JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan, penerapan Demokrasi Pancasila yang dibangun dari akar tradisi dan nilai luhur bangsa Indonesia berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong, belum sepenuhnya terealisasi.
Terlihat Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), yang selama kurun waktu antara tahun 2009 hingga 2020 telah mengalami penurunan 4 kali pada periode tahun 2010, 2012, 2015, dan 2016.
Laporan Indeks Demokrasi 2020 oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) juga mencatat turunnya IDI, dari skor 6.48 di tahun 2019 menjadi 6.3 di tahun 2020. Menempatkan Indonesia di peringkat ke-64 dari 167 negara dunia. Skor 6.3 merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
"Bahkan di kawasan Asia Tenggara, IDI berada di peringkat keempat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina," ujar Bamsoet dalam acara Focus Group Discussion (FGD) "Masa Depan Demokrasi Pancasila, Urgensi Revisi UU ITE", di Komplek MPR, Jakarta, Kamis (6/5/2021).
FGD yang diselenggarakan MPR RI bersama Brain Society Center (BS Center) ini turut mengundang sejumlah tokoh sebagai narasumber, antara lain anggota DPD RI Prof Jimly Ashiddiqie, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Slamet Uliandi, serta Dewan Pakar BS Center Dr Alfan Alfian.
Hadir juga para pembahas lainnya, antara lain Sekjen Partai Persatuan Pembangunan Arwani Thomafi, Anggota Komisi I DPR RI Farah Puteri Nahlia, Direktur LP3ES Dr Fajar Nursahid, dan Ketua Umum PB HMI Reihan Ariatama.
Dalam acara itu Jimly Ashiddiqie memaparkan, kemunduran demokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara lainnya. Gejalanya dipengaruhi berbagai faktor. Antara lain kekuatan Cina yang mendorong kebijakan mengutamakan ekonomi daripada demokrasi, munculnya gejala kekerasan keagamaan, rasisme, dan diskriminasi politik berdasarkan SARA, berkembangnya praktik perpanjangan masa jabatan pemerintahan maupun praktik demokrasi tanpa pergantian kekuasaan serta adanya praktik benturan kepentingan antara bisnis dan politik.
"Ditambah menguatnya gejala deinstitusionalisasi politik yang tidak sejalan dengan upaya pembangunan Demokrasi Pancasila. Terlihat dari maraknya buzzer, hingga aktivitas pejabat publik di media sosial yang justru tidak bisa membedakan mana ranah privat dan ranah jabatan. Sehingga melahirkan komunikasi publik yang justru tidak membantu proses pelembagaan sistem demokrasi yang berkualitas dan berintegritas," papar Jimly.
Sementara itu Dr Alfan Alfian juga menyoroti pelaksanaan kebebasan berpendapat yang mengalami berbagai kendala, sehingga menyebabkan penurunan kualitas demokrasi Indonesia. Tidak heran jika publik ramai menyuarakan revisi UU ITE.
"Indonesia memiliki potensi besar menjadi negara kampiun demokrasi, menjadi contoh bagi berbagai negara dunia lainnya. Kita masih lebih baik dibanding Amerika Serikat yang masih sibuk menghadapi politik identitas. Sebagai negara yang terdiri dari beragam suku, agama, ras, dan golongan, kita juga sukses memadukan demokrasi dengan kemajemukan," papar Alfan Alfian.
Para narasumber juga menyoroti hasil riset Microsoft dalam Digital Civility Index 2021, yang mengindikasikan tingkat kesopanan warganet Indonesia kian rendah. Berada di peringkat ke-29 dari 32 negara.
Faktor yang memperburuk adalah berita bohong (hoax) dan penipuan di internet (47 persen), ujaran kebencian (27 persen), serta diskriminasi (13 persen).
"Laporan Digital Report 2021 dari Hootsuite dan We Are Social memperkirakan pengguna internet di Indonesia pada awal tahun 2021 mencapai 202,6 juta jiwa. Jika tidak diikuti dengan etika yang baik dan bijak dalam bermedia sosial, semakin menambah buram potret Demokrasi Pancasila. Karenanya, jangan sampai ada lagi interaksi di media sosial berujung pada saling lapor ke polisi dengan memanfaatkan pasal-pasal karet yang ada di UU ITE," kata Bamsoet mengakhiri.
Laporan: Yusnir (Jakarta)
Editor: Hary B Koriun