JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Anggota Komisi V DPR RI Syahrul Aidi menyoroti dugaan maraknya mafia tanah yang berkeliaran di Tanah Air. Khususnya mega proyek Tol Pekanbaru-Padang ruas Pekanbaru-Bangkinang.
Hal itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi V DPR RI dengan Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN di Ruang Rapat Komisi V DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (26/5).
"Kebetulan Pak Menteri dan Presiden ke Riau meninjau perkembangan jalan tol Pekanbaru-Padang. Saya diminta oleh masyarakat di sana kepada Pak Menteri terkait pengadaan lahan untuk jalan tersebut," kata Syahrul Aidi.
Kata dia, banyak masalah yang muncul akibat maraknya mafia tanah. Salah satu yang paling merugikan masyarakat setempat adalah soal pembayaran ganti rugi pembebasan lahan. Berdasarkan laporan dari masyarakat, legislator termuda PKS itu ada mafia yang bermain pada saat penetapan RTRW tersebut. Di mana, kebun-kebun perusahaan di-enklaf (dikeluarkan) dari hutan penggunaan lainnya (HPL) menjadi hutan produksi konversi (HPK).
"Ada masalah yaitu di 2018, status lahan di sana setelah penetapan Perda RTRW berubah statusnya dari HPL menjadi HPK. Untuk mengganti itu, dicaploklah lahan masyarakat yang awalnya HPL menjadi HPK," terangnya.
Sehingga, kata dia, ketika tanah masyarakat yang saat ini berstatus HPK dan terkena jalur pembangunan jalan tol, masyarakat tidak mendapatkan ganti rugi. Oleh karena itu, dia meminta seluruh stakeholder yang terlibat agar duduk bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk meninjau ulang dan menyelesaikan persoalan tersebut agar masyarakat tidak dirugikan.
"Saya mewakili masyarakat di sana ingin menyampaikan, mohon kita melakukan koordinasi dengan Kementerian LHK mengenai status lahan masyarakat ini jangan melalui pendekatan hukum saja. Karena status HPK lahan masyarakat ini baru di 2018," tegasnya.
Terakhir, dia menuntut kebijaksanaan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono untuk menyelesaikan persoalan ini agar tidak melakukan pendekatan secara hukum saja. Namun juga melakukan pendekatan sosial.
"Kalau ini dilakukan, maka masyarakat akan terzalimi. Karena orang hukum akan membaca dasar hukumnya saja," pungkasnya. (yus)