Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Keindahan Persoalan

INFORMASI yang mengandung optimisme itu bisa mendorong gerak. Itu nyata. Setidaknya saya lakukan.

Semangat saya untuk ke Tambora lagi pekan lalu antara lain karena informasi baik ini: “Semua sungai yang dulu bapak seberangi itu sekarang sudah ada jembatannya. Bisa lebih cepat,” ujar teman saya di Bima.

Saya pun percaya. Sudah empat tahun saya tidak ke Tambora. Saya ingat kali pertama ke Tambora lebih berat lagi. Tapi yang pertama itu musim kemarau. Kalau toh harus menyeberangi sungai mudah saja: airnya sedikit sekali. Sesekali justru merasa seperti Indiana Jones.

Di lain waktu saya juga pernah ke Tambora pakai jalan pintas: speed boat. Dari kota Sumbawa Besar langsung motong Teluk Saleh. Melewati Pulau Moyo yang Anda sudah tahu itu: Lady Di pernah tinggal di situ seminggu. Rocker Mike Jagger juga. Beberapa bintang film HongKong ikutan.

Dua jam di speed boat sudah sampai Tambora.

Pernah juga ke Tambora dari Bima. Tujuh jam naik mobil. Zaman itu jalan lebih banyak lubangnya -lubang benaran- daripada ratanya. Juga lebih banyak sungainya daripada jembatannya.

Saya belum pernah ke Tambora dari Sumbawa Besar  lewat Empang. Memutari Teluk Saleh itu. Sekarang! “Delapan jam lho pak,” ujar teman saya yang akan mengemudikan mobil.

“Kita bisa gantian. Saya sudah mulai terbiasa berkendara 8 jam. Surabaya-Jakarta,” jawab saya.

Dari UTS (Universitas Teknologi Sumbawa) kami langsung ke Tambora. Sepanjang jalan ada obrolan yang menarik: salah satunya tentang si Nurul Huda, mahasiswi Lebanon berpaspor Palestina yang lima ”I” itu. Saya lirik foto Nurul sampai di-zoom berkali-kali. Terutama ingin lihat alis dan matanya.

Saya ingat sajak berjudul ”Alis” karya Raani Rasyad yang saya baca di Bima: (foto halaman puisi)

Saking asyiknya perjalanan ini  sampai saya lupa: belum memilih komentar-pilihan untuk Disway edisi besok paginya.

Tentu ada keasyikan lain yang juga lima ”I”: alam Sumbawa di musim basah seperti ini. gunung dan lembahnya hijau semua. Seperti lukisan. Rasanya tidak kalah dengan pemandangan di Selandia Baru. Saya lebih senang melihat yang Sumbawa ini: hijaunya memberi harapan. Itulah hijau tanaman jagung. Di lembah, di lereng, di bukit semuanya jagung.

Baca Juga:  Masyarakat Akan Mandiri dengan Pola Kemitraan

Sepanjang lima jam dengan mobil berkecepatan 90  km per jam hanya ada jagung. Jagung. Jagung. Jagung.

Bukan main semangat rakyat Sumbawa menanam jagung. Banyak juga silo penyimpan jagung yang sudah dikeringkan.

Melihat semua itu imajinasi saya ke Iowa, bagian tengah Amerika Serikat. Lima jam mengemudi mobil di sana hanya pemandangan serba jagung yang terlihat.

Sumbawa mengalahkan Iowa itu -indahnya. Di Iowa tanahnya datar. Everything flat. Sama sekali tidak punya bukit –berbukitannya di rumah masing-masing.

Saya langsung ingat seorang bupati yang dua periode memegang kekuasaan di Dompu: HBY -Haji Bambang Yasin. Entah di mana HBY sekarang. Bukan ia yang memulai, tapi HBY-lah yang mewabahkan jagung di sana. Ia mulai dari Dompu. Lalu menjalar ke seluruh Sumbawa.

Seorang bupati ternyata bisa meninggalkan sejarah yang hebat -kalau mau.

Tak terasa hari sudah senja. Belum juga sempat membaca komentar mana yang akan terpilih. Juga belum menulis artikel untuk Disway.

Datang pula daya tarik lain  Sumbawa yang ”mengganggu” pemilihan komentar: sapi.

Kian dekat Tambora alam Sumbawa berubah bentuk. Dari serba jagung ke padang rumput. Sepanjang jalan, hampir 1 jam perjalanan, saya hanya melihat sapi, sapi dan sapi. Di kanan dan di kiri. Terselip banyak kuda di tengah-tengah sapi itu.

Padang rumput, bukit, sapi, kuda dan pohon rindang di sana-sini.

“Ini mirip di Kentucky,” teriak saya di dalam hati. Saya jadi ingat perjalanan di sekitar Lexington. Hanya di sana hijaunya sepanjang masa. Di Sumbawa hanya kalau di musim basah seperti ini.

Hari pun mulai gelap. Tidak bisa lagi lihat kanan-kiri. Ini saatnya saya membaca komentar Disway. Saya pun merogoh saku celana. Tidak ada HP. Merogoh saku jaket. Nihil. Saku tempat duduk. Suwung. Kotak di dashboard. Kada da.

Mobil berhenti.
Penggeledahan dilakukan.
Sami mawon.

“Berarti ketinggalan di Sumbawa Besar,” kata saya.

Mau balik sudah tujuh jam di belakang.

“Oh… Ketinggalan di apotek,” kata saya.

Memang, tadi mampir apotek. Cari obat. Tidak dapat. Obat saya ketinggalan di Lombok.

Baca Juga:  ICW Minta Istana Jelaskan Maksud dan Tugas 13 Stafsus Presiden

Di balik keindahan ternyata sering ada persoalan.

Untuk menulis naskah, sih, bisa pinjam HP teman. Kebetulan ada bahan tulisan yang sudah siap di kepala: Dian Ciputra itu.

Tapi untuk memilih komentar tidak ada waktu lagi. Memilih komentar lebih lama dari menulis naskah. Itu karena semua komentar harus saya baca.

Kadang, ketika baru membaca sepertiga, sudah mendapat banyak komentar pilihan. Tapi selalu muncul perasaan seperti ini: tidak adil kalau tidak dibaca semua, siapa tahu di bawah-bawah juga ada yang layak dipilih.

Supaya adil: tidak ada yang dipilih!

Kebetulan, kami sudah sampai di rumah kepala dusun. Sudah pukul 20.00. Hujan pula. Lelah. Ngantuk. Lapar. Jadi satu di puisi kehidupan.

Saya lihat putri kepala dusun bergegas masak: di dapur kayu itu. Tidak hanya api yang menyala dari dapur itu. Hope dari perut pun ikut menyala-nyala.

“Di mana ayahanda?” tanya saya.

“Di kebun. Jaga tanaman jagung,” jawabnya.

“Ibu di mana?”

“Tengok cucu yang di Mataram”.

“Suami?”

“Juga di kebun. Kalau tidak dijaga takut diserbu babi hutan,” jawabnya.

Saya lihat bayinya tidur pulas di lantai. Juga kakak bayi itu.

Mertua-menantu itu di kebun jagung semalam suntuk. Tiap malam. Di lereng Tambora. Jaraknya: satu jam jalan kaki dari rumah ini.

“Kuah ayam ini sedap sekali. Kuahnya segar. Ayamnya gurih,” kata saya. Ngantuk pun hilang. “Ini diberi bumbu apa?” tanya saya.

“Sedikit kunyit, jahe, merica, bawang putih. Bawang putihnya  agak banyak. Itu saja. Bumbu itu diuleg lembut. Lalu dimasukkan wajan – -yang sedikit minyak gorengnya sudah panas. Tambahkan air. Setelah mendidih barulah ayamnya dimasukkan,” katanyi.

Pukul 04.00 saya sudah bangun. Saya lihat nenek bayi itu. Rupanya, tengah malam, ketika saya lelap, dia pulang.

Bukan baru kali ini saya tidur di rumah itu. Ada kamar kosong. Atau tidur di terasnya. Nyenyak sekali. Diiringi suara debur ombak dari kejauhan. Lenguh sapi. Ringik kuda. Dan kokok ayam di pagi hari.***

 

INFORMASI yang mengandung optimisme itu bisa mendorong gerak. Itu nyata. Setidaknya saya lakukan.

Semangat saya untuk ke Tambora lagi pekan lalu antara lain karena informasi baik ini: “Semua sungai yang dulu bapak seberangi itu sekarang sudah ada jembatannya. Bisa lebih cepat,” ujar teman saya di Bima.

- Advertisement -

Saya pun percaya. Sudah empat tahun saya tidak ke Tambora. Saya ingat kali pertama ke Tambora lebih berat lagi. Tapi yang pertama itu musim kemarau. Kalau toh harus menyeberangi sungai mudah saja: airnya sedikit sekali. Sesekali justru merasa seperti Indiana Jones.

Di lain waktu saya juga pernah ke Tambora pakai jalan pintas: speed boat. Dari kota Sumbawa Besar langsung motong Teluk Saleh. Melewati Pulau Moyo yang Anda sudah tahu itu: Lady Di pernah tinggal di situ seminggu. Rocker Mike Jagger juga. Beberapa bintang film HongKong ikutan.

- Advertisement -

Dua jam di speed boat sudah sampai Tambora.

Pernah juga ke Tambora dari Bima. Tujuh jam naik mobil. Zaman itu jalan lebih banyak lubangnya -lubang benaran- daripada ratanya. Juga lebih banyak sungainya daripada jembatannya.

Saya belum pernah ke Tambora dari Sumbawa Besar  lewat Empang. Memutari Teluk Saleh itu. Sekarang! “Delapan jam lho pak,” ujar teman saya yang akan mengemudikan mobil.

“Kita bisa gantian. Saya sudah mulai terbiasa berkendara 8 jam. Surabaya-Jakarta,” jawab saya.

Dari UTS (Universitas Teknologi Sumbawa) kami langsung ke Tambora. Sepanjang jalan ada obrolan yang menarik: salah satunya tentang si Nurul Huda, mahasiswi Lebanon berpaspor Palestina yang lima ”I” itu. Saya lirik foto Nurul sampai di-zoom berkali-kali. Terutama ingin lihat alis dan matanya.

Saya ingat sajak berjudul ”Alis” karya Raani Rasyad yang saya baca di Bima: (foto halaman puisi)

Saking asyiknya perjalanan ini  sampai saya lupa: belum memilih komentar-pilihan untuk Disway edisi besok paginya.

Tentu ada keasyikan lain yang juga lima ”I”: alam Sumbawa di musim basah seperti ini. gunung dan lembahnya hijau semua. Seperti lukisan. Rasanya tidak kalah dengan pemandangan di Selandia Baru. Saya lebih senang melihat yang Sumbawa ini: hijaunya memberi harapan. Itulah hijau tanaman jagung. Di lembah, di lereng, di bukit semuanya jagung.

Baca Juga:  Sinabung Erupsi, Cilacap Gempa Bumi

Sepanjang lima jam dengan mobil berkecepatan 90  km per jam hanya ada jagung. Jagung. Jagung. Jagung.

Bukan main semangat rakyat Sumbawa menanam jagung. Banyak juga silo penyimpan jagung yang sudah dikeringkan.

Melihat semua itu imajinasi saya ke Iowa, bagian tengah Amerika Serikat. Lima jam mengemudi mobil di sana hanya pemandangan serba jagung yang terlihat.

Sumbawa mengalahkan Iowa itu -indahnya. Di Iowa tanahnya datar. Everything flat. Sama sekali tidak punya bukit –berbukitannya di rumah masing-masing.

Saya langsung ingat seorang bupati yang dua periode memegang kekuasaan di Dompu: HBY -Haji Bambang Yasin. Entah di mana HBY sekarang. Bukan ia yang memulai, tapi HBY-lah yang mewabahkan jagung di sana. Ia mulai dari Dompu. Lalu menjalar ke seluruh Sumbawa.

Seorang bupati ternyata bisa meninggalkan sejarah yang hebat -kalau mau.

Tak terasa hari sudah senja. Belum juga sempat membaca komentar mana yang akan terpilih. Juga belum menulis artikel untuk Disway.

Datang pula daya tarik lain  Sumbawa yang ”mengganggu” pemilihan komentar: sapi.

Kian dekat Tambora alam Sumbawa berubah bentuk. Dari serba jagung ke padang rumput. Sepanjang jalan, hampir 1 jam perjalanan, saya hanya melihat sapi, sapi dan sapi. Di kanan dan di kiri. Terselip banyak kuda di tengah-tengah sapi itu.

Padang rumput, bukit, sapi, kuda dan pohon rindang di sana-sini.

“Ini mirip di Kentucky,” teriak saya di dalam hati. Saya jadi ingat perjalanan di sekitar Lexington. Hanya di sana hijaunya sepanjang masa. Di Sumbawa hanya kalau di musim basah seperti ini.

Hari pun mulai gelap. Tidak bisa lagi lihat kanan-kiri. Ini saatnya saya membaca komentar Disway. Saya pun merogoh saku celana. Tidak ada HP. Merogoh saku jaket. Nihil. Saku tempat duduk. Suwung. Kotak di dashboard. Kada da.

Mobil berhenti.
Penggeledahan dilakukan.
Sami mawon.

“Berarti ketinggalan di Sumbawa Besar,” kata saya.

Mau balik sudah tujuh jam di belakang.

“Oh… Ketinggalan di apotek,” kata saya.

Memang, tadi mampir apotek. Cari obat. Tidak dapat. Obat saya ketinggalan di Lombok.

Baca Juga:  ICW Minta Istana Jelaskan Maksud dan Tugas 13 Stafsus Presiden

Di balik keindahan ternyata sering ada persoalan.

Untuk menulis naskah, sih, bisa pinjam HP teman. Kebetulan ada bahan tulisan yang sudah siap di kepala: Dian Ciputra itu.

Tapi untuk memilih komentar tidak ada waktu lagi. Memilih komentar lebih lama dari menulis naskah. Itu karena semua komentar harus saya baca.

Kadang, ketika baru membaca sepertiga, sudah mendapat banyak komentar pilihan. Tapi selalu muncul perasaan seperti ini: tidak adil kalau tidak dibaca semua, siapa tahu di bawah-bawah juga ada yang layak dipilih.

Supaya adil: tidak ada yang dipilih!

Kebetulan, kami sudah sampai di rumah kepala dusun. Sudah pukul 20.00. Hujan pula. Lelah. Ngantuk. Lapar. Jadi satu di puisi kehidupan.

Saya lihat putri kepala dusun bergegas masak: di dapur kayu itu. Tidak hanya api yang menyala dari dapur itu. Hope dari perut pun ikut menyala-nyala.

“Di mana ayahanda?” tanya saya.

“Di kebun. Jaga tanaman jagung,” jawabnya.

“Ibu di mana?”

“Tengok cucu yang di Mataram”.

“Suami?”

“Juga di kebun. Kalau tidak dijaga takut diserbu babi hutan,” jawabnya.

Saya lihat bayinya tidur pulas di lantai. Juga kakak bayi itu.

Mertua-menantu itu di kebun jagung semalam suntuk. Tiap malam. Di lereng Tambora. Jaraknya: satu jam jalan kaki dari rumah ini.

“Kuah ayam ini sedap sekali. Kuahnya segar. Ayamnya gurih,” kata saya. Ngantuk pun hilang. “Ini diberi bumbu apa?” tanya saya.

“Sedikit kunyit, jahe, merica, bawang putih. Bawang putihnya  agak banyak. Itu saja. Bumbu itu diuleg lembut. Lalu dimasukkan wajan – -yang sedikit minyak gorengnya sudah panas. Tambahkan air. Setelah mendidih barulah ayamnya dimasukkan,” katanyi.

Pukul 04.00 saya sudah bangun. Saya lihat nenek bayi itu. Rupanya, tengah malam, ketika saya lelap, dia pulang.

Bukan baru kali ini saya tidur di rumah itu. Ada kamar kosong. Atau tidur di terasnya. Nyenyak sekali. Diiringi suara debur ombak dari kejauhan. Lenguh sapi. Ringik kuda. Dan kokok ayam di pagi hari.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari