintah menyelenggarakan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih menuai kontra dari berbagai pihak. Pengamat Ekonomi menilai bahwa kebijakan tersebut cenderung dirilis di timing yang tidak pas mengingat saat ini masyarakat dan pelaku usaha tengah berjuang dari pandemi corona. Program Tapera disebut lebih tepat dikeluarkan jika ekonomi Indonesia sudah menunjukkan masa recovery.
Ekonom Insitute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adhi Negara menyebut bahwa penerbitan program Tapera di tengah pandemi corona ini akan memberikan dampak psikologis yang negatif bagi pekerja dan pemberi kerja. ”Apa yang membuatnya janggal adalah karena penerapannya justru saat krisis ekonomi dan pandemi. Padahal saat ini buruh banyak yang dipotong upah, dirumahkan bahkan di PHK,” ujar Bhima, saat dihubungi Sabtu (6/6).
Selain itu menurut Bhima, substansi jaminan pembayaran perumahan seperti yang menjadi misi Tapera, tidak semudah yang dibayangkan. Alasan utamanya adalah permasalahan backlog dimana suplai hunian tidak akan sebanding dengan jumlah pekerja yang membutuhkan tempat tinggal.
”Kemudian soal syarat bisa saja dipersulit sehingga tidak semua pekerja bisa memiliki rumah. Bagi pekerja yang sudah punya rumah, uangnya akan dipupuk dan bisa diambil saat masa pensiun. Ini kan sama aja dengan JHT di BPJS ketenagakerjaan. Jadi ada resiko tumpang tindih dalam pengelolaan iuran Tapera,” bebernya.
Di sisi lain, keluarnya program Tapera dalam kondisi sekarang dinilai Bhima juga berpotensi menuai pertanyaan. Salah satunya adalah kemungkinan dana kelolaan Tapera untuk dialihkan pada utang. Bhima menyebut demikian karena di pasal 27 dalam PP Tapera disebut bahwa dana bisa diinvestasikan ke surat utang pemerintah.
”Secara tidak langsung pekerja dan pemberi kerja diminta iuran untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Ini dilakukan karena pemerintah sedang cari sumber pembiayaan baru di tengah pelebaran defisit anggaran,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan bahwa tapera bisa menjadi program yang bagus, hanya saja penerapannya harus jelas. ”Karena saat ini masyarakat sudah banyak mendapat potongan gaji untuk tabungan. REI sangat paham ini akan membebani perusahaan. Maka itu harus duduk bersama, kita (pengembang, red), rekan-rekan Kadin, Apindo, dan juga pemerintah. Untuk bahas teknis iuran seperti apa dan lain-lain,” ujarnya.
Turut menambahkan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja mengakui bahwa Tapera kurang efektif jika dijadikan tagihan wajib, terlebih untuk pekerja sudah banyak yang mempunyai rumah.
Menurut dia, pihaknya pernah mengusulkan agar potongannya hanya 1 persen dari upah dan ditanggung penuh oleh karyawan dari seluruh lini usaha. ”Untuk skema itu, menurutnya, bisa lebih efektif karena sifatnya gotong royong dan jumlahnya bisa besar, dibandingkan dengan potongan 3 persen untuk karyawan dengan upah minimum,” ujarnya.
Di lain pihak, Deputi Komisioner Bidang Pengerahan Dana Tapera Eko Ariantoro mengatakan bahwa Badan Pengelolaan Tapera masih akan fokus pada pembahasan aturan turunan dari PP 25 tahun 2020 yang diteken presiden beberapa waktu lalu.
Dalam aturan tersebut akan banyak diatur detil soal mekanisme pengelolaan dana peserta, serta manfaat yang bisa diterima. Terutama manfaat yang ditawarkan pada peserta non-MBR yakni pemupukan dan tabungan. Serta berbagai insentif di bidang perumahan “Detilnya masih kami rapatkan di internal,” jelas Eko, kemarin (6/6).
Menurut Eko, yang tengah menjadi fokus saat ini BP Tapera adalah likuidasi dana program Bapertarum-PNS yang akan dialihkan ke Tapera. “Ini proses yang penting sebelum dana tersebut menjadi dana kelolaan dari BP Tapera,” jelas Eko.(agf/tau/jpg)