Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Lockdown atau Lauk Daun?

Oleh: Murparsaulian, S.Pd, M.A.

AKHIR-akhir ini, perhatian dunia disita oleh kehadiran wabah penyakit yang disebabkan oleh virus corona (Covid 19). Virus ini telah menjadi pandemi global. Banyak orang panik. Tatanan ekonomi dan kehidupan sosial berubah, bahkan ada yang porak poranda. Namun di sini, kita tidak akan membicarakan keberadaan virus ini dan dampaknya secara rinci. Banyak informasi bisa didapatkan dari berbagai sumber, baik media mainstream ataupun media sosial. Lagi pula, kata psikolog, terus-menerus memenuhi pikiran dengan informasi tentang wabah corona ini, yang sebagian besar sifatnya negatif, tidak selalu sehat untuk jiwa.

Mengisi waktu dengan hal-hal positif lebih dianjurkan, seperti lebih mendekatkan diri pada sang Khalik, meningkatkan keakraban di dalam keluarga dan melakukan hal-hal bermanfaat lainnya. Tulisan ini ingin menelisik ‘sisi kepanikan‘ dari segi bahasa yang mencuat setelah virus ini merajalela. Dalam pembicaraan telepon dengan Mak Cik saya di kampung, beliau menanyakan apa arti kata stay at home, sosial distancing, physical distancing, lockdown, outbreak, dan istilah lain yang kini diakrabkan di telinga kita di tengah wabah corona.

Semuanya adalah bahasa asing. Awalnya kebanyakan masyarakat Indonesia mungkin tidak langsung mengerti maksud istilah-istilah  tersebut, namun karena dibahas terus-menerus di berbagai saluran informasi, lama kelamaan masyarakat paham juga maksudnya. Namun, boleh jadi ada ‘masa tunda‘ antara saat pesan-pesan tersebut disampaikan melalui pidato-pidato resmi atau di media sosial pertama kali dengan saat masyarakat memahami maknanya.

Mari kita runut secara perlahan bagaimana media online memberitakan imbauan-imbauan supaya masyarakat berdiam diri ‘di rumah saja‘ baik dari pemerintah maupun pihak lain sejak awal wabah corona menjadi berita dunia. Di awal kasus corona mulai ditemukan di Indonesia, istilah “Stay at Home“ menjadi begitu populer. Berdasarkan penelurusan Tekno Liputan 6, tagar ‘‘#StayatHome‘‘ bahkan menjadi menempati puncak trending topic Twitter Indonesia pada pertengahan Maret 2020 dengan lebih 18 ribu cuitan.

Baca Juga:  Ular

Belakangan, istilah pengganti ‘stay at home‘ dalam bahasa Indonesia mulai muncul di media dengan menyebut ‘di rumah saja.‘ Saya sepakat dengan istilah baru yang berbahasa Indonesia ini. Pilihan kata dalam bahasa yang dituturkan sehari-hari, boleh jadi lebih manjur saat digunakan menyampaikan informasi darurat yang semestinya langsung dipahami saat itu juga. Saat istilah stay at home masih ‘beredar‘ di udara, muncul pula istilah-istilah lain seperti social distancing, physical distancing, lockdown, outbreak, dan lainnya. Mungkin mereka yang tadinya bingung menjadi makin bingung.

Di sisi lain, istilah-istilah yang masih berhubungan dengan wabah corona ini, dalam bahasa Indonesia telah beredar dengan baik, khususnya dalam dunia kesehatan. Sebut saja misalnya istilah ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pemantauan), dan OTG (orang tanpa gejala). Terlepas apakah istilah-istilah tersebut sudah dibuat sesederhana mungkin atau belum, dari sisi makna kata, penggunaan kata-kata dalam bahasa Indonesia menimbulkan efek lebih mudah dimengerti seketika, oleh mayoritas orang yang berbahasa Indonesia. Penggunaan istilah-istilah berbahasa Indonesia beserta singkatan-singkatannya tidak kalah manjur dibanding istilah-istilah berbahasa asing.  

Namun sesungguhnya ada minimal tiga alasan atas kecenderungan menggunakan istilah-istilah dalam bahasa asing dalam konteks komunikasi wabah corona di Indonesia bukan tanpa alasan kuat. Pertama, istilah ‘stay at home‘, ‘lockdown‘, dan sebagainya telah terlebih dahulu dipakai secara luas di luar negeri. Oleh sebab itu, pada saat orang di Indonesia ingin menggambarkan kondisi serupa, mereka dengan mudah menggunakan istilah yang ‘siap pakai.‘ Kedua, istilah asing memang memiliki kekuatan khas.

Dalam dunia periklanan misalnya, frasa atau slogan asing sengaja digunakan untuk menarik perhatian orang. Ketiga, istilah asing kadang-kadang menawarkan pilihan yang lebih sederhana namun tidak kehilangan makna. Istilah ‘lockdown‘ misalnya, bagi saya sangat ringkas, satu kata namun mengusung makna yang padat tentang seriusnya melakukan penutupan suatu wilayah. Bandingkan dengan istilah PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang terdiri dari empat kata, namun sebagian orang menganggapnya setara dengan physical distancing atau social distancing yang masing-masing hanya dua kata, terlepas apakah ketiganya bisa disamakan maknanya atau tidak.

Baca Juga:  Dua Unit Rumah Bertingkat di Tandun Ludes Terbakar, Kerugian Ditaksir Rp400 Juta

Pemilihan bahasa yang dibahas di atas tentu saja tidak kaku. Kreativitas manusia Indonesia dalam berbahasa telah terbukti unggul. Istilah-istilah asing tidak jarang diindonesiakan dengan cara yang amat cantik. Ambil satu contoh, ATM (automatic teller machine) tetap disebut ATM di Indonesia. Namun, ATM Indonesia singkatannya adalah anjungan tunai mandiri. Kreativitas seperti itu berlaku juga dalam situasi wabah corona saat ini. Lockdown telah diplesetkan secara cantik sekali dengan ‘lauk daun‘.

Bunyi keduanya hampir sama. Akan tetapi, lauk daun mengusung pesan kritik sosial yang padat. Maksudnya, jika pemerintah memutuskan ‘lockdown‘, apakah pemerintah juga akan menjamin kebutuhan pokok saat masyarakat tak bisa bekerja karena disuruh berdiam diri di rumah. Lalu makan dengan lauk apa? Apakah akan makan lauk daun saja? Dari bahasa, istilah, kemudian menjadi slogan sosial bahkan mungkin politik.

Dalam teori dasar komunikasi, hal terpenting dalam berkomunikasi adalah pesan yang ingin disampaikan oleh penyampai informasi (komunikator), dapat diterima dengan baik oleh penerima informasi (komunikan). Dalam suasana genting, atau saat komunikator ingin menekankan betapa seriusnya pesan yang ingin disampaikan, pilihan istilah menjadi amat penting. Namun demikian, bahasa Indonesia mestinya mendapat tempat pertama untuk dipilih. Dengan menggunakan bahasa Indonesia, pesan yang ingin disampaikan berpeluang lebih besar untuk dimengerti seketika. Kita tidak kekurangan kosakata. Mari bangga menggunakan bahasa negeri sendiri. Semoga virus ‘‘mahkota’’ ini segera lenyap di muka bumi atau kehilangan daya rusaknya. Dan sekali lagi, mari bangga menggunakan bahasa Indonesia.***

*Menulis cerpen, puisi, esai budaya dan penikmat seni. Saat ini bermukim sementara di Belanda.

Oleh: Murparsaulian, S.Pd, M.A.

AKHIR-akhir ini, perhatian dunia disita oleh kehadiran wabah penyakit yang disebabkan oleh virus corona (Covid 19). Virus ini telah menjadi pandemi global. Banyak orang panik. Tatanan ekonomi dan kehidupan sosial berubah, bahkan ada yang porak poranda. Namun di sini, kita tidak akan membicarakan keberadaan virus ini dan dampaknya secara rinci. Banyak informasi bisa didapatkan dari berbagai sumber, baik media mainstream ataupun media sosial. Lagi pula, kata psikolog, terus-menerus memenuhi pikiran dengan informasi tentang wabah corona ini, yang sebagian besar sifatnya negatif, tidak selalu sehat untuk jiwa.

- Advertisement -

Mengisi waktu dengan hal-hal positif lebih dianjurkan, seperti lebih mendekatkan diri pada sang Khalik, meningkatkan keakraban di dalam keluarga dan melakukan hal-hal bermanfaat lainnya. Tulisan ini ingin menelisik ‘sisi kepanikan‘ dari segi bahasa yang mencuat setelah virus ini merajalela. Dalam pembicaraan telepon dengan Mak Cik saya di kampung, beliau menanyakan apa arti kata stay at home, sosial distancing, physical distancing, lockdown, outbreak, dan istilah lain yang kini diakrabkan di telinga kita di tengah wabah corona.

Semuanya adalah bahasa asing. Awalnya kebanyakan masyarakat Indonesia mungkin tidak langsung mengerti maksud istilah-istilah  tersebut, namun karena dibahas terus-menerus di berbagai saluran informasi, lama kelamaan masyarakat paham juga maksudnya. Namun, boleh jadi ada ‘masa tunda‘ antara saat pesan-pesan tersebut disampaikan melalui pidato-pidato resmi atau di media sosial pertama kali dengan saat masyarakat memahami maknanya.

- Advertisement -

Mari kita runut secara perlahan bagaimana media online memberitakan imbauan-imbauan supaya masyarakat berdiam diri ‘di rumah saja‘ baik dari pemerintah maupun pihak lain sejak awal wabah corona menjadi berita dunia. Di awal kasus corona mulai ditemukan di Indonesia, istilah “Stay at Home“ menjadi begitu populer. Berdasarkan penelurusan Tekno Liputan 6, tagar ‘‘#StayatHome‘‘ bahkan menjadi menempati puncak trending topic Twitter Indonesia pada pertengahan Maret 2020 dengan lebih 18 ribu cuitan.

Baca Juga:  Tewasnya Brigadir J Masih Misteri, Komisi III DPR Sebut Nama Kapolri

Belakangan, istilah pengganti ‘stay at home‘ dalam bahasa Indonesia mulai muncul di media dengan menyebut ‘di rumah saja.‘ Saya sepakat dengan istilah baru yang berbahasa Indonesia ini. Pilihan kata dalam bahasa yang dituturkan sehari-hari, boleh jadi lebih manjur saat digunakan menyampaikan informasi darurat yang semestinya langsung dipahami saat itu juga. Saat istilah stay at home masih ‘beredar‘ di udara, muncul pula istilah-istilah lain seperti social distancing, physical distancing, lockdown, outbreak, dan lainnya. Mungkin mereka yang tadinya bingung menjadi makin bingung.

Di sisi lain, istilah-istilah yang masih berhubungan dengan wabah corona ini, dalam bahasa Indonesia telah beredar dengan baik, khususnya dalam dunia kesehatan. Sebut saja misalnya istilah ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pemantauan), dan OTG (orang tanpa gejala). Terlepas apakah istilah-istilah tersebut sudah dibuat sesederhana mungkin atau belum, dari sisi makna kata, penggunaan kata-kata dalam bahasa Indonesia menimbulkan efek lebih mudah dimengerti seketika, oleh mayoritas orang yang berbahasa Indonesia. Penggunaan istilah-istilah berbahasa Indonesia beserta singkatan-singkatannya tidak kalah manjur dibanding istilah-istilah berbahasa asing.  

Namun sesungguhnya ada minimal tiga alasan atas kecenderungan menggunakan istilah-istilah dalam bahasa asing dalam konteks komunikasi wabah corona di Indonesia bukan tanpa alasan kuat. Pertama, istilah ‘stay at home‘, ‘lockdown‘, dan sebagainya telah terlebih dahulu dipakai secara luas di luar negeri. Oleh sebab itu, pada saat orang di Indonesia ingin menggambarkan kondisi serupa, mereka dengan mudah menggunakan istilah yang ‘siap pakai.‘ Kedua, istilah asing memang memiliki kekuatan khas.

Dalam dunia periklanan misalnya, frasa atau slogan asing sengaja digunakan untuk menarik perhatian orang. Ketiga, istilah asing kadang-kadang menawarkan pilihan yang lebih sederhana namun tidak kehilangan makna. Istilah ‘lockdown‘ misalnya, bagi saya sangat ringkas, satu kata namun mengusung makna yang padat tentang seriusnya melakukan penutupan suatu wilayah. Bandingkan dengan istilah PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang terdiri dari empat kata, namun sebagian orang menganggapnya setara dengan physical distancing atau social distancing yang masing-masing hanya dua kata, terlepas apakah ketiganya bisa disamakan maknanya atau tidak.

Baca Juga:  Dua Unit Rumah Bertingkat di Tandun Ludes Terbakar, Kerugian Ditaksir Rp400 Juta

Pemilihan bahasa yang dibahas di atas tentu saja tidak kaku. Kreativitas manusia Indonesia dalam berbahasa telah terbukti unggul. Istilah-istilah asing tidak jarang diindonesiakan dengan cara yang amat cantik. Ambil satu contoh, ATM (automatic teller machine) tetap disebut ATM di Indonesia. Namun, ATM Indonesia singkatannya adalah anjungan tunai mandiri. Kreativitas seperti itu berlaku juga dalam situasi wabah corona saat ini. Lockdown telah diplesetkan secara cantik sekali dengan ‘lauk daun‘.

Bunyi keduanya hampir sama. Akan tetapi, lauk daun mengusung pesan kritik sosial yang padat. Maksudnya, jika pemerintah memutuskan ‘lockdown‘, apakah pemerintah juga akan menjamin kebutuhan pokok saat masyarakat tak bisa bekerja karena disuruh berdiam diri di rumah. Lalu makan dengan lauk apa? Apakah akan makan lauk daun saja? Dari bahasa, istilah, kemudian menjadi slogan sosial bahkan mungkin politik.

Dalam teori dasar komunikasi, hal terpenting dalam berkomunikasi adalah pesan yang ingin disampaikan oleh penyampai informasi (komunikator), dapat diterima dengan baik oleh penerima informasi (komunikan). Dalam suasana genting, atau saat komunikator ingin menekankan betapa seriusnya pesan yang ingin disampaikan, pilihan istilah menjadi amat penting. Namun demikian, bahasa Indonesia mestinya mendapat tempat pertama untuk dipilih. Dengan menggunakan bahasa Indonesia, pesan yang ingin disampaikan berpeluang lebih besar untuk dimengerti seketika. Kita tidak kekurangan kosakata. Mari bangga menggunakan bahasa negeri sendiri. Semoga virus ‘‘mahkota’’ ini segera lenyap di muka bumi atau kehilangan daya rusaknya. Dan sekali lagi, mari bangga menggunakan bahasa Indonesia.***

*Menulis cerpen, puisi, esai budaya dan penikmat seni. Saat ini bermukim sementara di Belanda.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari