JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Berjalan satu minggu, pemberlakuan pembelajaran tatap muka (PTM) dengan kapasitas 100 persen ternyata banyak disertai pelanggaran. Mulai dari kelalaian terhadap protokol kesehatan (prokes) hingga diam-diam buka kantin yang masih dilarang.
Jaringan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) di daerah melaporkan, banyak siswa berkerumun saat pengecekan suhu setiba di sekolah. Ini terjadi karena sekolah tidak memiliki thermogun memadai. Kemudian, penggunaan masker yang masih kendor baik di dalam sekolah maupun area sekitar sekolah oleh guru dan siswa.
Temuan pelanggaran prokes ini kebanyakan terjadi di daerah yang sudah menerapkan PTM 100 persen. Seperti di Jakarta, Pandeglang, Cilegon, Kabupaten Bogor, Bengkulu, Kabupaten Agam, Solok Selatan, Situbondo, Bima, dan lainnya.
"Kami dapat laporan, dari Jakarta maupun luar daerah, ada sekolah diam-diam kantinnya buka," ungkap Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri, kemarin (11/1).
Padahal, lanjut dia, jika merujuk pada SKB empat menteri hal ini dilarang. Namun, banyak yang beralasan, tidak semua siswa membawa bekal makan dari rumah karena orang tua mereka bekerja. Sehingga, sekolah berinisiatif membuka kantin. Kemudian, ada pula ketidapatuhan terhadap penggunaan aplikasi pedulilindungi. Misalnya, salah satu SMP di Kepulauan Riau karena mengalami kesulitan dalam melakukan scan barcode PeduliLindungi saat masuk sekolah akhirnya ditiadakan. Alasannya, untuk menghindari kerumunan. Handphone yang dibawa pun akhirnya digunakan bermain tiktok dalam kelas tanpa menggunakan masker.
"Nah, hal-hal semacam ini perlu dievaluasi," ungkapnya.
Iman mengungkapkan, pelanggaran serupa sudah terjadi sebelumnya dan kian marak saat ini. Hal ini terjadi lantaran, tidak adanya mekanisme pengawasan dan tindakan tegas, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Terlebih, suasana PTM 100 persen yang mirip kondisi normal banyak membuat orang lengah.
Padahal, pandemi Covid-19 masih terjadi. ditambah, varian-varian baru yang terus bermunculan. Termasuk, gelombang Omicron yang terus merangkak naik.
"Karenanya, P2G berharap Kemdikbudristek meninjau ulang kebijakan PTM 100 persen. Khususnya, daerah seperti DKI Jakarta dan daerah penyangga aglomerasi," tegasnya.
Selain itu, pengawasan oleh Pemda, Satgas Covid-19, dan Pemerintah Pusat wajib diperkuat. Dinas Pendidikan atau Satgas harus melakukan sidak. Tidak hanya menunggu laporan tertulis saja. Termasuk mengerahkan aparat seperti Satpol PP, Tim Satgas, atau aparat lainnya melakukan penyisiran dan pengawasan di jam-jam krusial siswa pulang sekolah. Hal ini sebagai upaya preventif agar siswa tidak menularkan atau tertular karena nongkrong sepulang sekolah.
"Saya yakin kalau turun, pasti akan menemukan banyak sekali pelanggaran," imbuh Sekretaris P2G DKI Jakarta Abdul Rahman.
P2G juga mendesak pemerintah meningkatkan vaksinasi anak 6-11 tahun, termasuk melakukan vaksinasi booster untuk guru. Mengingat saat ini, capaian vaksinasi anak 6-11 tahun masih di bawah anak usia 12-17 tahun. Padahal, PTM sudah dimulai.(mia/jpg)