Jumat, 5 Juli 2024

IHSG Hijau Dipicu Perbaikan PMI Manufaktur

Jakarta (RIAUPOS.CO) – Perbaikan data ekonomi Indonesia membuat perdagangan saham semringah, Senin (4/10). Indeks harga saham gabungan (IHSG) menghijau. Ditutup di level 6.342,69, naik 113,84 poin atau 1,83 persen. Meski demikian, pembahasan plafon utang pemerintah Amerika Serikat (AS), wacana tapering The Federal Reserve (The Fed), perkembangan Evergrande Cina, dan kenaikan harga komoditas energi jadi perhatian pasar modal.

Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee menuturkan, IHSG menghijau akibat data Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada September yang kembali ekspansif. Yaitu di posisi 52,2 setelah terkontraksi pada Agustus di level 43,2. Peningkatan tersebut sejalan dengan terkendalinya penyebaran Covid-19 varian Delta.

- Advertisement -

"Hal ini menunjukkan sudah ada ekspansi di sektor industri manufaktur. Aktivitas pertumbuhan ekonomi akan pulih lebih cepat dari yang diperkirakan," ucap Hans kepada JPG, Senin (4/10).

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi 0,04 persen selama September. Tingkat inflasi tahun kalender sebesar 0,80 persen dan untuk inflasi tahunan yakni 1,60 persen. 

Penyebab deflasi menurut kelompok pengeluaran adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,47 persen yang andilnya mencapai 0,12 persen. "Deflasi lebih disebabkan kelas menegah atas tidak agresif dalam melakukan konsumsi dan cenderung tidak ke pusat perbelanjaan," jelasnya.

- Advertisement -
Baca Juga:  Juli, Hotel Grand Jatra Hadirkan Promo Menarik

Dari kancah global, kata Hans, pelaku pasar modal masih mencermati pembahasan kenaikan plafon utang (debt ceiling) di parlemen AS. Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyatakan, bahwa pemerintah AS akan kehabisan dana pada 18 Oktober mendatang bila parlemen AS tidak kunjung menyetujui kenaikan pagu utang. 

Dia tak yakin setelah batas waktu tersebut AS mampu membayar kewajibannya. Pernyataan itu diungkapkan Yellen setelah Senat Republik menolak kenaikan batas utang AS untuk membayar pengeluaran pemerintah. "Pelaku pasar khawatir kondisi pemerintah AS terancam mengalami government shutdown dan gagal bayar hutang alias default," ungkap dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Trisakti itu.

Selain itu, Hans menyatakan, pelaku pasar juga khawatir The Fed akan mulai mengetatkan kebijakan moneter ketika pertumbuhan ekonomi global melambat. Mengingat, Chairman The Fed Jerome Powell pernah menyebut bahwa pihaknya akan mengurangi pembelian obligasi pemerintah AS setelah pertemuan pada 2-3 November mendatang. 

Ditambah, mayoritas anggota Dewan Gubernur The Fed percaya bahwa quantitative easing dapat berakhir sekitar pertengahan 2022. "Hal ini telah mendorong naiknya yield obligasi pemerintah Amerika Serikat dan menaikan indeks dolar AS," terangnya.

Pelaku pasar juga masih akan berhati-hati terkait risiko gagal bayar korporasi peroperti Cina, Evergrande. Namun, dengan berlalunya tenggat waktu pembayaran bunga membuat pelaku pasar melihat dampaknya sejauh ini terbatas. Apalagi, bank sentral Cina  People’s Bank of China menyuntikkan likuiditas mencapai 100 miliar yen Cina atau sekitar Rp220 miliar. "Dari situ terlihat pemerintah Cina sigap dan berhasil menurunkan kekhawatiran pelaku pasar," ujarnya.

Baca Juga:  Telkomsel  Ajak Pelanggan Donasi 1.000 Paket Sembako 

Namun, PMI Manufaktur Cina pada September berada di level 49,6. Angka tersebut lebih rendah dari perkiraan para analis sebesar 50,1. Pelemahan data tersebut karena Negeri Tirai Bambu itu terus bergelut dengan kekurangan pasokan listrik.

Krisis tersebut berdampak positif bagi harga minyak. Pemerintah Cina lantas memerintahkan perusahaan energi agar mengamankan pasokan minyak dan energi untuk memenuhi lonjakan permintaan pada musim dingin. Mereka berusaha keras mengirimkan lebih banyak batu bara ke utilitas guna memulihkan pasokan di tengah krisis listrik yang meresahkan pasar.

"Hal itu membuat harga komoditas energi mengalami kenaikan di pekan lalu dan mungkin masih berlanjut di pekan ini," bebernya.

Dari berbagai sentimen tersebut, IHSG berpeluang melemah ke depan. Support di level 6.174-6.086 dan resistance di 6.286-6.300. "Cenderung SOS (Sell On Strengh. Yakni strategi menjual saham pada saat harga saham naik signifikan dalam waktu yang cukup singkat," ujarnya.(das)
 

Jakarta (RIAUPOS.CO) – Perbaikan data ekonomi Indonesia membuat perdagangan saham semringah, Senin (4/10). Indeks harga saham gabungan (IHSG) menghijau. Ditutup di level 6.342,69, naik 113,84 poin atau 1,83 persen. Meski demikian, pembahasan plafon utang pemerintah Amerika Serikat (AS), wacana tapering The Federal Reserve (The Fed), perkembangan Evergrande Cina, dan kenaikan harga komoditas energi jadi perhatian pasar modal.

Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee menuturkan, IHSG menghijau akibat data Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada September yang kembali ekspansif. Yaitu di posisi 52,2 setelah terkontraksi pada Agustus di level 43,2. Peningkatan tersebut sejalan dengan terkendalinya penyebaran Covid-19 varian Delta.

"Hal ini menunjukkan sudah ada ekspansi di sektor industri manufaktur. Aktivitas pertumbuhan ekonomi akan pulih lebih cepat dari yang diperkirakan," ucap Hans kepada JPG, Senin (4/10).

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi 0,04 persen selama September. Tingkat inflasi tahun kalender sebesar 0,80 persen dan untuk inflasi tahunan yakni 1,60 persen. 

Penyebab deflasi menurut kelompok pengeluaran adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,47 persen yang andilnya mencapai 0,12 persen. "Deflasi lebih disebabkan kelas menegah atas tidak agresif dalam melakukan konsumsi dan cenderung tidak ke pusat perbelanjaan," jelasnya.

Baca Juga:  Tarik Tunai dan Cek Saldo di ATM Link Berbayar, Ini Biayanya

Dari kancah global, kata Hans, pelaku pasar modal masih mencermati pembahasan kenaikan plafon utang (debt ceiling) di parlemen AS. Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyatakan, bahwa pemerintah AS akan kehabisan dana pada 18 Oktober mendatang bila parlemen AS tidak kunjung menyetujui kenaikan pagu utang. 

Dia tak yakin setelah batas waktu tersebut AS mampu membayar kewajibannya. Pernyataan itu diungkapkan Yellen setelah Senat Republik menolak kenaikan batas utang AS untuk membayar pengeluaran pemerintah. "Pelaku pasar khawatir kondisi pemerintah AS terancam mengalami government shutdown dan gagal bayar hutang alias default," ungkap dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Trisakti itu.

Selain itu, Hans menyatakan, pelaku pasar juga khawatir The Fed akan mulai mengetatkan kebijakan moneter ketika pertumbuhan ekonomi global melambat. Mengingat, Chairman The Fed Jerome Powell pernah menyebut bahwa pihaknya akan mengurangi pembelian obligasi pemerintah AS setelah pertemuan pada 2-3 November mendatang. 

Ditambah, mayoritas anggota Dewan Gubernur The Fed percaya bahwa quantitative easing dapat berakhir sekitar pertengahan 2022. "Hal ini telah mendorong naiknya yield obligasi pemerintah Amerika Serikat dan menaikan indeks dolar AS," terangnya.

Pelaku pasar juga masih akan berhati-hati terkait risiko gagal bayar korporasi peroperti Cina, Evergrande. Namun, dengan berlalunya tenggat waktu pembayaran bunga membuat pelaku pasar melihat dampaknya sejauh ini terbatas. Apalagi, bank sentral Cina  People’s Bank of China menyuntikkan likuiditas mencapai 100 miliar yen Cina atau sekitar Rp220 miliar. "Dari situ terlihat pemerintah Cina sigap dan berhasil menurunkan kekhawatiran pelaku pasar," ujarnya.

Baca Juga:  RDG BI November Putuskan Suku Bunga Acuan Tetap 5 Persen

Namun, PMI Manufaktur Cina pada September berada di level 49,6. Angka tersebut lebih rendah dari perkiraan para analis sebesar 50,1. Pelemahan data tersebut karena Negeri Tirai Bambu itu terus bergelut dengan kekurangan pasokan listrik.

Krisis tersebut berdampak positif bagi harga minyak. Pemerintah Cina lantas memerintahkan perusahaan energi agar mengamankan pasokan minyak dan energi untuk memenuhi lonjakan permintaan pada musim dingin. Mereka berusaha keras mengirimkan lebih banyak batu bara ke utilitas guna memulihkan pasokan di tengah krisis listrik yang meresahkan pasar.

"Hal itu membuat harga komoditas energi mengalami kenaikan di pekan lalu dan mungkin masih berlanjut di pekan ini," bebernya.

Dari berbagai sentimen tersebut, IHSG berpeluang melemah ke depan. Support di level 6.174-6.086 dan resistance di 6.286-6.300. "Cenderung SOS (Sell On Strengh. Yakni strategi menjual saham pada saat harga saham naik signifikan dalam waktu yang cukup singkat," ujarnya.(das)
 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari