Minggu, 7 Juli 2024

Omnibus Law Justru akan Buat Investor Berpersepsi Negatif ke Indonesia

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di klaster ketenagakerjaan masih terus mendapat sorotan. Pengamat Indef Bhima Yudhistira memandang bahwa pengurangan hak pesangon, seperti yang tertera pada UU Omnibus Law Cipta Kerja, jelas akan akan menurunkan daya beli para buruh, khususnya mereka yang sangat rentan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Padahal buruh membutuhkan pesangon yang adil untuk mempertahankan biaya hidup di saat sulitnya mencari pekerjaan baru,” ujarnya kepada JawaPos.com, Selasa (6/10).

- Advertisement -

Kemudian, lanjutnya, penerapan kontrak terus menerus tanpa batas juga akan membuat ketidakpastian kerja meningkat. Jenjang karier bagi pegawai kontrak pun tidak pasti karena mereka bisa dikontrak selama-lamanya.

“Praktik ini merupakan strategi pengusaha untuk menekan biaya pensiun atau pesangon dan tunjangan lain. Tapi ini merugikan pekerja karena haknya tidak sama dengan pegawai tetap,” tuturnya.

Baca Juga:  7 Bulan Pandemi, Pelaku Usaha Terus Bangkit

Dengan dicabutnya hak-hak pekerja dalam Omnibus Law, kata Bhima, tidak menutup kemungkinan persepsi investor, khususnya dari negara maju, akan jadi negatif terhadap indonesia.

- Advertisement -

“Investor di negara maju sangat menjunjung fair labour practice dan decent work di mana hak-hak buruh sangat dihargai. Bukan sebaliknya, di mana menurunkan hak buruh berarti bertentangan dengan prinsip negara maju,” ucapnya.

Bhima menyebut, pembahasan pasal per pasal idealnya dengan kajian yang mendalam. Namun sayangnya, pemerintah hanya bisa menjawab sepotong-sepotong.

“Repot juga kalau urusan ekonomi masyarakat se indonesia yang termuat dalam pasal pasal Omnibus Law kemudian dibahas secepat kilat. Padahal ada masalah pangan yang strategis, kemudian masalah tenaga kerja, proyek pemerintah dan lingkungan. Artinya kualitas regulasi nya diragukan,” ungkapnya.

Baca Juga:  Pegadaian Ajak Nasabah Jadi Sultan seperti Raffi dan Nagita

Jadi, menurut Bhima, masalah yang lebih mendesak saat ini adalah memulihkan investasi dan menarik relokasi pabrik adalah penanganan pandemi, pemulihan konsumsi rumah tangga, pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas lingkungan hidup hingga bagaimana cara pemerintah menekan biaya logistik. Itu semua luput dari pembahasan Omnibus Law.

“Diperkirakan investasi baik PMA dan PMDN di tahun 2021 masih tetap rendah meskipun Omnibus Law disahkan. Cepat atau lambat pasti ada pihak yang lakukan Judicial Review ke MK untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Kita lihat nanti,” tutupnya.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di klaster ketenagakerjaan masih terus mendapat sorotan. Pengamat Indef Bhima Yudhistira memandang bahwa pengurangan hak pesangon, seperti yang tertera pada UU Omnibus Law Cipta Kerja, jelas akan akan menurunkan daya beli para buruh, khususnya mereka yang sangat rentan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Padahal buruh membutuhkan pesangon yang adil untuk mempertahankan biaya hidup di saat sulitnya mencari pekerjaan baru,” ujarnya kepada JawaPos.com, Selasa (6/10).

Kemudian, lanjutnya, penerapan kontrak terus menerus tanpa batas juga akan membuat ketidakpastian kerja meningkat. Jenjang karier bagi pegawai kontrak pun tidak pasti karena mereka bisa dikontrak selama-lamanya.

“Praktik ini merupakan strategi pengusaha untuk menekan biaya pensiun atau pesangon dan tunjangan lain. Tapi ini merugikan pekerja karena haknya tidak sama dengan pegawai tetap,” tuturnya.

Baca Juga:  Kembali Naik, Harga TBS Kelapa Sawit Jadi Rp3.411 per Kg

Dengan dicabutnya hak-hak pekerja dalam Omnibus Law, kata Bhima, tidak menutup kemungkinan persepsi investor, khususnya dari negara maju, akan jadi negatif terhadap indonesia.

“Investor di negara maju sangat menjunjung fair labour practice dan decent work di mana hak-hak buruh sangat dihargai. Bukan sebaliknya, di mana menurunkan hak buruh berarti bertentangan dengan prinsip negara maju,” ucapnya.

Bhima menyebut, pembahasan pasal per pasal idealnya dengan kajian yang mendalam. Namun sayangnya, pemerintah hanya bisa menjawab sepotong-sepotong.

“Repot juga kalau urusan ekonomi masyarakat se indonesia yang termuat dalam pasal pasal Omnibus Law kemudian dibahas secepat kilat. Padahal ada masalah pangan yang strategis, kemudian masalah tenaga kerja, proyek pemerintah dan lingkungan. Artinya kualitas regulasi nya diragukan,” ungkapnya.

Baca Juga:  BP Jamsostek Serahkan Santunan Kematian Driver Gojek

Jadi, menurut Bhima, masalah yang lebih mendesak saat ini adalah memulihkan investasi dan menarik relokasi pabrik adalah penanganan pandemi, pemulihan konsumsi rumah tangga, pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas lingkungan hidup hingga bagaimana cara pemerintah menekan biaya logistik. Itu semua luput dari pembahasan Omnibus Law.

“Diperkirakan investasi baik PMA dan PMDN di tahun 2021 masih tetap rendah meskipun Omnibus Law disahkan. Cepat atau lambat pasti ada pihak yang lakukan Judicial Review ke MK untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Kita lihat nanti,” tutupnya.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari